Mongabay.co.id

Ketika Masyarakat Ikut Pulihkan Taman Nasional

 

 

 

Pepohonan rimbun. Ada gaharu, meranti, jelutung, ulin, ramin, nyatuh dan tanaman endemik lain. Kanopi rapat menyisakan ‘jendela-jendela’ kecil bagi hingga mentari bisa masuk. Orang biasa menyebut kawasan ini hutan Pesalat. Kawasan yang berada di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah ini sebelumnya rusak parah dan kini  kembali pulih.

Di taman nasional ini, ada yang sudah kembali berhutan lebat seperti Pesalat, tetapi ada yang masih dalam upaya pemulihan macam Natai Tengah.

Pesalat jadi hutan bertutupan lebat tak lepas dari kerja keras masyarakat sekitar sejak tiga dekade lalu.

Kalau melihat Pesalat pada 2003, hanya ada rumah panggung kayu, tunggul pohon ulin hitam bekas terbakar dan padang ilalang tumbuh di sekitar.

Sejak 2003, Friends of The National Parks Foundation (FNPF) mendapatkan izin restorasi di hutan Pesalat seluas 400 hektar.

Bersama masyarakat lokal, lokasi ini jadi ‘rumah belajar’ untuk mengenal bibit dan mencari cara agar restorasi berjalan ekonomis, efektif dan mudah.

“Saya ikut belajar (restorasi) mulai dari Pesalat bersama teman-teman, sehabis menambang liar. Usia saya 14 tahun waktu itu,” kata Ariyadi, pemuda Desa Sungai Sekonyer, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Adut, panggilan akrab pria 29 tahun ini, konsiten dari awal bergabung jadi relawan restorasi di TNTP.

 

 

Sungai Sekonyer, merupakan desa penyangga TNTP sekaligus pintu masuk para wisatawan. Kelestarian hutan penting bagi Ariyadi dan masyarakat Sekonyer.

Pada 1970-an, Pesalat merupakan ladang berpindah dan pemukiman bagi orang Dayak. Kawasan ini juga pernah terbakar. Lahan terdegradasi, hanya ada ilalang dan bruta.

Dulu, Pesalat bagaikan lapangan bola, tunggul-tunggul pohon bekas terbakar terlihat dimana-mana. Bruta dan ilalang penuhi kawasan.

Ketika mulai restorasi, mereka pakai bungkus bekas gula sebagai pengganti polybag untuk media penanaman. Sistem tanam bermula dengan jarak beragam, mulai 5×5 meter, makin mengecil dipadatkan jadi 1×1 meter. “Agar menyerupai hutan yang sebenarnya,” kata Adut.

 

 

 

Pesalat merupakan bagian kecil dari 136.502 hektar zona rehabilitasi di Tanjung Puting. Luas wilayah ini sepertiga dari Tanjung Puting, sekitar 415.000 hektar.

“Restorasi ini sebutannya pemulihan ekosistem. Jadi, kami selalu melibatkan masyarakat di sekitar kawasan,” kata Murlan Dameria Pane, Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting.

Pelibatan masyarakat sekitar begitu penting dalam meningkatkan kesadaran menjaga kelestarian kawasan.

Kondisi taman nasional, katanya, cukup baik. “Kalau di taman nasional banyak muncul permudaan-permudaan alami, itu istilahnya pioneer-pioneer-nya sudah muncul. Misal, pohon pulay yang sudah banyak anakan tumbuh alami.”

Seperti di Pondok Ambung dan Pondok Tanggui, antara lain wilayah pemulihan ekosistem oleh Balai Taman Nasional Tanjung Puting dan beberapa mitra. Kedua lokasi ini adalah tempat berladang masyarakat pada 1970.

 

 

Demplot tanaman obat di Pesalat. Restorasi di kawasan ini lumayan berhasil dengan jadikan kawasan yang dulu ilalang ke hutan kembali. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pondok Ambung ini satu contoh restorasi berhasil dengan pendekatan suksesi alami. “Hal terpenting dari suksesi alami ini menjaganya saja. Beberapa kita tanam namun hanya untuk mengisi. Kita tanam jenis-jenis untuk pakan hewan,” kata Maslan, polisi hutan TNTP.

Bedaru, simpur, nyatoh, ubar jambu, ubar samak, blangeran antara lain spesies tumbuhan endemik di wilayah itu. Berbeda dengan pesalat, kanopi di wilayah ini masih belum terbentuk. Beberapa pohon hanya setinggi sekitar tiga meter namun bruta sudah jarang ditemui.

Bruta dan ilalang menjadi dua spesies yang menunjukkan status lahan tergolong kritis. Kalau alami, lahan kritis akan tumbuh ilalang, berganti bruta lalu jadi jenis tumbuhan Melastoma sp. Jika sudah ada kanopi tumbuhan keras, maka tumbuhan-tumbuhan tersebut akan hilang seiring dengan waktu.

Begitu juga Pondok Tanggui. Lokasi pemulihan ekosistem ini masih belum seutuhnya pulih. Sejauh mata memandang hanya ada bruta dan beberapa tegakan pohon dengan jarak masih jauh. Beberapa bibit pohon setinggi betis orang dewasa ditanam dengan ajir (penanda bibit).

“Kalau Tanggui dan Ambung ini zona penyangga, jadi memang kita jaga terus karena rentan terbakar,” cerita Maslan.

 

 

 

Berdasarkan data Balai TNTP, luas keseluruhan pemulihan ekosistem yang telah dilakukan seluas 6.500 hektar dari 2018-2021 dan 1.729,25 hektar dilakukan mitra TNTP.

Tantangan pemulihan ekosistem ini, kata Murlan adalah kebakaran hutan dan berburu satwa.

Sejak 2000-an, ekosistem di kawasan Tanjung Puting sudah rusak akibat pembalakan liar.

Kerusakan ekosistem ini menyebabkan kebakaran hutan rentan. Pada 2015, areal terbakar mencapai 91.479,68 hektar, kemudian 39.840,19 hektar pada 2019.

Murlan mengatakan. masyarakat sekitar mengambil peran penting dalam menjaga kawasan dan turut andil bagian dalam pemulihan ekosistem TNTP. “Masyarakat juga kita libatkan dalam pengamanan, perlindungan, termasuk upaya pengendalian, pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan,” katanya.

 

Hampir dua dekade, Redansyah merawat pohon restorasi di hutan Pesalat. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman di taman nasional ini, selain pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan juga perburuan satwa, serta di sekitar kawasan banyak penambangan emas ilegal.

Sepanjang sungai Sekonyer, banyak tambang emas ilegal, mulai dari pertigaan Camp Leakey hingga arah utara sepanjang Sungai Sekonyer. Bahkan, mereka membuat ‘perkampungan’ dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial di Natai Tengah.

Restorasi, kata Samsul, pemuda Sekonter juga staff FNPF sebagai jalan ‘mengusir’ penambangan liar di kawasan hutan secara bertahap. “Makin luas restorasi, lokasi PETI (penambangan emas tanpa izin) kian menjauh.”

Pada 2010-2011 penanganan di Natai Tengah oleh BPDAS hutan lindung yang dikerjakan TNI. Selanjutnya, wilayah ini jadi izin restorasi FNPF.

Berbeda dengan Pesalat, di Natai Tengah kondisi hutan masih kritis. Bruta dan ilalang masih mendominasi, beberapa bibit sudah tumbuh lebih dari tiga meter, mayoritas masih setinggi ilalang. Pada 2020, FNFP sudah menanam 1,5 juta pohon seluas 655 hektar.

Bagas Dwi Nugrahanto, Manager FNPF mengatakan, Natai Tengah menjadi dulu pintu masuk penambang emas liar dan sangat kritis. Penanaman, dan perawatan bibit dilakukan selama tiga tahun.

“Menurut masyarakat, selama bibit tanaman melebihi alang-alang akan tumbuh 100%. Asal tidak terbakar. Ini yang penting,” katanya.

Adut maupun Isam–panggilan Samsul adalah bekas menambang emas dan penebang kayu liar. Alasan iseng dan tuntutan ekonomi membuat keduanya terlibat dalam kegiatan itu.

“Awalnya, bantu-bantu saja mencari bibit, mengisi polybag, membuat persemaian dan menanam pohon. Berawal dari nyoba-nyoba saja hingga tertarik sampai sekarang,” ujar Adut.

Meski sudah tak bekerja di FNPF, Adut masih menjaga TNTP. Dia membentuk Kelompok Peduli Lingkungan Tanjung Lestari. Ada 36 orang jadi anggota. Mereka mengedukasi para pemuda agar menjaga lingkungan hidup.

Bagas mengatakan, kerja-kerja restorasi di FNPF tak terlepas dari peran masyarakat sekitar taman nasional. Mereka adalah bekas penambang, penebang, tour guide dan lain-lain.

“Edukasi terselubung saat restorasi itu seperti ‘ini lho kita menanam tuh tidak semudah ketika kalian menebang.’ Prosesnya kita lebih saling bertukar pengetahuan tentang hutan, tanaman.”

Ancaman dari manusia menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pemulihan ekosistem TNTP. Hingga kini, berburu rusa dan babi masih seringkali terjadi dan memicu kebakaran.

 

Lokasi pembibitan di Natai Tengah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pemulihan di Way Kambas

Sekitar 715 kilometer dari Tanjung Puting, di Taman Nasional (TN) Way Kambas, Lampung, juga hadapi ancaman serupa. Perburuan liar sering menyulut api. Kebakaran bahkan bisa terjadi berhari-hari.

Paulus Untoro, warga UD Rantau Jaya, sudah puluhan tahun jadi polisi hutan (polhut) di TN Way Kambas. Setelah pensiun dua tahun lalu, dia aktif berkoordinasi dalam memantau kebakaran di wilayah itu.

Berbekal WhatsApp group, berisi masyarakat pekerja restorasi, polisi hutan, mereka rajin berbagi informasi mengenai kondisi kebakaran di TN Way Kambas.

Menurut Untoro, kebakaran cukup parah di TN Way Kambas pada tahun-tahun terakhir dinas, antara 2015 dan 2017. Kebakaran berulang terjadi. “Dalam setahun itu bisa belasan kali,” katanya.

Penyebabnya, hampir pasti ulah pemburu liar. Dengan membakar memudahkan mereka mendapat hewan buruan. Biasanya, setelah ilalang bersih, tunas-tunas baru akan muncul. Tanaman ini merupakan pakan rusa hingga satwa itu akan keluar dari tempat persembunyian.

Kondisi makin mencemaskan karena taman nasional ini merupakan habitat badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), dua satwa endemik yang terancam punah.

Satwa langka lain seperti tapir (Tapirus indicus), dan beruang madu (Helarctos malayanus).

Si jago merah juga musuh gerakan restorasi di kawasan ini. Penanaman pohon dilakukan mitra seperti lembaga swadaya masyarakat maupun warga lokal yang tinggal di desa penyangga.

Kuswandono, Kepala Balai TN Way Kambas menyebut, kebakaran hutan sebagai tantangan terbesar di wilayah itu, sekitar 80-90%. “Ini berbahaya karena dapat menyebabkan tanaman habis dan terdegradasi, hingga harus dipulihkan kembali,” katanya ketika ditemui di Way Kambas.

 

Area restorasi di Rawa Kidang, TN Way Kambas dengan tanaman dominan pakai badak. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Way Kambas punya sejarah kebakaran hutan panjang. Pada 1980-an, sebagian wilayah bekas hutan produksi dan ada izin HPH. Pembalakan liar besar-besaran maupun pembukaan lahan ilegal untuk pemukiman maupun pertanian masyarakat transmigran terjadi.

Aktivitas ini mendorong degradasi hutan. Mayoritas kawasan pun ditumbuhi alang-alang dan semak belukar.

Elisabeth Devi Krismurniati, Kepala Urusan Data, Monitoring Evaluasi, Laporan, dan Perizinan Berusaha Balai TN Way Kambas mengatakan, lahan kritis di Was Kambas mencapai 30% atau sekitar 37.000 hektar dari luas sekitar 125.000 hektar.

Lahan kritis ini, katanya, tak hanya rentan terbakar saat musim kering juga memudahkan pemburu liar beraksi.

Di sekitar taman nasional ini, ada 38 desa penyangga mengelilingi hingga banyak akses masuk bagi perusak hutan.

Menurut Kuswandono, rehabilitasi hutan di Way Kambas tercetus pasca kebakaran hebat 1997. Ada program penanaman pohon, termasuk kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) pemerintah. Sebagian berhasil, sebagian tidak.

Gerakan ini berkembang dengan melibatkan tiga organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat. Salah satunya, Kelompok Tani Hutan (KTH) Rahayu Jaya, yang digagas masyarakat Desa Labuhan Ratu VII, satu desa di perbatasan taman nasional.

Hadi, Ketua KTH Rahayu Jaya, mengatakan, kelompok mereka berdiri Januari 2020. “Awalnya, kita ngobrol-ngobrol aja tuh karena 2019 terjadi kebakaran hebat. Asapnya benar-benar (sampai) desa. Bahkan kebakaran sampai pinggir desa, di belakang rumah (tetangga),” katanya.

Niat ini disambut penyuluh di Balai TN Way Kambas.

 

Area resorasi Bambangan di Way Kambas. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Hadi bilang, kelompok dengan anggota 56 individu ini dapat pembinaan, mulai dari pencarian dana, perizinan, maupun pendampingan saat mencari bibit tanaman di taman nasional.

Setelah melewati proses itu, KTH Rahayu Jaya menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai TN Way Kambas.

Saat ini, kata Kuswandono kelompok ini satu-satunya yang menjalin kemitraan konservasi dengan balai.

Hadi mengatakan, mereka mengelola 150 hektar lahan di area yang dinamai Rawa Kidang, terletak di bagian selatan taman nasional. Seluas 50 hektar untuk penanaman pohon, sisanya termasuk wilayah yang dijaga untuk patroli kebakaran. Kemitraan itu akan berlangsung selama lima tahun, hingga 2025.

Selama dua tahun, KTH Rahayu Jaya telah menanam 65.000 bibit pohon. Jenis bisa dari desa maupun taman nasional.

Tanaman dominan merupakan pakan badak. Sesuai perjanjian dengan Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang mendanai kegiatan kelompok ini.

“Memang pohon yang kami tanam untuk pakan badak,” jelas Hadi.

Penanaman senjaga tak pakai ukuran. “Awalnya ada yang jarak empat meter, setelah tumbuh kita rapatkan lagi. Kita mau buat hutan. Kalau berjalur-jalur nanti malah seperti kebun,” katanya.

Anggota yang berjaga dapat upah harian Rp125.000 disimpan dalam kas desa. Per November 2021, uang terkumpul Rp40 juta. Harapannya, setelah terkumpul, kelompok ini akan terjun ke usaha seperti lebah madu, pembibitan, budidaya sapi, perikanan, dan peternakan bebek.

“Satu per satu unit usaha itu dibentuk. Sembari kita belajar dengan desa lain,” kata Hadi.

 

Lokasi pembibitan di Rawa kadut, Way Kambas. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di Rawa Kidang, restorasi juga dilakukan di beberapa titik. Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), lembaga swadaya masyarakat untuk konservasi hutan dan satwa, terlibat dalam rehabilitasi hutan sejak 2010.

Danang Wibowo, Koordinator Reforestasi, Sosial, dan Wisata ALeRT, pada 2021 mereka menanam satu juta pohon di area seluas 310 hektar bernama Rawa Purba. Area itu termasuk dalam SPTN III Kuala Penet, bagian selatan taman nasional.

Salah satu area yang berhasil adalah Bambangan seluas 50 hektar, sekitar dua kilometer dari Pusat Latihan Gajah.

Ketika kami datang ke kamp, kawasan rimbun dengan pepohonan setinggi 8-15 meter dan kerapatan tak lebih dari satu meter.

Di Rawa Kadut, dekat zona inti tepatnya di Desa Bungur, Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, keberhasilan kecil juga terlihat. Ini area restorasi yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara.

Sejak 2013, organisasi ini menanam puluhan ribu pohon. Kini, kawasan seluas 100 hektar itu sudah jadi hutan.

Basuki Budi Santoso, staf restorasi Auriga, area yang dulu kerontang, kini sering teridentifikasi jadi lintasan satwa. Jejak rusa, tapir, harimau, dan gajah hampir sudah biasa di kawasan ini. Tapak kaki dan kotoran dari rombongan gajah lewat juga sering ditemui.

Saat ini, mereka kembali menanam seluas 350 hektar dari total 600 hektar dengan target rampung akhir 2023. Secara keseluruhan, organisasi ini mengelola sekitar 1.250 hektar, yang setengahnya bagian dari monitoring kebakaran.

“Restorasi bukan cuma menanam, tetapi bagaimana mengembalikan fungsi ekosistem. Salah satunya dengan interaksi satwa, yang memakan tunas-tunas atau daun-daun tanaman yang kita tanam, dan aktivitas menjaga dan memantau api,” kata Basuki.

 

Restorasi hutan di Rawa Purwa, Way Kambas. Foto: AleRT

 

Diky, Koordinator Pemadam Kebakaran Hutan TN Way Kambas, mengatakan, kesuksesan restorasi di kawasan itu terbilang tinggi. Tanaman bahkan bisa tumbuh alami tanpa campur tangan manusia karena tanah cukup subur. Strukturnya terdiri dari tanah mineral dan lava gunung berapi.

“Idealnya, Way Kambas bisa pulih sepenuhnya dalam 30 tahun tanpa ditanami. Artinya, ada masalah. Yaitu intensitas kebakaran tahun tinggi. Daerah di sini juga ada perambahan dan illegal logging. Kalau ngomong faktor utama penyebab degradasi kawasan yaitu kebakaran,” kata Diky.

Pada 2014, area Bambangan dengan tanaman setinggi 3-4 meter habis dilalap api. Pada tahun sama, Auriga juga harus kehilangan 8.500 pohon karena kebakaran.

Karena tanaman resisten api, kecemasan sedikit berkurang. Ketika kebakaran terjadi, api hanya melalap bagian daun dan ranting. Ketika api padam, daun dan ranting akan kembali tumbuh.

“Yang paling utama adalah penegakan hukum. Lalu, bagaimana kita bisa memiliki sistem pengendalian kebakaran hutan yang bagus. Hal ini pelan-pelan kita lakukan,” ujar Diky.

Sejak 2010, Balai TN Way Kambas menerapkan aktivitas tambahan dalam perjanjian kerja sama dengan mitra. Setiap lokasi restorasi ditambahkan area yang masuk dalam penjagaan dari kebakaran.

Hutan yang mulai tumbuh maupun sudah tumbuh seperti Rawa Kidang dan Bambangan, wajib ada penjagaan dan pemantauan dari kebakaran.

Yayasan Auriga pada perjanjian barunya mendapat tugas menjaga sekitar 650 hektar dari api. Mereka melibatkan masyarakat untuk berjaga dengan sistem upah harian.

Konsep serupa terjadi di titik lain, sesuai perjanjian kerja sama dengan mitra maupun Balai TN Way Kambas.

Strategi ini dinilai cukup berhasil. Kebakaran yang dulu merata di seluruh seksi wilayah (selatan, tengah, dan utara), katanya, jadi menurun dalam dua tahun terakhir.

“Dua tahun belakangan di sini hampir tak ada kebakaran hutan… Semua aktivitas konservasi yang dilakukan melibatkan masyarakat intensif itu berbanding lurus dengan berkurangnya intensitas kebakaran hutan,” kata Diky.

Danang mengamini. Masyarakat, katanya, harus menjadi garda terdepan perlindungan dan pemulihan taman nasional, termasuk dalam pencegahan si jago merah.

Edukasi konsisten perlu dilakukan, hingga masyarakat sadar betul mengenai dampak buruk kebakaran.

“Kita juga harus memikirkan kebutuhan ekonomi masyarakat. Apakah tercukupi ketika terlibat perlindungan TN Way Kambas? Ketika ekonomi masyarakat sudah stabil, mereka tak akan banyak ‘intervensi’ di dalam kawasan taman nasional,” kata Danang.

Elisabeth Devi mengatakan, total lahan restorasi mencapai 18.000 hektar selama 2000-2018. Namun balai masih mendata presentasi keberhasilan dalam periode waktu itu.

Area yang berhasil dan kini suksesi alami, masuk dalam monitoring dan penjagaan masing-masing kantor resor.

 

Gajah di Way Kambas. Selain itu ada satwa endemik dan langka serta dilindungi lain yang hidup di kawasan ini seperti harimau dan badak Sumatera.

 

Balai TN Way Kambas juga berencana menambahkan area restorasi seluas 4.500 hektar periode 2021-2025. Ekosistem yang dipulihkan tidak hanya daratan, juga perairan, rawa, dan mangrove di sepanjang pantai timur.

“Rencana juga ada KTH lain dengan kisaran hampir sama 50-100 hektar, seluruhnya berada dalam kawasan. Mei lalu kami juga baru saja menandatangani perjanjian baru dengan KTH,” ujar Devi.

Semangat restorasi memang menular. Beberapa kelompok tani hutan di desa lain berminat terlibat dalam restorasi melalui kemitraan restorasi dengan Way Kambas.

Salah satunya dibentuk Untoro, bernama KTH Wana Bhakti di Desa Rantau Jaya Udik II, Sukadana, Lampung Timur, yang baru menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai TN Way Kambas.

Untoro mengajak eks pemburu maupun pemburu yang masih aktif terlibat. Di dalam kelompok ini, Untoro aktif memberikan pelatihan guna meningkatkan kesadaran.

Sekitar enam anggota kelompok ini merupakan mantan pemburu di taman nasional. “Saya ingin mantan pemburu direkrut itu ada rasa memiliki hingga mau menjaga taman nasional.”

Keterlibatan masyarakat faktor penting dalam restorasi. Bagi Kuswandono, keberhasilan restorasi itu terletak pada pemeliharaan terus-menerus.

“Di sini masyarakat benar-benar menjaga. Masyarakat menanam, memelihara… Kalau ada yang mati, disulam. Jadi ada penjagaan terus menerus dari masyarakat.”

*Kolaborasi liputan Mongabay Indonesia dan Betahita. Artikel ini merupakan tulisan berseri atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hutan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center.

 

 

 

********

Exit mobile version