Mongabay.co.id

Menjaga Lahan Basah, Merawat Peradaban Bangsa Indonesia

Satu ikat purun ini dijual seharga Rp8 ribu kepada pengrajin tikar purun. Foto: Yudi Semai

 

 

Lahan basah, telah menjadi salah satu tempat bermukim manusia. Banyak situs arkeologi yang ditemukan di seputar lahan basah di Indonesia yang mempunyai karakter peradaban tersendiri. Salah satunya di pantai timur Sumatera.

Bambang Budi Utomo, Peneliti Senior Arkeologi Lahan Basah di Indonesia, mengatakan landasan teori garis pantai timur Sumatera bermula dari telaah V. Obdeyn tahun 1948 yang menyatakan, garis pantai sebelah timur Pulau Sumatera ada di pedalaman Batanghari dan bermuara di sebuah teluk yang besar.

“Di teluk itu terdapat pulau-pulau atau dataran yang basah,” kata Bambang Budi Utomo, pada Webinar Prospek Arkeologi Lahan Basah dalam Riset Arkeologi dan Pendayagunaan Kekayaan dan Budaya, pada 27 Mei 2022.

Telaah Obdeyn kemudian didukung Soekmono, Pakar Arkeologi Indonesia. Keyakinan Soekmono diperkuat dengan pemantauannya dari udara tahun 1954.

Tahun 1982, bersama Sartono [Pakar Geologi Indonesia], Soekmono memperkuat lagi teori garis pantai pedalaman tersebut, bahwa di daerah Sungai Musi terdapat sebuah tanjung dan Palembang terletak di ujungnya.

“Ujung tanjung merupakan sebuah bukit yang dikenal dengan nama Bukit Siguntang. Sungai Musi mengalir di bawah bukit itu.”

Sedangkan di seberang semenanjung bukan perairan dangkal, tetapi dataran rawa-rawa.

“Dataran rawa-rawa ini sekarang terletak di daerah Seberang Ulu, Plaju, dan Sungai Gerong,” kata Bambang.

Namun teori yang dicetuskan tahun 1948 itu berakhir kira-kira 1986. Saat itu, penduduk Air Sugihan yang menggali perkarangan menemukan peninggalan budaya zaman lampau berupa manik-manik batu karnelian dan kendi keramik dari Dinasti Sui [abad ke-5 hingga 6 Masehi].

“Pada sekitar abad ke-6 Masehi, penduduk Air Sugihan telah mengenal perdagangan jarak jauh seperti ke India dan Tiongkok. Bukti arkeologis dengan ditemukannya manik-manik batu kernelian, komoditi perdagangan yang digemari. Kendi keramik dari masa Dinasti Sui juga merupakan petunjuk adanya perdagangan dengan Tiongkok, meski dalam intensitas rendah,” jelas Bambang.

Baca: Meraba 720 Kilometer Garis Pantai: Histori Ekonomi Politik di Pantai Timur Sumatera

 

Purun danau merupakan sejenis rumput yang tumbuh di rawa gambut di Sumatera Selatan, yang selama ratusan tahun dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan kerajinan anyaman, seperti tikar purun. Foto: Yudi Semai

 

Awal mula penelitian di pantai timur

Setelah 1986, dilakukan peninjauan ke situs Air Sugihan dan kemudian diteliti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang.

Riset di pantai timur Sumatera ini menjadi penelitian lahan basah [wetland archeology] pertama di Indonesia. Hasilnya, ditemukan berbagai artefak dan situs arkeologi yang berkaitan dengan kehidupan bahari.

“Situs-situs itu merupakan indikator pemukiman kuno, berupa sisa tiang kayu penyangga rumah. Sedangkan temuan lain berupa tembikar, manik-manik kaca dan batu serta artefak yang berkaitan kehidupan nelayan,” tutur Bambang.

Tinggalan budaya lampau di Situs Karangagung Tengah, khususnya di Mulyagung, Karangmukti, Sariagung, Sukajadi, dan Bumiagung adalah permukiman kuno dan aktivitas sehari-hari berupa sisa tonggak kayu penyangga rumah, kemudi perahu, tembikar, manik-manik kaca dan batu, artefak logam, pelandas, bandul jala, gelang logam dan kaca, serta benda anthropomorphic.

“Rumah tinggal di lahan basah ini berupa rumah kayu nibung [Oncesperma tigillarium],” jelasnya.

Kayu nibung sejenis pohon palem yang banyak tumbuh di daerah rawa asia tenggara.

“Berdasarkan penanggalan karbon C-14 dari Situs Karangagung, hubungan dagang dengan India sudah berlangsung sejak abad ke-4 Masehi, namun penanggalan dari Situs Air Sugihan lebih tua lagi, yaitu abad ke-2 Masehi.”

Baca: Mitos Emas di Rawa Gambut Turut Merusak Pesisir Timur Sumsel?

 

Rumpun pohon nibung [Oncosperma tigillarium] yang bisa mencapai ketinggian 9-25 meter di Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Temuan Situs Air Sugihan menjadi cakrawala baru peneliti arkeologi yang sebelumnya menduga manusia tidak mungkin hidup di daerah rawa-rawa yang sulit air layak kosumsi.

“Penelitian arkeologi lahan basah di kawasan pantai atau pesisir timur Pulau Sumatera dari muara Batanghari hingga muara Air Saleh telah membuka cakrawala baru bagi telaah arkeologi permukiman.”

Menurut Bambang Budi Utomo, bisa jadi para pemukim lahan basah/rawa-rawa merupakan cikal bakal suku bangsa laut/bajau/ameng sewang yang tinggal di rawa-rawa dan perairan dangkal di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Tenggara.

Lalu pertanyaannya siapa mereka? Bambang  menjelaskan, mereka para penutur rumpun Bahasa Austronesia atau yang disebut juga oleh James Collins sebagai penutur Bahasa Melayu Kuno. Mereka tinggal di rawa-rawa, lahan basah, dan delta-delta sungai.

Lalu sekitar milenium pertama tarikh masehi, mereka melanjutkan pengembaraan melintasi Laut Tiongkok Selatan, melalui Pulau Tembala, Kepulauan Riau, dan Semenanjung Tanah Melayu.

“Di Sumatera mereka mendarat di pantai timur Sumatera melalui muara Batanghari, muara Musi, dan muara Air Saleh,” jelasnya.

Baca: Berharap Petambak Tradisional di Pantai Timur OKI Peduli Gambut. Mungkinkah?

 

Perhiasan emas motif ikan ditemukan di situs permukiman masyarakat Sriwijaya di Cengal, OKI, Sumatera Selatan, September 2019. Foto: Seringguk

 

Lahan basah dan peradaban besar

Dalam acara yang sama, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset [PR] Arkeologi, Fadlan S. Intan menjelaskan, lahan basah dikenal sejak adanya Konvensi Ramsar pada 1971 yang dihadiri 18 negara.

Konvensi Ramsar adalah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan. Pemerintah Indonesia pada 1991 meratifikasi dengan Keppres No. 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention On Wetlands Of International Importance Especially As Waterfowl Habitat.

Dalam paparannya “Situs Air Sugihan: Jejak Sungai Purba di Lahan Basah”, Fadlan menjelaskan tentang Situs Air Sugihan Sektor Banyubiru.

Lokasi sektor Banyubiru berada di Desa Banyubiru, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Organ Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan. Lokasi ini termasuk area Transmigrasi Air Sugihan Kanan.

“Posisi Air Sugihan di muara sungai jalur pelayaran, memungkinkan adanya komunikasi dengan daerah luar sejak awal,” katanya.

Menurut dia, wilayah tersebut merupakan pintu masuk pengaruh budaya dari luar yang nantinya akan menumbuhkan peradaban besar di bagian barat Nusantara.

Hal itu terbukti dengan temuan penelitian di wilayah Air Sugihan pantai timur Sumatera Selatan tahun 1988, berupa guci dari Dinasti Sui [6-7 M], manik-manik [kaca Indo-Pasifik, kaca emas, dan batu komelian] yang berasal dari Mesir [abad ke 4-11 M].

“Temuan ini, menguatkan dugaan telah ada permukiman kuno pra-Sriwijaya di wilayah Air Sugihan,” ujarnya.

Baca juga: Wong Rawang, Membaca Jejak Keberadaan Mereka di Lahan Gambut

 

Sebaran situs arkeologi di pantai timur Sumatera Selatan. Peta: Balai Arkeologi Palembang

 

Fadli menjelaskan, Indonesia memiliki 7 lokasi lahan basah, yaitu Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan, Taman Nasional Berbak, Jambi, Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai, Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Wasur, Papua, dan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.

Herry Yogaswara, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra [OR Arbastra] mengatakan penelitian lahan basah harus didukung masyarakat dan pemerintah. Hal itu penting, sebab dari sisi ilmu pengetahuan, luas lahan basah mencapai 20 persen dari daratan Indonesia.

“Ini persoalan penting, bukan hanya Sumatera, tetapi juga wilayah gambut di Indonesia,” paparnya.

 

Exit mobile version