Mongabay.co.id

Taber Laot, Manusia Jangan Serakah dan Merusak Laut

 

 

Ratusan warga dari sejumlah wilayah di Pulau Bangka memadati Pantai Batu Beriga, Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah. Tujuan mereka bukan berwisata, tapi menghadiri taber laot, ritual tahunan [kisaran Maret-Juni] sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala kelimpahan hasil laut yang mereka dapatkan. Sekaligus, untuk tolak bala.

Jamaludin [58] dan Selamat [53], khusyuk membaca doa. Keduanya merupakan Ketua Adat Dusun Beriga dan Dusun Tanjung Berikat.

“Tolong buka jalan untuk tetua kita yang akan melakukan taber laot,” kata salah satu warga.

Keduanya melangkah menuju tepi laut, membawa satu cerek air dan beras kuning, serta satu baskom daun taber.

Jamaludin mengawali ritual adat dengan menyiram air ke tepi laut, dilanjutkan menabur daun taber dan beras kuning oleh Selamat.

“Setelah ini, tolong segera menjauh dari pinggir laut, terutama masyarakat Desa Batu Beriga,” kata Selamat, memperingatkan masyarakat yang hadir siang itu.

Selesai acara inti, masyarakat dipersilakan menyantap makanan di “dulang”, sebuah wadah bulat dengan motif segitiga merah, kuning, dan hijau, khas masyarakat Suku Melayu Bangka Belitung. Makan bersama menjadi akhir acara.

“Makanan ini berasal dari sumbangan masing-masing warga Desa Batu Beriga, bentuk syukur kami terhadap hasil laut yang diberikan oleh Tuhan,” kata Abdul Gani, Kepala Desa Batu Beriga, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [05/06/2022].

Baca: Karang Porites Ditemukan di Perairan Bangka Belitung. Apa Fungsinya?

 

Daun taber yang diperebutkan masyarakat, karena dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan menghindarkan dari musibah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Secara administratif, Desa Batu Beriga memiliki tiga dusun, yakni Dusun Beriga, Dusun Tanjung Berikat, dan Dusun Melingai [Transmigran], dengan luas total 10.956,02 hektar. Penduduknya sekitar dua ribu jiwa, mayoritas Suku Melayu yang hidup dengan budaya bahari.

Tradisi taber laot hampir dilakukan berbagai Suku Melayu di Kepulauan Bangka Belitung. Dalam catatan Mongabay Indonesia, taber laot dilakukan juga oleh Suku Melayu dan Suku Laut, seperti di Kepulauan Lepar-Pongok [Bangka Selatan], Pantai Tanjungputat, Pejem, Tuing [Kabupaten Bangka], Desa Baskara Bakti [Kabupaten Bangka Tengah], Desa Rambat [Kabupaten Bangka Barat], serta di Pulau Belitung.

“Ritual ini ibarat kami para tetua adat mengunci laut selama tiga hari, ada larangan yang harus ditaati. Selain berharap hasil laut yang lebih melimpah kedepannya,” kata Jamaludin, Ketua Adat Dusun Beriga.

Baca: Melacak Nautilus di Perairan Gelasa

 

Selamat [biru] dan Jamaludin [putih] tengah melakukan ritual taber laot di sekitar Pantai Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Daun taber

Dalam ritual taber laot, ada satu hal yang ditunggu masyarakat, yakni mendapatkan sisa daun taber yang telah dibacakan mantra oleh tetua adat.

Menurut Selamat, yang dimaksud daun taber adalah campuran daun ruse dan daun ati-ati yang tumbuh subur di sekitar kebun warga. Campuran keduanya disebut “Kesal”.

Taber bisa diartikan sebagai upaya melunturkan, menyembuhkan, atau mengembalikan sesuatu jadi lebih baik. Daun taber bukan hanya untuk menaber laut, tetapi juga bisa menaber perahu, rumah, kendaraan, bahkan dapat menyembuhkan penyakit.

“Makanya, selesai ritual banyak yang meminta daun ini,” katanya.

Khusus naber perahu, harus dilakukan ketua adat. “Itu pesan nenek moyang kami, karena perahu sangat penting bagi masyarakat pesisir, sama pentingnya dengan nyawa pemiliknya,” terangnya.

Bulan pelaksanaan taber laot tidak menentu. Namun, jika nelayan mulai mengeluhkan tangkapan yang mulai sedikit, serta adanya tokoh adat yang mendapat pertanda mimpi, ritual segera dilaksanakan.

“Laut butuh istirahat. Kami harus bersyukur dengan hasil yang didapat, jika dipaksakan akan membawa musibah,” lanjutnya.

Menurut Jamaludin, Ketua Adat Dusun Beriga, pantangan ini harus benar-benar ditaati, khususnya bagi masyarakat Desa Batu Beriga dan Tanjung Berikat.

“Jangan serakah, akan tiba waktunya laut memberi lebih,” tegasnya.

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Warga membagikan daun taber kepada masyarakat yang hadir di ritual taber laot. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Komitmen menolak tambang timah

Secara umum, perairan adat yang membentang dari Pesisir Koba [Barat], Pulau Gelasa [Utara] hingga Pulau Kelapan [Selatan] merupakan laut adat bagi Suku Melayu yang menetap di Koba, Lubuk Besar, Tanjung Berikat, Batu Beriga [Kabupaten Bangka Tengah], hingga Pulau Kelapan [Kabupaten Bangka Selatan]. Luasnya sekitar 80 ribu hektar.

Selama ratusan tahun, perairan tersebut dijaga dari berbagai ancaman pengrusakan. Pada 2019 lalu, dikutip dari babel.antaranews.com, warga Desa Batu Beriga menolak kehadiran tambang timah laut, melalui aksi deklarasi damai di Pantai Batu Beriga.

Abdul Gani, Kepala Desa Batu Beriga, menyatakan hingga kini masyarakat tetap menolak kehadiran tambang timah laut.

“Laut di sini masih terjaga berkat kekompakan generasi ke generasi. Masyarakat sepakat menjaga dan melestarikan laut Desa Batu Beriga dari ancaman apapun yang merusak,” paparnya.

Baca juga: Jangan Usik Perairan Gelasa Kami

 

Jamaludin, ketua adat dari Dusun Beriga, beristirahat usai memimpin ritual taber laot. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan dokumen Peraturan Daerah [PERDA] Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020-2040, wilayah Perairan Batu Beriga masuk zona pertambangan seluas 4.859 hektar, sedangkan Perairan Tanjung Berikat dan sekitarnya seluas 26.093,4 hektar.

“Adat harus tetap dipertahankan, salah satunya taber laot. Dengan adat, laut kami bisa tetap lestari dan kelak akan bermanfaat bagi generasi selanjutnya,” tegas Selamat.

 

Exit mobile version