Mongabay.co.id

Ini Tantangan Pengembangan Perikanan Tangkap dan Budidaya di NTT

 

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam pengembangan potensi perikanan tangkap dan budidaya di wilayah ini.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat bertemu Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat di kantor KKP, Jakarta, Senin (13/6/2022) lalu,

Menurut Trenggono, dukungan diberikan melalui tiga program strategis yang meliputi kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budidaya untuk komoditas unggulan ekspor, serta pembangunan kampung budidaya perikanan.

“Untuk mengoptimalkan potensi perikanan tangkap di wilayah NTT, KKP punya program prioritas kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota, di mana wilayah NTT termasuk dalam Zona 3,” sebutnya.

Zona 3 meliputi WPPNRI 715 dan 718 yang terdiri Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur yang merupakan wilayah laut NTT. Kuota penangkapan di zona 3 hampir 3 juta ton dengan nilai ekonomi sekitar Rp85 triliun.

Dia memaparkan, kuota penangkapan ini diberikan untuk industri dan penghobi dengan ketentuan akan dipungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara untuk nelayan lokal tanpa dikenakan PNBP.

Implementasi penangkapan sistem kuota ini selain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata di wilayah pesisir, juga menjaga populasi perikanan tetap lestari,” ucapnya.

baca : Ini Kendala yang Dihadapi Nelayan NTT. Apa yang Harus  Dilakukan Pemerintah?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat bertemu Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat di kantor KKP, Jakarta, Senin (13/6/2022). Foto : KKP

 

Trenggono mengatakan,kebijakan yang diambil tersebut guna mendorong terjadinya distribusi ekonomi yang merata agar tidak lagi terpusat di Pulau Jawa.

Ia menekankan, nantinya ikan hasil tangkapan di zona-zona tadi, wajib didaratkan di pelabuhan sekitarnya. Tenaga kerja di industri maupun yang mendukung operasional pelabuhan harus tenaga kerja lokal.

“Nah di Zona 3 tadi Perputaran ekonominya cukup besar, dan tenaga kerja yang terserap juga akan banyak,” tuturnya.

Trenggono melanjutkan,implementasi kebijakan tersebut nantinya didukung oleh pengawasan ketat yang dilakukan melalui patroli langsung kapal pengawas serta teknologi satelit.

Hal ini sebutnya, untuk memastikan sistem zonasi dan kuota yang dibangun berjalan optimal.

Sementara untuk pengembangan potensi budidaya rumput laut dan lobster, pihaknya siap mendukung sarana perasaan termasuk pendampingan kepada para pembudidaya.

Rumput laut dan lobster adalah komoditas yang tengah digenjot produksinya melalui program prioritas pengembangan perikanan budidaya berorientasi ekspor dan pembangunan kampung perikanan budidaya,” terangnya.

Gubernur NTT Viktor Laiskodat menyambut baik rencana implementasi kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota.

Viktor bahkan berharap kebijakan itu segera diterapkan untuk mendukung pembangunan sektor kelautan dan perikanan di wilayahnya.

“Yang pasti kita mendukung sekali. Kalau perlu realisasinya dipercepat karena ini solusi pembangunan perikanan tangkap yang menurut saya sangat tepat,” harapnya.

baca juga : Nelayan NTT Masih Miskin, Apa Penyebabnya?

 

Kapal nelayan sedang bersandar dan menurunkan hasil tangkapan di TPI Alok, Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penting Melengkapi Data

Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Indonesia, Barnabas Pablo Puente Wini Bhokaleba, SPi,MSi kepada Mongabay Indonesia, Selasa (14/6/2022) mengatakan tiga kebijakan KKP untuk mendukung sektor perikanan tangkap dan budidaya di NTT perlu didukung.

Meski begitu, Barnabas menyoroti berbagai hal yang perlu dibenahi. Ia katakan, pendaratan ikannya akan dilakukan di pelabuhan lokal di NTT artinya NTT harus mempersiapkan sarana dan prasarananya termasuk pelabuhan dan tempat pelelangan ikan (TPI).

Kalau ini berhasil maka efeknya sangat besar sebab bila terjadi lelang maka nilai perputaran uangnya sangat besar karena pembeli akan melakukan transaksi di TPI,” ucapnya.

Kendalanya, kata Barnabas, penangkapan terukur harus berbasis data dan ketika bicara data maka disuguhkan sarana dan prasarana, NTT mempunyai apa.

Kata dia, TPI di NTT banyak yang tidak aktif. Pabrik es juga terbatas dan tidak berjalan baik. Ketika musim ikan maka suplai es dari pabrik tidak mencukupi untuk nelayan.

Selain itu, pengelolaan wilayah laut sekarang ini kan dilimpahkan ke pemerintah provinsi dan dampaknya pemerintah kabupaten dan kota sepertinya angkat tangan.

Jalur transportasi terhalang oleh rumpon karena pemasangan tidak beraturan dan izin juga tidak ada.

baca juga : Begini Kondisi Nyata Nelayan NTT di Tengah Pandemi COVID-19

 

Ikan kombong hasil tangkapan nelayan Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata,NTT di Teluk Hadakewa menggunakan jaring. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pendataan nelayannya juga masih bermasalah. Kita mau memberikan kuota tetapi pendataan nelayan saja belum beres. Kita mau menerapkan penangkapan terukur dan kuota tetapi kita tidak tahu nelayan mana yang mau disasar,” sesalnya.

Barnabas menekankan karakteristik nelayan berbeda maka alat tangkap berbeda sehingga basis data penting. Ia meminta pemerintah provinsi NTT menyediakan basis data terlebih dahulu agar bisa bersinergi dengan KKP.

Menurutnya, data potensi perikanan di NTT tidak ada sementara data produksi ada. Apakah data produksi ini bisa dijadikan acuan untuk penangkapan terukur berbasis kuota? Tentu tidak bisa sebab potensi perikanan juga belum didata apalagi di zona 3.

Ada banyak yang belum diatur, banyak data yang belum dimiliki baik data nelayan, armada, sarana dan prasarana pendukung, fasilitas seperti SPDN dan lainnya. Ini yang perlu dipetakan terlebih dahulu,” sarannya.

Barnabas sepakat perikanan budidaya di NTT perlu dikembangkan namun kawasan yang dibangun jangan bergesekan dengan alur penangkapan dan jalur transportasi laut.

Ia mencontohkan, di Pulau Konga, Flores Timur, ada kawasan budidaya mutiara tetapi kawasan tersebut merupakan tempat nelayan menangkap ikan. Ini harus dipetakan agar kawasan budidaya tidak tumpang tindih dengan yang lain.

Soal kampung budidaya sangat bagus diterapkan karena perikanan budidaya di NTT belum digarap secara maksimal meski potensinya sangat besar,” ungkapnya.

baca juga : Potensi Gurita Menjanjikan, sayangnya Nelayan Ende Masih Gunakan Alat Tangkap Seadanya

 

Perahu nelayan milik masyarakat kampung Wuring kelurahan Wolomarang kabupaten Sikka,NTT yang menangkap ikan demersal dan pelagis.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Regulasi Membebani Nelayan

Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) NTT Abdul Wahab Sidin kepada Mongabay Indonesia menanggapi dingin adanya kebijakan KKP ini.

Wahab menegaskan keberpihakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap masyarakat nelayan di NTT, khususnya nelayan di Kota Kupang tidak ada sama sekali.

Ia sodorkan bukti, para nelayan korban Badai Seroja tanggal 4-5 April 2021 yang lalu, sampai sekarang belum mendapatkan realisasi bantuan sama sekali. Padahal sesuai UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Korban Bencana merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Ratusan kapal nelayan rusak sehingga nelayan tidak melaut. Nelayan pun kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tapi sampai sekarang tidak ada bantuan dari pemerintah,” sesalnya.

Selain itu Wahab juga menyesalkan dengan diberlakukannya Pergub NTT Nomor 54 dan 55 tahun 2022 yang sangat memberatkan nelayan.

Ia katakan, pungutan retribusi naik tapi pelayanan terhadap kebutuhan nelayan amburadul.

Dirinya memberi contoh soal petugas syahbandar perikanan yang mendatangani SPB (Surat Persetujuan Berlayar) di Kota Kupang hanya satu orang saja. Padahal kapal nelayan di Kota Kupang yang mangkal di PPI Tenau dan PPI Oeba berjumlah ratusan kapal.

“Pelayanan di PPI Tenau khususnya di dermaga perlu diatur demi lancarnya bongkar muat kapal nelayan di dermaga tersebut,” harapnya.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Penjual ikan eceran di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka,NTT yang sedang menanti pembeli yang tampak sepi semenjak merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain itu sesal Wahab, biaya tambat labuh naik 100 persen dan hanya dikenakan bagi kapal nelayan sedangkan kapal patroli Polairud dan PSDKP tidak dikenakan biaya tambat labuh.

Dirinya mewakili nelayan meminta agar Pergub NTT tersebut harus ditinjau kembali karena banyak point didalamnya yang sangat membebani para nelayan.

“Regulasi apapun kami terima asal demi untuk menyejahterakan nelayan.Tapi kalau penerapan dan pengaturannya tidak berpihak pada kesejahteraan nelayan, untuk apa?,” tegasnya.

 

Exit mobile version