Mongabay.co.id

Peneliti : Dampak Mikroplastik Terhadap Kesehatan Manusia Perlu Kajian Lebih Lanjut

 

Banyak penelitian sudah mengkonfirmasi bahwa mikroplastik memasuki tubuh manusia, seperti paru-paru dan darah. Namun, para peneliti Indonesia menyatakan masih perlu kajian lebih lanjut untuk menentukan dampak mikroplastik kepada kesehatan manusia. Dan, ini masih menjadi jalan yang panjang.

Secara umum, mikroplastik merupakan partikel plastik dengan ukuran kurang dari 5 milimeter. Sumbernya bisa berasal dari pabrikan, yang disebut sebagai mikroplastik primer, contohnya kosmetik atau pasta gigi. Atau, berasal dari plastik yang terkena degradasi alam, paparan cahaya UV, pecah karena gelombang laut hingga gerakan mekanik. Yang kedua ini disebut sebagai mikroplastik sekunder, yang biasanya terdapat pada botol minum atau serat baju.

Temuan terbaru terkait mikroplastik muncul bulan April lalu ketika para peneliti dari Universitas Hull, Inggris, berhasil mengidentifikasikan mikroplastik pada jaringan paru-paru orang hidup untuk pertama kalinya.

Setidaknya 39 partikel mikroplastik ditemukan di 11 dari 13 sampel jaringan paru-paru yang mereka uji. Ada 12 jenis plastik, dengan polipropilen dan polietilen tereftalat, dan resin yang paling banyak ditemukan. Serat-serat ini biasanya ditemukan dalam kemasan, botol, pakaian, pembuatan tali dan benang, dan industri lainnya.

Sebelumnya, The Guardian melaporkan bahwa mikroplastik sudah masuk ke dalam aliran darah. Para ilmuwan asal Belanda ini telah menemukan 17 partikel plastik dari 22 sampel darah orang dewasa. Setengah dari sampel tersebut mengandung plastik PET, yang biasa terdapat dalam botol minuman. Sementara, sepertiga mengandung polistirena, yang biasa digunakan dalam pengemasan makanan, dan seperempat lagi mengandung polietilen, yang berasal dari kantong plastik.

baca : Darurat Mikroplastik di Sungai Jawa, Aktivis Lingkungan Somasi Para Gubernur

 

Mikroplastik, yang berasal dari plastik, kini sudah memasuki tubuh manusia, baik di darah dan paru-paru. Foto : 5Gyres, dari Universitas Oregon State

 

Keberadaan plastik di tubuh manusia itu memang sudah ada, mulai dari feses, usus (yang) diambil dari pasien yang akan operasi kolostomi, ternyata di bagian kolon yang dipotong ditemukan ratusan mikroplastik, ada di plasenta, darah manusia bahkan dapat dihitung secara kuantitatif yaitu microgram per milliliter,” jelas Inneke Hantoro, peneliti mikroplastik dan dosen dosen Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, dalam Webinar “Mengenal Mikroplastik dan Dampaknya terhadap Lingkungan dan Kesehatan”, 16 Juni yang lalu.

Selain pada manusia, Inneke menyebutkan bahwa sejak tahun 2015, banyak penelitian yang menemukan mikroplastik pada makanan laut, buah-buahan dan sayuran, ikan air tawar, ayam, sapi, babi, garam, minuman (soft drink, bir, susu), madu dan gula, air minum (air keran dan air botol).

“Jelas mikroplastik itu sudah mengkontaminasi bahkan masuk ke tubuh manusia. Tetapi, disini masih ada tantangan pada identifikasi bahaya dan pada karakterisasi bahaya. Yang diperlukan adalah bagaimana mengembangkan penelitian-penelitian yang terkait dengan standarisasi metode deteksi dan juga studi toksisitas dari mikroplastik,” tambahnya.

 

Belum cukup penelitian

Meski sudah banyak penelitian awal yang mengungkapkan kontaminasi mikroplastik pada lingkungan, hewan dan manusia, para peneliti masih belum mencapai kesimpulan akan dampak partikel ini kepada kesehatan manusia secara langsung.

Berdasarkan standar makanan internasional, Codex Alimentarius Commission (CAC), untuk lolos sebagai food hazard atau bahaya makanan pada manusia harus ada evaluasi risiko atau risk assessment yang melalui empat tahapan, yaitu identifikasi bahaya (Hazard Identification), karakterisasi bahaya (Hazard Characterization), asesmen paparan (Exposure Assessment), dan karakterisasi risiko (Risk Characterization).

“Perlu ada identifikasi keberadaan dan faktor pendukung keberadaan mikroplastik, juga identifikasi karakter, misalnya dari konsentrasi, bentuk, ukuran, hingga jenis polimer. Kedua, perlu ada karakterisasi hazard, misalnya pakai hewan coba yang sengaja dipaparkan dengan plastik pada dosis tertentu dan melihat reaksinya,” jelas Inneke.

Setelah ada karakterisasi bahaya, dilanjutkan dengan studi perkiraan paparan mikroplastik. “Misalnya, hitung konsumsi mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh, misalnya melalui mulut atau pernapasan. Keempat, baru karakterisasi risiko, yaitu menentukan masyarakat, populasi mana yang rentan terhadap mikroplastik,” lanjutnya.

baca juga : Pemerintah Perlu Bikin Regulasi Baku Mutu Mikroplastik

 

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ia menegaskan bahwa studi risiko ini harus dilakukan apabila ingin tahu bahaya mikroplastik kepada manusia.

“Saat ini, penelitian mikroplastik baru pada tahap satu dan tahap kedua, yaitu identifikasi dan karakterisasi. Misalnya, baru mengukur berapa banyak mikroplastik yang ditemukan,” tambahnya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Andreas, peneliti kimia Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Kalau terkait dengan [dampak mikroplastik terhadap] kesehatan di dalam darah dan selain sebagainya itu belum pernah kita lakukan,” jelas Andreas.

Ia menambahkan belum ada ketentuan ambang batas yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia karena standar pengukuran yang masih berbeda-beda.

Belum ada [ambang batas mikroplastik]. Kalau memang sudah ada pasti sudah diadopt terkait aturan itu. Karena, tadi saya bilang kalau menghitung jumlah ukurannya yang satu mikro tapi 10 dengan lima mikro cuma ada dua kan jadi hitungannya cuma dua yang satu mikro ini 10, itu nggak fair. Kalau dengan hanya dihitung jumlah jadi sampai sekarang belum ada regulasi seperti itu. Jadi terkait regulasi harus equal ya,” ujarnya.

“Dunia juga belum memiliki standarisasi terkait dengan itu biasanya kalau dunia sudah ada kita pasti terlibat dalam penyusunan terkait standar tersebut,” tandasnya.

baca juga : Gawat, Sungai di Aceh Tercemar Mikroplastik

 

sampah mikroplastik. Foto : legacy.4ocean.com

 

Terkait dengan penelitian terbaru yang menunjukkan mikroplastik ada dalam darah, Inneke menyatakan bahwa mereka [para peneliti] memang menemukan plastik dalam jumlah kecil di sampel darah orang sehat.

“Nah kalau kita sih menyikapinya berarti memang betul bisa masuk ke darah. Kalau bisa masuk ke darah, sebetulnya tubuh kita kan punya barrier yang masuk lewat paru-paru dan masuk lewat usus, itu nggak bisa masuk ke darah,” jelasnya.

Ia menambahkan ukurannya harus sangat-sangat kecil atau spesifik. “Kalau ukurannya di bawah, katakan ada penelitian yang menyampaikan di bawah 150 micron, itu baru bisa menembus dinding sel usus masuk ke organ-organ yang lain,” tambahnya. “Kalau sampai ke daerah itu, berarti sangat kecil dan penelitian ini tidak bisa memberikan informasi berapa ukuran yang kemudian ditemukan.”

Lebih lanjut, ia menyimpulkan bahwa semua sampel darah dihancurkan kemudian diambil saja yang dianggap plastik. “Mereka ini baru awal saja untuk membuktikan itu. tetapi belum bisa memberikan informasi lebih jauh bahwa yang sangat kecil harus masuk ke tubuh kita itu risikonya apa kita belum tahu,” tambahnya.

menarik dibaca : Bioplastik: Si Pencegah Mikroplastik Terkini

 

Tidak hanya mikroplastik saja yang bertahan di daging hewan pemakan sampah, tetapi ada juga kandungan senyawa kimia yang ada di sampah plastik yang bisa menjalar ke tubuh manusia. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Cegah plastik masuk lingkungan

Manusia tidak bisa lepas dari plastik yang sudah ada di mana-mana dalam setiap aspek kehidupan. Saat ini, memang belum ada penelitian cara menanggulangi sampah mikroplastik. Tetapi, manusia bisa memulai dengan mengurangi sumber dari mikroplastik, yaitu plastik.

“Kita harus bedakan untuk masalah yang besar adalah mikroplastik itu dari mana. Salah satunya kan memang dari sampah plastik. Jelas preferensinya kita harus mulai dari hulu dulu yaitu mencegah supaya plastik atau sampah plastik itu tidak masuk ke lingkungan dan sehingga mungkin kita meminimalkan penggunaan plastik yang tidak perlu,” tandas Inneke.

Tahun 2019, Indonesia menyumbang 3,21 juta metrik ton per tahun sampah plastik ke lautan dan angka ini akan meningkat seiring dengan naiknya produksi plastik. Tahun 2014, produksi plastik meningkat hingga 20 kali lipat menjadi sekitar 300 juta ton. Kondisi ini akan membuat perbandingan ikan di laut dengan sampah plastik menjadi 1 banding 3 pada tahun 2025.

“Bagaimana pun juga plastik masih kita perlukan sebenarnya untuk banyak hal, tetapi kadang kita berlebihan untuk menggunakannya. Nah ini yang kemudian memang harus diminimalkan,” jelas Inneke. “Tetapi, kalau sudah terlanjur ada di lingkungan dan mencemari kemudian sampai menjadi mikroplastik itu kan tidak bisa kita tanggulangi. Siapa yang bisa menyaring mikro plastik di lautan? Tidak ada. Apalagi di udara.”

 

Exit mobile version