Mongabay.co.id

Mengapa Indonesia Perlu Beralih ke Energi Terbarukan?

 

 

 

 

Indonesia punya dua komitmen utama terhadap mitigasi krisis iklim yang harus dicapai. Selain target nationally determined contributions (NDC) mengurangi emisi 29% pada 2025, juga ada komitmen mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Sektor energi terlebih dari ketenagalistrikan salah satu yang menentukan keberhasilan pencapaian target ini.

Sektor ketenagalistrikan menyumbang15% dari total emisi nasional yang dengan bussines as usual diperkirakan naik jadi 0,92 miliar tCO2E pada 2060.

Saat ini, kapasitas listrik terpasang dalam catatan PLN mencapai 63 gigawatt dengan lebih dari 80 juta pelanggan dan pendapatan mencapai Rp368 triliun.

Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Korporat PT PLN, mengatakan, dalam peta jalan komprehensif PLN untuk memenuhi komitmen Indonesia, ada strategi jangka pendek dan jangka menengah panjang. Mulai penggantian diesel dengan energi terbarukan hingga pensiun dini PLTU batubara untuk memberi ruang masuknya energi terbarukan kalau tak ingin menambah kelebihan pasokan.

“Sebetulnya, kalau bicara hanya bisnis kita tak perlu bangun pembangkit energi terbarukan. Kapasitas kita masih cukup untuk melayani masyarakat dengan suplai yang kita punya. Karena ada kewajiban NDC dan NZE maka harus dibuat satu program bagaimana itu dicapai,” katanya.

PLN, katanya, punya lima perubahan mendasar untuk mencapai NZE yakni pemasangan pembangkit energi skala besar dengan interkoneksi dan klaster industri hijau di remote area, dan distribusi energi terbarukan melalui PLTS, baterai dan smart grid. Juga, pemasangan carbon capture storage (CCS), pensiun dini PLTU batubara melalui mekanisme energy transition mechanism (ETM), maupun penggunaan teknologi baru seperti biomasaa dan hidrogen.

Untuk menjalankan strategi-strategi ini, ada empat parameter kunci menuju karbon netral. Pertama, biaya listrik tambahan pelanggan 3,3 sen per kwh di tahun 2060.

“Karena itu butuh mekanisme subsidi atau kompensasi untuk mendukung kenaikan biaya pelanggan,” katanya.

Kedua, pengeluaran modal skala besar sekitar US$500 miliar untuk PLN dan dukungan pendanaan langsung hingga US$5 miliar.

Untuk ini, PLN perlu akses ke green financing dengan biaya lebih murah, pembangunan dengan hibah dan dukungan antar pemerintah.

Ketiga, teknologi tahap awal seperti hidrogen, CCS yang akan digunakan dalam skala besar di Indonesia. Haryadi bilang, perlu investasi mega proyek dan berbagi teknologi oleh pemimpin global agar Indonesia bisa menggunakan teknologi ini.

Keempat, biaya di muka tinggi mencegah penyerapan oleh end users dengan karbon rendah, seperti kendaraan listrik. “Butuh dukungan kebijakan seperti penghapusan tarif impor kendaraan listrik dan pengenalan subsidi untuk mengurangi biaya muka kendaraan listrik untuk mewujudkan ini,” katanya.

 

Kompleks PLTU Ombilin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

PLN, memulai inisiatif utama mencapai net zero carbon dengan target awal pada 2030 ada 20,9 gigawatt dari kapasitas baru merupakan energi terbarukan.

Dalam rancangan umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang fokus pada suplai, PLN juga sudah melakukan koreksi pertumbuhan ekonomi agar tetap memenuhi target energi terbarukan tanpa menyebabkan oversupply makin memburuk.

Untuk ini Haryadi menekankan kembali trilemma energy di Indonesia yang harus menjaga keberlanjutan lingkungan sambil tetap menjaga keamanan energi (energy security) dan keterjangkauan (affordability).

Dengan langkah-langkah itu, PLN akan mengurangi emisi tahunan 100,7 juta ton CO2e dan pengurangan kumulatif 734 juta ton CO2e pada 2030.

Untuk itu, rata-rata PLN perlu Rp72,4 triliun setiap tahun untuk kebutuhan mempercepat dekarbonisasi. Rinciannya, Rp28,5 triliun untuk pembangkit, Rp21,3 triliun untuk transmisi dan gardu induk. Rp17,6 triliun untuk idstribusi dan Rp5 triliun untuk lain-lain. IPP diperkirakan rata-rata perlu Rp40 triliun per tahun.

 

Tak realistis

Khusus untuk CCS, kajian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) beberapa waktu lalu menunjukkan penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, baik CCS/CCUS (carbon capture utilization and storage) di Indonesia sulit terealisasi.

Putra Adhiguna, peneliti IEEFA, mengatakan, untuk mengembangkan CCUS, perlu valuasi emisi karbon, dukungan dana publik, dan dorongan pasar. Hal-hal itu, katanya, sulit didapatkan di Indonesia karena proyek CCUS terfokus pada produksi gas, bukan pembangkit listrik. 

Karena itu, pemerintah masih harus mengkalkulasi tidak terlalu menggantungkan harapan kepada penerapan CCS/CCUS pada sektor ketenagalistrikan karena berbagai kendala komersil yang dihadapi sangat mungkin menghambat pengembangannya.

“Penerapan di berbagai negara maju masih sangat minim, terlebih lagi untuk pasar yang sensitif terhadap harga dengan standar kontrol emisi tak tidak terlampau ketat seperti di Indonesia,” kata Putra.

menyimpulkan, penerapan CCUS di Asia Tenggara termasuk Indonesia nyaris tak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

“CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misalm pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tak ada harga karbon signifikan di pasar Asia Tenggara. Sementara CCUS intinya memberlakukan ‘pajak’ untuk terus mengeluarkan emisi.”

CCUS, katanya, memiliki ranting aplikasi sangat bervariasi, seperti untuk pemrosesan gas hingga pembangkit listrik. Masing-masing, katanya, memiliki tingkat kematangan dan biaya berbeda.

Dalam penyampaian rencana, katanya, harus jelas jenis CCUS yang akan diaplikasikan karena tanpa kejelasan. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan pemahaman publik.

 

 

Biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$50 hingga lebih US$100 per ton karbondioksida (CO2) yang tertangkap. Selama ini, katanya, ada klaim yang memunculkan kerancuan di publik bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanyalah berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul penutupan proyek CCUS kelistrikan unggulan di Amerika Serikat.

Pada 2021, Amerika Serikat menutup proyek CCUS Petra Nova di Texas dengan alasan keekonomian setelah hanya tiga tahun beroperasi. Proyek pemasangan CCUS US$1 miliar ini mendapat US$190 juta bantuan dana pemerintah, namun gagal beroperasi.

Biaya penggunaan CCUS sangat besar mengingat penggunaan ‘hanya’ untuk PLTU batubara berkapasitas 240MW.

Uni Eropa juga menghabiskan setidaknya €424 juta dengan ‘kemajuan tidak seperti yang direncanakan’, sebagaimana dinyatakan European Court of Auditors. Sementara kebanyakan negara di Asia Tenggara kemungkinan tak akan mampu memberikan dana publik yang besar untuk mendukung pengembangan CCUS.

Dengan biaya tinggi, proyeksi perkembangan CCUS sangat mungkin berbeda dengan teknologi energi terbarukan lain yang dapat diproduksi dalam unit dan biaya lebih kecil.

“Mengembangkan dan memperbaiki secara bertahap turbin angin senilai US$3-US$4 juta sangat mungkin lebih mudah dibandingkan proyek uji coba CCUS yang berbiaya ratusan juta dolar,” kata Putra.

Dia menyarankan, pemerintah berhati-hati menaksir biaya keseluruhan CCUS karena teknologi ini mengkonsumsi energi dalam jumlah signifikan, dengan emisi perlu dihitung.

Penting juga, katanya, mencatat penggunaan CCUS di pembangkit listrik akan dapat menurunkan kapasitas pembangkitan listrik, bahkan lebih dari 20-30%. Peningkatan biaya listrik 6-9 sen/kWh, bahkan lebih, sangatlah mungkin. Meski saat ini harga baterai penyimpanan energi masih berkompetisi ketat, namun proyeksi penurunan harga pada energi terbarukan dan penyimpanan listrik tampak lebih menjanjikan dibandingkan CCUS.

Selain soal harga, topik utama lain yang mendominasi diskusi mengenai CCUS di Asia Tenggara adalah soal penerapann dalam memproses gas.

Saat ini, kapasitas global CCUS sekitar 40 juta ton per tahun (millon tonnes per annum/MTPA) CO2 tertangkap, kurang lebih sama dengan emisi dari PLTU batubara berkapasitas 7GW setiap tahun. Pada lebih 70% fasilitas CCUS, CO2 yang ditangkap untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi.

Menurut laporan IEEFA, 75% rencana proyek CCUS di Asia Tenggara bertujuan menangkap CO2 berlebih dari pemrosesan gas yang terbawa ketika gas diproduksi. Keunikan CCUS, yakni kemampuan untuk dipasang (retrofitted) pada aset kelistrikan dan industri yang telah beroperasi.

“Ketika masyarakat tengah membayangkan pembangkit listrik berbasis batubara atau gas dengan sedikit bahkan tanpa emisi, perencanaan saat ini berjalan ke arah berlainan.”

Sebanyak lebih 60% kapasitas CCUS global untuk pemrosesan gas, bukan pembangkit listrik. Saat ini, hanya ada satu CCUS untuk pembangkit listrik batubara beroperasi di dunia, tak satu pun untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas.

CCUS untuk pemrosesan gas terimplementasi sejak 1970-an dan menelan biaya jauh lebih rendah dari CCUS pembangkit listrik. “Yang tengah terjadi di Asia Tenggara lebih berupa mengejar ketertinggalan tren, terlebih karena banyak cadangan gas yang kaya CO2 di wilayah itu. Ini kemungkinan untuk mengantisipasi potensi perubahan sikap pasar global terhadap gas yang kaya CO2,” katanya.

Menurut Putra, dengan sumber pendanaan publik terbatas, akhirnya CCUS adalah perkara prioritas, mengingat tantangan biaya, sebagaimana ditekankan dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) April 2022.

“Negara-negara Asia Tenggara dapat menggunakan CCUS untuk mengantisipasi perkembangan produk berbasis penangkapan karbon di masa depan. Tetapi, CCUS seharusnya tidak mengalihkan kita dari implementasi opsi lain yang lebih murah dan terbukti mengurangi emisi karbon, yaitu energi terbarukan dan integrasi jaringan listrik, yang harus tetap menjadi pusat perhatian menuju dekarbonisasi.”

 

 

 

Kesenjangan biaya

Kementerian Keuangan sudah menghitung kebutuhan pembiayaan untuk memenuhi target NDC dan NZE tetapi kesenjangan kebutuhan masih jauh dibandingkan anggaran yang ada.

Menurut Joko Tri Haryanto, Analis Kebijakan Ekonomi Kementerian Keuangan, Indonesia tak bisa meninggalkan keterjangkauan untuk mewujudkan transisi energi yang adil.

Hitungan Kemenkeu untuk mencapai target NDC 2030, perlu total Rp3500 triliun. Kalau ditambah kebutuhan mitigasi, Rp3800 triliun. Untuk mencapai target NZE pada 2060 atau lebih cepat, perlu dana sekitar tujuh kali lipat dari target NDC.

“Kami sedang menyelesaikan hitungannya, itu hampir Rp28 ribu triliun,” kata Joko.

Saat ini, katanya, kapasitas pendanaan pemerintah terbatas. Merujuk pada climate budget tagging, baru 34% dari total kebutuhan.

Masih ada gap 68% yang perlu dukungan berbagai pemangku kepentingan.

Sejak 2018, katanya, pemerintah sudah menerbitkan berbagai skema pendanaan hijau, seperti green sukuk, SDG bond, dreen sukuk retail, dan lain-lain. Saat ini, juga disiapkan aturan terkait jejak karbon dengan skema carbon pricing yang mulai dengan penerapan carbon tax terhadap PLTU batubara pada 1 Juli 2022.

Selain itu, sebagai tindak lanjut dari energy transition mechanism (ETM) yang dicetuskan pada COP 26 di Glasgow lalu, pemerintah sedang menyiapkan country platform yang nanti dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Sederhananya, semua dana baik komersial, bilateral maupun lateral, akan difasilitasi oleh SMI untuk dapat dimanfaatkan oleh PLN dan swasta.

“Kita berharap, saat leaders summit G20 nanti, kita sudah punya best practice,” katanya.

 

Pemborosan

Abra Talattov, Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development INDEF mengingatkan transisi energi perlu mempertimbangan permintaan (demand) listrik sesuai kondisi pemulihan ekonomi Indonesia setelah pandemi.

Catatan INDEF, meski sudah memasuki masa pemulihan, konsumsi listrik masih lebih kecil dari pendapat per kapita (GDP).

“Pertumbuhan ekonomi belum sesuai target tapi suplai listrik yang lebih ambisius akan menjadi mubazir karena tak terserap maksimal,” kata Abra.

Dibanding dengan negara G20 yang lain, Indonesia masih minus 1,3% pada 2019. Ada risiko pertumbuhan ekonomi lebih rendah baik dalam jangka menengah maupun panjang.

Selain itu, saat ini ketahanan energi Indonesia cukup bisa diandalkan tanpa perlu penambahan kapasitas. Ini mengingat kelebihan kapasitas (oversupply) listrik nasional tinggi dalam 10 tahun terakhir, rata-rata 25%.

Dengan biaya pokok produksi (BPP) Rp1.333 per kwh pada 2021, hitungan INDEF, kelebihan kapasitas ini menyebabkan potensi pemborosan Rp123 triliun. Kondisi ini, berakibat pada anggaran subsidi dan kompensasi listrik dalam APBN yang terus meningkat.

“Sebetulnya, jike cermat, ini bisa menjadi sumber pembiayaan untuk transisi energi, kalau kita bisa mengurangi potensi pemborosan ini.”

Saat ini, konsumsi listrik per kapita Indonesia juga masih kecil, 1.084 per kwh per kapita. Ia lebih rendah dari konsumsi listrik ASEAN, 1.342 kwh per kapita.

Kebijakan-kebijakan mendorong demand, kata Abra, masih bergerak sendiri-sendiri hingga tak cukup kuat mendukung transisi energi.

“Dikhawatirkan ketika target transisi energi dipaksakan dengan keterbatasan anggaran dan serapan akan jadi beban BUMN, APBN dan masyarakat. Ujung-ujungnya, dipaksakan ke konsumen dengan kenaikan tarif.”

Abra menyarankan, kebijakan transisi energi tak mengubah sumber energi dari fosil ke terbarukan, juga dari awal harus memprioritaskan teknologi, sumber daya manusia, bahan baku, suplai dalam negeri dan industri manufaktur yang bisa mendukung transisi energi.

Bugdet tagging-nya juga harus masuk ke manukfatur, sumber daya manusia dan lain-lain.”

 

 

 

*******

Exit mobile version