Mongabay.co.id

Pemulihan Sungai Citarum, Kisah Lama Dalam Cerita Baru (bagian 5)

 

 

Mungkin jarak antara Sungai Citarum di Jawa Barat dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-26 (COP26) akhir Desember 2021 di Skotlandia, Eropa, secara geografis sangat jauh. Akan tetapi, jarak tersebut menjadi dekat jika dihubungkan oleh kepentingan yaitu ketika Gubernur Jabar Ridwan Kamil memaparkan tentang perkembangan program Citarum Harum.

Berbagai permasalahan pemanfaatan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang melewati beberapa wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat telah dicoba ditangani pemerintah sejak jaman Presiden Soeharto pada tahun 1989 melalui Program Kali Bersih. Dilanjutkan dengan berbagai road map dan rencana aksi serta pinjaman dana luar negeri yang sangat besar. Tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.

Agaknya, program penanganan terakhir yaitu melalui Pepres No/18 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum atau lebih dikenal sebagai program Citarum Harum itu menjadi spirit baru pemulihan. Dan nantinya, diakhir program tahun 2025, diharapkan air sungai Citarum yang tercemar berat ini bisa kembali jernih, dan bahkan bisa menjadi sumber air minum.

Pada masa yang akan datang, tingkat kebutuhan air bersih diprediksi makin tinggi seiring laju pertumbuhan penduduk perkotaan terus meningkat. Selain itu, air Sungai Citarum juga dibutuhkan industri-industri yang dibangun untuk menyediakan lapangan kerja dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

Sungai Citarum menjadi tenaga bagi tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) ketiga waduk itu dihubungkan dengan ekstra-tegangan tinggi 500 KVA yang menerangi dan membangkitkan pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dan Bali. Sumbangan lainnya yang sering diabaikan adalah produksi padi. Jawa Barat bagian utara mampu memberi sumbangan rata-rata 20 persen stok pangan nasional.

Akan tetapi kondisi DAS Citarum juga menjadi cermin bobroknya wajah birokrasi. Banyak program menangani limbah dari sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat ini, tapi pelaksanaannya tak sinkron antarlembaga pemerintah.

baca : Pemulihan Citarum untuk Dunia (Bagian 1)

 

Foto udara kawasan padat penduduk yang dilintasi Sungai Cikapundung di Tamansari, Kota Bandung, Rabu (16/2/2022). Berdasarkan data Satgas Citarum, kota dengan populasi 2.7 juta penduduk ini paling banyak penyumbang sampah ke Sungai Citarum.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pada serial tulisan reportase Sungai Citarum, Mongabay Indonesia melakukan wawancara tertulis dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sebagai Komandan Satgas Program Citarum Harum pada Rabu, (19/1/2022) lalu tentang permasalahan dan penanganan DAS Citarum.

Berikut hasil wawancara dengannya :

 

Mongabay Indonesia (MI) : Anda pernah memaparkan strategi pemulihan Sungai Citarum dalam KTT Perubahan Iklim atau COP-26 di Glasgow, Skotlandia, September 2021. Di acara bergengsi itu, Anda juga menegaskan optimisme menyoal DAS Citarum. Apa yang mendorong Anda memaparkan Citarum di konferensi tersebut?

Gubernur Ridwan Kamil (RK) : Dalam KTT Pemimpin Dunia COP26 itu saya hadir sebagai narasumber pada Panel Dialogue: Scaling Up Governance and Collaborative Actions In Combinating Marine Plastic Litter Towards Climate Actions In Indonesia (side event COP26).

Saya mendapat tugas dari Bapak Presiden Joko Widodo untuk memaparkan progres dan data terakhir (2020) Sungai Citarum yang telah mengalami perubahan, dan saat ini bukan lagi sebagai sungai terkotor di dunia.

Indeks Kualitas Air Citarum tahun 2021 dari “Cemar Berat” statusnya mengalami perbaikan pesat menjadi “Cemar Ringan”.

Hal tersebut merupakan hasil gerak cepat dalam implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, yang mana Gubernur Jabar ditunjuk sebagai Komandan Satgas Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan (PPK) DAS Citarum.

Dalam KTT tersebut saya menekankan pentingnya koordinasi antar pihak dan penerapan konsep pentahelix (Akademisi, Business, Community, Government, Media). Dengan pendekatan ini semua pihak dapat bersinergi, serta berkolaborasi dalam pemulihan DAS Citarum.

baca juga : Atas Nama Sungai Citarum (Bagian 3)

 

Gubernur Jabar Ridwan Kamil saat membuka ruas tol Cisumdawu seksi 1 Rancakalong Cileunyi keluar di gerbang tol Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Januari 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Gubernur sempat mencetuskan akan membawa pabrik polutan di Citarum ke Kawasan terpadu. Kemudian juga menyisipkan Citarum dalam program Quick Jabar. Dalam pandangan Anda, apakah pemulihan Citarum butuh inovasi yang radikal? Terlebih inovasi Anda kerap melahirkan aplikasi yang merupakan perpaduan dengan teknologi termasuk Jabar Juara.

RK : Saya sepakat dengan inovasi yang radikal, yang menurut saya sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang bersifat “unboundary” (lintas batas wilayah).

Radikal dalam arti maju dalam berpikir dan bertindak, dan di era 4.0 ini penyelesaian masalah kita lakukan dengan pendekatan teknologi, diantaranya:

Mendorong para pelaku usaha, yang diwajibkan memasang SPARING (Sistem Pemantauan Kualitas Air Limbah secara Terus Menerus dalam Jaringan) yang telah dicanangkan KLHK agar keluaran limbah cair mereka selalu terpantau setiap saat. Hal ini dapat menimbulkan efek kehati-hatian bagi pabrik yang merasa diawasi sepanjang waktu oleh alat tersebut.

Inovasi lainnya dengan pembentukan Command Center Satgas Citarum, yang beberapa waktu lalu (29 Oktober 2021) meraih penghargaan Inovasi Terbaik Bhumandala Award dari Badan Informasi Geospasial. Dengan Command Center ini kita dapat memantau kualitas air sungai secara real time sekaligus menganalisa penyebab pencemaran dengan tersedianya berbagai data informasi yang terintegrasi secara spasial, sehingga penyelesaian permasalahan Citarum dapat ditangani secara komprehensif.

Inovasi radikal juga menyangkut hal yang prinsip membentuk kesadaran pelaku usaha baik dengan cara yang halus seperti pembinaan, edukasi dan sosialisasi peraturan, maupun dengan cara keras melalui penegakkan hukum.

Sebagai contoh di lapangan saat dilakukan pengawasan/operasi mendadak sampai dilakukan penutupan (mengecor) langsung saluran pembuangan air limbah (dari pabrik) yang ditemukan mencemari sungai.

Kami juga terus mengembangkan inovasi-inovasi, seperti menggabungkan data digital dengan sistem informasi ketaatan industri. Sistem ini akan merekam jejak hasil pengawasan, yang memungkinkan bagi kami untuk mempublikasikan ke masyarakat. Bagi industri yang bandel, mereka bisa kehilangan kepercayaan publik, dan hal ini dapat menjadi pecutan bagi industri untuk tidak mencemari sungai lagi.

Kami mengupayakan pula menyatukan sistem peringatan dini ke dalam sistem pemantauan daring jika terjadi kondisi pencemaran secara tiba-tiba, kami bisa dengan cepat menelusuri jejak aliran asal pencemaran untuk ditindaklanjuti.

baca juga : Reuni Para Jenderal di Kaki Wayang (Bagian 2)

 

Sejumlah anak bermain di Sungai Citarum di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jabar pada tahun 2017.  Kondisi sungai yang penuh sampah itu bakal mengering saat debit air dari hulu berkurang. Sebaliknya saat musim penghujan luapan sungai Citarum mimbulkan banjir setinggu 1 – 2 meter. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Bisakah skema pentahelix yang digaungkan ini menjadi formula kekinian? Pasalnya terlepas apapun program yang dicetuskan pada pelaksanaan, umumnya berjalan business as usual yang kadang dampaknya tidak begitu terasa. Bagaimana usaha pemulihan melalui program teranyar Citarum Harum benar-benar bisa terasa paripurna dan menjawab persoalan selama ini?

RK : Skema pentahelix atau ABCGM (akademisi, bisnis, community, government dan media) merupakan formula yang tepat untuk digunakan baik dalam program ataupun kegiatan, termasuk dalam penanganan Citarum.

Semua komponen yang ada memiliki peran masing-masing yang strategis. Sebagai contoh upaya yang dilakukan dengan melibatkan pihak akademisi seperti Monash University Australia di Jabar tak akan berhasil bila pelaksanaannya hanya terkait riset. Perlu pelibatan masyarakat ataupun komunitas, serta dengan bisnis, maupun pemerintah. Peran media juga sentral ketika kegiatan memerlukan replikasi ataupun penyebaran informasi.

Adapun pola pentahelix ini telah terlihat dalam sejumlah program pembangunan di Jabar seperti kegiatan desa digital, pertanian milenial, serta pengembangan platform digital.

 

MI : Pengambilan kebijakan setelah adanya Perpres No.15/2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, poin yang kerap disorot yakni persoalan yang tetap berkutat pada pembagian beban kerja serta dana operasional dan pemulihan. Bagaimana Anda melihat situasi yang berlangsung selama 30 tahun ke belakang yang kuat dalam perencanaan namun dirasa lemah dalam tahap eksekusi?

RK : Terkait penanganan pencemaran dan kerusakan DAS Citarum yang sudah berlangsung puluhan tahun ke belakang bagaimanapun telah memberikan kontribusi dalam perbaikan-perbaikan yang dilakukan saat ini.

Terkait Perpres No.15 Tahun 2018 itu mengamanatkan pentingnya koordinasi antara pusat dan daerah, yang mana pengelolaan DAS Citarum notabene merupakan kewenangan pemerintah pusat, sehingga tumbuh kepedulian dan rasa memiliki bersama terhadap Sungai Citarum dan kawasan DAS-nya.

Dalam rencana Aksi PPK (Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan) DAS Citarum, dokumen disusun secara partisipatif dan menjadi acuan dalam pelaksanaan akselerasi penanganan baik di tingkat kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, serta TNI melalui para komandan sektor sebagai koordinator pelaksana di lapangan.

Pelibatan TNI dan seluruh stakeholder dalam pemulihan DAS Citarum ini dirasakan sangat signifikan, dan ini merupakan konsep pentahelix yang menjadi kunci dari keberhasilan Program Citarum.

perlu dibaca :  Dua Perusahaan Cemari DAS Citarum Kena Hukum Rp16,26 Miliar

 

Limbah dan sampah adalah masalah utama Sungai Citarum. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Untuk mengatasi dua persoalan krusial, pencemaran dan kerusakan DAS, dana proyek Citarum ini acapkali berasal dari dana pinjaman (loan). Sebagai contoh proyek ICWRMIP (Citarum Terpadu) yang diterbitkan Bappenas dengan ADB yang nilainya setara Rp9,1 Triliun dan akan selesai kontraknya pada 2023 (berjalan 15 tahun terhitung sejak 2009). Lalu banyak muncul pertanyaan mampukah pemerintah atau dari mana pemerintah membayarnya? Menurut pendapat Anda, apakah sudah tepat memulihkan lingkungan dengan jalan berhutang?

RK: Proyek ICWRMIP dikembangkan oleh pemerintah pusat, yang pada awalnya ditujukan untuk menjamin suplai air baku untuk Ibukota Jakarta yang berasal dari Sungai Citarum.

Dalam perkembangannya, wilayah proyek ICWRMIP mencakup juga sampai hulu sungai mengingat permasalahan Citarum juga terjadi dari hulu.

ICWRMIP merupakan program investasi terpadu untuk menangani masalah kualitas dan kuantitas air.

Pada tahap I, proyek ICWRMIP berisi Technical Assistance yang merupakan dana hibah. Sedangkan tahap selanjutnya dilakukan pembangunan infrastruktur dengan dana pinjaman dari luar negeri.

Dalam proyek investasi terpadu memang memerlukan biaya yang tak sedikit. Kalau mengandalkan APBD ataupun APBN pelaksanaannya bisa sangat lama.

Oleh karena itu potensi berbagai sumber pembiayaan perlu dielaborasi dengan pembiayaan yang berasal dari luar negeri, tapi dengan proporsi yang seimbang dengan sumber pembiayaan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara untuk membayar.

 

MI : Sebenarnya adakah dalam APBD pagu anggaran khusus terkait lingkungan? Apalagi jika melihat, mungkin dalam beberapa dekade mendatang bencana akan datang secara simultan dan dalam skala yang mungkin tidak terprediksi.

RK : Setiap tahun anggaran khusus terkait lingkungan telah teralokasikan dalam APBD provinsi walau belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan, mengingat tugas Dinas Lingkungan Hidup Jabar sesuai urusan dan kewenangannya lebih banyak sebagai supporting bagi seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) terkait dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dan pencapaian SDGs, kecuali untuk sektor pengelolaan persampahan regional dibiayai secara khusus untuk operasionalnya.

baca : Yang Hilang Dari Pinggiran Citarum

 

Warga menyapa Gubernur Ridwan Kamil (kiri di perahu depan) saat susuri floodway (sodetan) Sungai Cisangkuy yang merupakan anak Sungai Citarum di Desa Bojongkunci, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 22 November 2021. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Program Citarum Harum sudah berjalan 5 tahun dari target 7 tahun yang berakhir pada 2025. Meskipun program ini telah menunjukkan beberapa perbaikan, namun DAS Citarum masih tercemar. Adakah target khusus dari Anda sebagai Gubernur Jabar untuk 1 atau 2 tahun ke depan?

RK : Target saya dalam satu dan dua tahun ke depan adalah terus meningkatkan Indeks Kualitas Air yang lebih baik dengan meningkatkan ketaatan industri agar dalam mengelola limbahnya sesuai dengan baku mutu.

Selain itu juga penerapan pengelolaan limbah peternakan secara komunal, serta menghilangkan perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke badan sungai.

Upaya lainnya terbangun etalase-etalase keberhasilan pengelolaan DAS Citarum untuk menjadi percontohan berbagai pihak yang ingin belajar dari pengalaman Satgas PPK DAS Citarum.

Satgas PPK DAS Citarum juga terus mengoptimalkan penerapan konsep pentahelix agar ketika masa tugas Satgas berakhir tahun 2025 telah terjadi perubahan perilaku masyarakat dan stakeholder lainnya untuk selalu bersama-sama menjaga Sungai Citarum dan anak sungainya, serta DAS secara holistik.

baca juga : Manusia Mengubah Wajah Sungai Citarum (bagian 4)

 

Sungai Citarum bertabur sampah di Desa Belaeendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terpantau beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Terkait perubahan iklim ditandai terganggunya siklus air. Wilayah yang biasanya basah kian basah, yang biasanya kering semakin kering dan itu sudah terjadi di Jawa Barat. Sebagai contoh wilayah cekungan Bandung Raya diproyeksikan akan mengalami krisis neraca air bersih pada kurun waktu 2024-2030. Apa dan bagaimana upaya antisipasi yang dilakukan oleh Pemerintah, termasuk Pemda terhadap hal ini?

RK : Perubahan iklim merupakan isu yang nyata terjadi, dan isu terkait siklus air menjadi salah satu isu yang berdampak sangat besar, terutama terkait pencemaran air, kekeringan, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati, kekurangan air bersih, sanitasi, serta konflik air.

Ada dua upaya dalam mengurangi perubahan iklim, yaitu terkait mitigasi dan adaptasi terkait air. Beberapa aktivitas dilakukan dalam bentuk non-struktural, maupun struktural, dan dilakukan baik di rumah tangga, pemerintah, komunitas, dunia usaha, serta peran media.

Kampanye-kampanye lingkungan antara lain untuk penghematan penggunaan listrik dan air, pengurangan penggunaan plastik, dan penanaman pohon pun terus dilakukan.

Begitu pula pada upaya yang lebih luas diantaranya konservasi hutan dan lahan juga digenjot. Sebagai contoh dibangunnya taman kehati, program penghijauan di Jabar, maupun peningkatan peran komunitas ataupun masyarakat dalam program kampung iklim. Selain itu dilakukan pemanenan air hujan, peningkatan sumur resapan air hujan (biopori ataupun lubang cerdas organik), serta konservasi mata air tanah.

Kegiatan lainnya diupayakan pula penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) bagi petani dalam memutuskan waktu tanam atau pemanenan yang tepat agar terhindar dari gangguan iklim ekstrem.

Adapun terkait kegiatan struktural antara lain dilakukan pembuatan embung, serta waduk untuk menampung kelebihan air di musim hujan dan digunakan pula untuk kegiatan pengairan.

baca juga : Mimpi Pulihkan Citarum, Berharap jadi Inspirasi bagi Pengelolaan Sungai Lain di Indonesia

 

Gubernur Jabar Ridwan Kamil diatas floodway (sodetan) Sungai Cisangkuy yang merupakan anak Sungai Citarum di Desa Bojongkunci, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 22 November 2021. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

MI : Leonardo DiCaprio, pemenang Oscar, ketika ke Indonesia pernah mengatakan pentingnya memiliki pemimpin yang tak hanya mengakui realitas perubahan iklim. Pendapat Anda, bisakah membentuk kemauan politik terhadap lingkungan apalagi isu perubahan iklim tak bisa lepas dari isu kemanusiaan.

RK : Disadari bahwa kemauan politik terhadap lingkungan perlu diikuti dengan upaya nyata dan aksi yang terukur.

Tak dipungkiri banyak kejadian dimana pada saat-saat awal kemauan politik untuk memperbaiki kondisi lingkungan akhirnya terkikis oleh bargaining-bargaining politik, terutama pemimpin yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan sustainability.

Bagi saya, kepemimpinan lingkungan dapat dilakukan oleh semua orang, yang mempunyai ketegasan dan keberanian mengambil langkah-langkah nyata menjadi sebuah contoh dan model bagi orang lain, dengan komitmen meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup, mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

 

Exit mobile version