Mongabay.co.id

Manusia Mengubah Wajah Sungai Citarum (bagian 4)

 

 

Cuaca Bandung tak menentu siang itu. Hujan turun gemerecik gerimis di sini, tapi lebat di sana. Dari layar telepon pintar, Riki Waskito (45) meng-update informasi cuaca setengah was-was. Jika tak ada kabar terbaru bisa bikin hati tidak tenang, katanya.
“Cuaca: hujan, lokasi: Cibereum-Kertasari, intensitas deras, durasi 5-10 menit, sumber: pandangan mata,” demikian tulis salah satu pesan broadcast di grup whatsapp Siaga Warga.

Maklumlah, hidup ditengah daerah rawan bencana banjir memang bikin resah. Apalagi jika bencana banjir itu terlanjur mengepung hampir setengah umur kemerdekaan republik ini.

“Banjir adalah masalah yang tidak berkesudahan di wilayah tempat tinggal kami. Sehingga kami mesti beradaptasi,” tutur Riki saat berbincang dengan Mongabay-Indonesia beberapa waktu lalu.

Sekalipun laju kota kian rapuh, tapi sebagian warganya memilih bangkit. Dan, ini memang soal pelik, ketika perubahan dilakukan di kota yang rusak akibat banjir. Pilihannya hanya diantara bertahan atau pindah.

Maka, Riki dan orang-orang yang tergabung di Garda Caah dan Jaga Balai, komunitas sukarelawan bencana mandiri itu memilih menetap. Alasannya, tak ingin kehilangan “sepetak rumah” sebagai ruang hidup mereka. Sekalipun konsekuensinya berupa kerugian materi tiap kali kebanjiran.

baca : Pemulihan Citarum untuk Dunia (Bagian 1)

 

Warga naik perahu di jalanan desa saat banjir menggenangi Desa Bojongasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 19 April 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mereka menyadari bahwa sekadar mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk menanggulangi banjir tahunan di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ibarat mimpi di tengah hari. Apalagi jika menuntut pemerintah mengganti kerugian karena ketidakmampuan menegakkan aturan melindungi tangkapan air di hulu.

Namun, karena mereka menganut paham hidup adalah udunan alias gotong royong, gerakan kemanusian ini tetap tumbuh ditengah krisis lingkungan sejak 2007 silam. Jika sebelumnya setiap warga sibuk sendiri menyelamatkan keluarga masing-masing, kini terbentuk gerakan yang lebih massal dalam mitigasi.

Sebenarnya, jalur informasi yang dibangun ialah antara relawan yang berada di bagian hulu dan hilir Sungai Citarum. Yang termasuk kawasan hulu yakni Pacet dan Cibeureum, sedangkan di kawasan hilir ada Majalaya dan Ciparay.

Pada akhirnya, konsep udunan itu mengantarkan balada warga bergaul dengan para insinyur dan ilmuwan. Mereka, secara sukarela mendampingi sekaligus mengajarkan penggunaan alat modern untuk upaya menumbuhkan keterlibatan warga di daerah aliran Sungai Citarum menghadapi banjir.

Riki mengatakan, keuntungan dari pada itu yakni pola informasi lebih terintegrasi. Data dianalisis dulu, sebelum disebarkan. Hasilnya, prakiraan waktu banjir lengkap dan akurat dengan ketinggian air.

Data yang mensuplai informasi kepada grup Siaga Warga itu berasal alat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Weather and Climate Prediction Laboratory Institut Teknologi Bandung, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, hingga Flood Forecasting and Warning System Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. Kata Riki, semuanya diberikan gratis.

baca juga : Banjir Cekungan Bandung dan Keberlanjutan Sungai Citarum

 

Riki Waskito menunjukkan alat pemantau ketinggian air di anak Sungai Citarum, Majalaya, Kabupaten Bandung. Alat pemantau tersebut didapatkan dari sejumlah institusi sebagai upaya memperkuat mitigasi bencana banjir oleh warga. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penataan Kota Buruk

Kota-kota di Cekungan Bandung makin rentan dilanda bencana. Beban daya tampung terlampau berat menopang geliat perkembangan kota tanpa diimbangi pertimbangan daya dukung wilayah. Sehingga masalah tambah runyam.

Empat kota dengan penduduk lebih dari 7,5 juta jiwa kini berhadapan dengan ancaman nyata dari perubahan iklim, berbentuk bencana dan mempengaruhi hidup sehari-hari tiap orang. Kota Bandung, misalnya, sudah tak mampu menampung limpasan air hujan.

Secara lansekap Cekungan Bandung seluas 350.000 hektar itu diprediksi tak bisa sepenuhnya bebas dari banjir. Hasil kajian menujukan, sekitar 2-5 persen lahan dari luas total cekungan merupakan daerah limpasan air yang pasti terjadi banjir setiap kali Sungai Citarum meluap.

Hal itu berdasarkan data BBWS Citarum yang sempat menghitung luas daerah genangan di Cekungan Bandung mencapai 7.450 hektar pada 1986 silam. Sejak itu upaya normalisasi secara berkala dilakukan pemerintah. Hasilnya, belum bisa menangani banjir.

Sejumlah infrastruktur untuk mengatasi banjir juga dibangun. Terbaru adalah Oxbow, Kolam Retensi Cieunteung, Sodetan dan Terowongan Curug Jompong. Jika dihitung dari program awal normalisasi banjir hingga saat ini, nyaris 4 dekade, banjir masih tetap tak teratasi.

baca juga : Reuni Para Jenderal di Kaki Wayang (Bagian 2)

 

Foto udara kawasan padat penduduk yang dilintasi Sungai Cikapundung di Tamansari, Kota Bandung, Rabu (16/2/2022). Berdasarkan data Satgas Citarum, kota dengan populasi 2.7 juta penduduk ini paling banyak penyumbang sampah ke Sungai Citarum.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Andaikan saja Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JB Van Heutz masih hidup, mungkin dia akan ikut was-was seperti orang-orang di kota saat ini. Dialah yang menandatangani surat keputusan Bandung sebagai suatu Gemeente atau semacam kotamadya pada tanggal 1 April 1906. Keputusan ini dinilai bersejarah, sehingga setiap tahun diperingati sebagai hari lahir Bandung.

Dia mempersiapkan Bandung bukan sekadar kota hunian, tetapi Bandung sebagai contoh kota ideal di Hindia Belanda. Namun, jika ditengok, kota-kota di Cekungan Bandung menuju warna yang seragam, dengan Bandung menjadi pusat orientasinya: minim ruang terbuka hijau, pembangunan rumah tak terkendali hingga laju alih fungsi lahan begitu sporadis.

Celakanya, kondisi itu berpotensi menimbulkan masalah baru. Kesenjangan sosial, kualitas lingkungan menurun, dan kinerja sarana serta prasarana perkotaan yang memburuk. Bandung yang pernah mendapat sanjungan “De Bloem der Indische Bergsteden” (Bunganya Kota Pegunungan di Hindia), wajahnya kini sudah jauh berubah.

 

Bom waktu

Kota-kota di Cekungan Bandung menjadi penyumbang sampah terbesar bagi Sungai Citarum. Upaya pemerintahnya mengurangi sampah tak sebanding dengan sampah yang dihasilkan.

Semisal, produksi sampah Kota Bandung 1.500-1.600 ton per hari. Namun, hanya 1.100-1.200 ton yang terangkut ke pembuangan akhir. Sisanya terpapar ke lingkungan, termasuk sungai.

Apalagi, Kota Bandung dilintasi 46 sungai dan anak sungai, yang mayoritas kritis. Selain dicemari sampah dan sedimentasi, beberapa sungai menyempit sehingga menghambat aliran air.

Tercatat, ada sekitar 1.500 ton sampah dari 12 kabupaten/kota yang dibuang ke Sungai Citarum setiap hari. Hal ini berdampak pada pencemaran plastik yang terakumulasi di muara sungai di Laut Jawa. Padahal, Laut Jawa menjadi daerah tangkapan ikan komersial.

baca juga : Atas Nama Sungai Citarum (Bagian 3)

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di tengah krisis sampah gawat, tumbuh gerakan generasi muda menggalang kepedulian terhadap lingkungan semakin masif. Mereka mengoptimalkan media sosial dalam membangun kepedulian bersama.

Salah satunya digagas oleh Direktur Waste4change, M. Bijaksana Junerosano. Pria yang akrab disapa Sano itu bersama dengan koleganya, Gary Bencheghib, menginisiasi Sungai Watch. Gerakan publik yang fokus untuk kelestarian sungai dengan membersihkan sampah.

Proyek gotong royong itu juga rencananya akan membikin 100 titik jaring sampah yang tersebar di sungai Jabar. Tujuannya agar mengurai masalah pencemaran akut khusus sampah plastik yang mulai mencemari lautan.

Sano bilang ada sekitar 1.000 relawan yang bergabung dengan Sungai Watch untuk membersihkan sungai. Kebanyakan dari mereka adalah generasi muda berusia 16-28 tahun.

“Sebenarnya masalah sampah ini bukan masalah teknologi, bukan masalah formula-formula yang baru. Formulanya sudah ada, pertanyaannya lebih kepada berani dan mau tidak untuk serius menerapkan formula tersebut. Ini ngomonginnya lebih kepada leadership dan political will,” tuturnya.

baca juga : Yang Hilang Dari Pinggiran Citarum

 

Alat berat (Backhoe) mencoba mengangkut sampah di Sungai Cikapundung, Kampung Cijagra, Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, belum lama ini. Setelah debit air turun sampah dikawasan tersebut bisa mencapai 30 ton/hari. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, turun ke sungai dan membersihkan sampah bersama-sama bisa jadi tidak ada habisnya. Sampah akan terus ada. Itu sebabnya Sungai Watch bersiasat dengan memasang jaring sampah yang akan dilakukan bertahap.

Agar terpadu, Waste4change disiapkan membangun strategi supaya sampah tidak masuk lagi ke sungai. Pengelolaan sampah pun mulai menyasar masyarakat. Alasanya jika urusan buang sampah dilayani dengan benar, enggak punya alasan untuk nyampah ke sungai.

Proyek sosial ini setidaknya butuh dana awal sekitar 700-800 ribu dollar untuk infrakstuktur awal. Itupun, katanya, baru membersihkan sampah dari sungai, belum kalau investasi supaya sampah tidak masuk sungai. Tapi jika tak dilakukan mitigasi, akan memicu bom waktu. Sebab, tempat pembuangan akhir (TPA) di kota-kota sepanjang Citarum sudah penuh dan melebihi kapasistas tampungnya.

Ngurusin sampah itu multidimensi. Kuncinya membangun manajemen pengelolaan sampah yang bertanggung jawab,” kata Sano. Memang begitu urusan sampah rumit, namun masih bisa diupayakan dengan kesungguhan, “Jadi enggak ada negara satupun yang mampu mengatasi masalah sampah di bawah 10 tahun.”

 

Transisi Perilaku

Di sepanjang Sungai Citarum, ongkos ketidakpatuhan membengkak. Selain membuat hutang luar negeri semakin besar, negara juga perlu menanggung beban ketidakpatuhan yang luar biasa besar.

Dalam laporan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum 2019-2025, penanganan limbah industri meliputi peningkatan pembinaan pengendalian pencemaran berikut penanggulangannya butuh dana Rp1,6 Triliun. Padahal secara aturannya, perusahan wajib punya dan menangani IPAL-nya dengan baik serta benar.

Ketidakpatuhan ini juga menjalar ke mana-mana. Diketahui DAS Citarum, masih jadi tempat buangan bagi 200.000 KK yang belum terlayani akses sanitasi serta masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Lantas, negara kembali menganggarkan Rp1,01 Triliun untuk urusan mandi, cuci, dan kakus.

baca juga : Mimpi Pulihkan Citarum, Berharap jadi Inspirasi bagi Pengelolaan Sungai Lain di Indonesia

 

Foto udara pemukiman penduduk di kawasan Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Alih fungsi lahan pertanian menjadi terbangun kian masif seiring laju pertumbuhan penduduk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Agaknya, negara memilih mengeluarkan ongkos dan biaya ketidakpatuhan, ketimbang menyediakan dan mendorong orang banyak taat aturan. Sekelumit persolan itu, barangkali tak bisa diukur waktu lewat program-program setelah Citarum Harum yang paripurna di 2025.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemprov Jabar Setiawan Wangsaatmaja seperti sedang harap-harap cemas. Upaya yang sudah dirintis serta dikerjakan itu mubazir bila terhenti. Untuk itu, Setiawan bersiasat menyiapkan transisi.

“Kita harus mengembalikan lagi ke struktur kita masing-masing. Jadi tugas dan fungsi dikembalikan kepada kabupaten/kota di DAS Citarum. Artinya bahwa semua kabupaten/kota harus memerankan fungsinya,” terang Setiawan saat ditemui Sabtu (29/5/2022) lalu.

Menyoal skema ongkos pun balik lagi ditanggung saku masing-masing sesuai tugas pokok fungsi (tupoksi) semula. Tak ada lagi satuan tugas khusus.

“Anggap saja masa-masa transisi dalam 2 tahun ini. Diharapkan sekda-sekda di kabupaten/kota mampu menjadi sense of leader-nya atau nara damping memastikan gerakan pemulihan tidak padam,” kata Setiawan.

Kini, mau tak mau, pemerintah dengan dana patungan harus mampu membereskan persoalan akut yang itu-itu saja. Tapi, agaknya, usaha dan ide-ide pemulihan bisa saja buyar. Setidaknya, jika urusan “perilaku” itu tak dibenahi dulu.

Langkah taktis di rencana aksi yang bakal dikerja hingga 2025 mungkin akan membantu memperbaiki kondisi Sungai Citarum. Namun semua itu akan percuma jika perilaku manusia-manusianya tak diperbaiki, karena manusia lah yang menjadi penyebab utama persoalan Sungai Citarum.

 

Exit mobile version