Mongabay.co.id

Proyek Energi Bersih Tapi Berisiko Merusak Ekosistem Pesisir dan Mangrove?

 

Pemerintah Provinsi Bali melalui perusahaan daerah PT Dewata Energy Bersih (DEB) dengan PT PLN (Persero) melalui anak usahanya PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG) menandatangani nota kesepahaman studi kelayakan kajian untuk pengembangan terminal gas alam cair (LNG) di Bali pada 24 Februari 2022.

Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan penandatangan nota kesepahaman itu itu merupakan tindak lanjut perjanjian kerjasama Pemprov Bali dengan PT. PLN pada 2019 yang bertujuan untuk penguatan sistem ketenagalistrikan dengan pemanfaatan energi bersih di Provinsi Bali.

Akan tetapi warga Desa Adat Intaran, Sanur menolak rencana pembangunan terminal LNG yang direncanakan dibangun di Umanis Kuningan, karena dinilai berpotensi merusak kawasan mangrove, berpotensi terjadi abrasi dan terumbu karang pesisir.

Sedangkan pemrakarsa proyek pembangunan terminal ini menekankan pentingnya pembangunan terminal LNG ini untuk kemandirian energi Bali. Namun, ada risiko dampak lingkungan yang muncul.

Ida Bagus Ketut Purbanegara Humas PT. Dewata Energi Bersih (DEB) menunjukkan lokasi kawasan pesisir yang akan jadi kawasan terminal LNG ini. Bagian yang terlihat secara fisik di gambar adalah pembangunan jetty untuk melabuhkan kapal tanker pembawa bahan bakar gas cair. Sisanya kerapatan mangrove.

Titik lokasinya masuk kawasan mangrove Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai yang jadi benteng alami Bali selatan. Kapal laut akan menurunkan bahan bakar LNG, lalu disalurkan melalui pipa sekitar 10-15 meter di bawah tanah hutan mangrove sampai jalur jalan raya menuju pembangkit listrik di Pesanggaran, Denpasar Selatan.

baca : Aksi Protes Warga Desa Adat Intaran Sanur terhadap Rencana Proyek Terminal LNG

 

Rencana lokasi pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove Tahura, Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Pemanfaatan mangrove 3 hektar dengan komparasi kemandirian energi di zona blok khusus ini disebut pembangunan strategis yang tidak terelakkan,” kata Purbanegara ditemui pada Senin (20/06/2022). Pihaknya mengaku sudah koordinasi dengan dinas kehutanan untuk penggantian kerusakannya.

Sejumlah desa yang masuk wilayah lokasi pembangunan terminal adalah Sidakarya sebagai kawasan tapak. Berikutnya Desa Sesetan dan Pedungan yang dilalui jaringan distribusi. Desa di luar wilayah lokasi pembangunan, Intaran dan Serangan juga disebut sudah diajak bicara terkait proyek ini.

Ia mengatakan lokasi proyek di wilayah Desa Sidakarya. Berdasarkan peta blok Dinas Kehutanan diklaim ada di blok khusus yang disesuaikan dengan Perda No.8 RTRW Kota Denpasar dan ditetapkan sebagai pembangunan infrastruktur dan jaringan gas. “Secara payung hukum di darat. Sedangkan laut bukan domain Perda lagi tapi Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya. Berdasarkan regulasi, ia meyakini lokasi terminal ini termasuk kawasan pelabuhan.

Lokasi teluk yang dipakai sebagai jalur kapal juga disebut bekas izin reklamasi pulau Serangan. Sudah ada sedimentasi sehingga perlu pengerukan agar kapal bisa masuk.

Risiko lain seperti abrasi menurutnya kemungkinan kecil jika dilihat dari feasibility study. Kajian hidrooseangrafi merekomendasikan slope atau kemiringan 1:1,25 agar tidak terjadi abrasi. Proyek ini akan menggunakan perbandingan 1:2 sehingga landai.

baca juga : Setelah Reklamasi Pelabuhan Benoa Berhenti, Bagaimana Rehabilitasi Mangrove Kini?

 

Aksi warga Desa Intaran, Sanur, Minggu, 19 Juni 2022 yang menolak pembangunan terminal LNG di areal mangrove Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kenapa distribusi LNG harus di lokasi baru selain di Pelabuhan Benoa?

Purbanegara menjawab PLN tidak ada kemampuan investasi jika terminal jauh dari pembangkitnya. “Kita lakukan untuk kemandirian energi, dibenturkan dengan isu lingkungan. Jika sudah diukur dampak yang ditimbulkan, tak bisa dielakkan. Semua sudah dikaji. Risiko dampak lingkungan pasti muncul,” lanjutnya Luasan blok khusus disebut sekitar 16 hektar, dan yang dimohonkan dalam izin sebanyak 8 hektar. Areal mangrove yang dimanfaatkan 3 hektar.

Terkait dampak pada sejumlah tempat sembahyang seperti pura di areal pesisir dan mangrove, ia mengatakan sulit menyebutkan radius kawasan suci. Banyak pura yang berimpitan, ia mengacu Bhisama Kesucian Pura. Berdasarkan pengukuran pura terdekat, jaraknya sekitar 450 meter dari lokasi terminal.

Sayangnya Purbanegara menolak menjelaskan proyek-proyek energi lainnya selain pembangunan terminal LNG ini. Agar masyarakat mengetahui rencana proyek kemandirian energi lainnya.

Alasan lain adalah untuk efisiensi. Penyuplai LNG saat ini adalah Pelindo. Jika lokasi terminal bisa lebih dekat ke pembangkit, ia mengklaim tarif listrik bisa turun, jika tarif LNG turun. Namun, tarif dasar listrik biasanya ditentukan oleh pemerintah dan berlaku sama.

Kenapa Perusda dan anak perusahaannya PT DEB tertarik di bisnis distribusi energi ini? Menurutnya usaha ini tak hanya bisa dilakukan Pelindo. Apalagi ini akan jadi keuntungan bagi Perusda Bali yang dimiliki Pemprov.

PLN ingin menyediakan sumber bahan baku energi primer untuk pembangkitnya di Bali. Melihat peluang ini PT DEB ini lahir. “Dalam konteks bisnis, gas itu digunakan untuk pembangkit. Kapal pesiar juga banyak menggunakan. Semua punya pasar sendiri,” tambah Purbanegara.

Pemprov Bali yakin bisa berbisnis distribusi energi. “Kita berbangga, pertama kali dan satu-satunya BUMD yang ikut andil dalam urusan energi ini. Saya tidak menafikkan Pemprov mendapat sumber pendapatan, tapi paling penting kemandirian energi,” jelasnya.

Untuk mengantisipasi aksi protes ini, PT DEB sudah ada rencana FGD dengan Desa Adat Intaran yang difasilitasi Yayasan Pembangunan Sanur. Namun belum terlaksana.

baca : Areal Tahura Mangrove Rusak Karena Reklamasi Pelindo, Bagaimana Penegakan Hukumnya? [Bagian 2]

 

Grati Power Generation and O&M Services Unit (POMU) berlokasi di Pasuruan, Jawa Timur. Grati POMU mengelola 2 sub unit yaitu Perak & Grati yang mengoperasikan Pusat Listrik Tenaga Gas & Uap (PLTGU) dan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) dengan total kapasitas terpasang sebesar 764 MW. Foto : Indonesia Power

 

Relokasi PLTG Grati

Terkait keandalan energi Bali, Bagus Ananta Wijaya Karna, Direktur Pengembangan Usaha Perusda Bali menjelaskan jika pembangunan terminal ini krusial. Apalagi perjanjian kerja sama dengan anak perusahaan PLN sudah dilakukan sebelum pandemi Covid-19.

Kebutuhan tambahan bahan bakar LNG ini menurutnya untuk menyokong relokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Grati, Jawa Timur ke Pesanggaran, Bali. Relokasi PLTG Grati ke Pesanggaran sebesar 2×100 MW, sehingga akan ada tambahan 200 MW PLTG baru. Sebelumnya sudah ada 2×200 MW juga di Pesanggaran.

Suplai energi primer ini dilaksanakan anak perusahaan PLN dan Perusda Bali. Karena ada percepatan ini, direncanakan pembangunan terminal LNG di pesisir. Kapasitas distribusi LNG di laut ini disebut 26 ribu meter kubik. Sedangkan kapasitas di darat sekitar 40 ribu meter kubik.

Keandalan listrik yang dibangkitkan di Bali ini dinilai penting karena saat ini tergantung kabel bawah laut dari Jawa. Jika sistem cadangan suatu saat bermasalah atau dalam perawatan, ada cukup daya listrik di Bali.

Pihak pemrakrasa proyek juga menampik ketakutan warga seperti hilangnya lokasi lomba layang-layang di Mertasari, Sanur, berkurangnya ikan, dan tenggelamnya Muntig Siokan yang dikelola Desa Adat Inataran.

Demikian juga terkait pengolaan limbah. Mereka meyakini LNG adalah energi ramah lingkungan berbentuk cair dalam kondisi minus 160 derajat. “Kalau bocor akan menguap dan tidak bahaya. Saat kebocoran kita merokok tidak mudah terbakar,” sebut Purbanegara.

baca juga : Tahura Mangrove: Mudahnya Merusak, Sulitnya Menumbuhkan [Bagian 3]

 

Salh satu bagian kawasan mangrove di Tahura Ngurah Rai yang mati karena reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Proyek-proyek merusak mangrove

Bukan kali ini saja ada rencana proyek pembangunan yang diprotes karena merusak kawasan ekosistem pesisir termasuk mangrove di Bali. Sedikitnya sudah ada dua pembangunan fisik di Teluk Benoa yang mengorbankan kawasan Tahura Mangrove.

Pertama, jalan tol di atas perairan. Jalan Tol Bali Mandara dibangun di atas Teluk Benoa. Ada tiga jalur utama yaitu Benoa (Denpasar) – Bandara Ngurah Rai (Tuban), Bandara Ngurah Rai–Nusa Dua, dan Benoa–Nusa Dua. Ketiga jalur ini membentang di atas Teluk Benoa sekitar 1.373 hektar.

Ketika pembangunan jalan tol baru dimulai pada 21 Desember 2011, sejumlah kalangan mewanti-wanti ancaman kerusakan lingkungan seperti potensi kerusakan hutan mangrove karena pembangunan tol tidak sesuai Amdal. Akhirnya beberapa hektar kawasan mangrove rusak.

Kedua, kematian mangrove sekitar 17 hektar akibat reklamasi oleh Pelindo di Benoa. Pada Agustus 2018 mulai ada kematian pohon mangrove di sekitar areal Pelindo. Mangrove yang mati di sebelah barat dan selatan Restoran Akame yang menjadi wilayah Pelindo III. Ini disebut di luar kawasan Tahura. Namun mangrove mati yang berada di kawasan Tahura dan terdampak reklamasi berada di sisi timur seluas sekitar 17 hektar. Jenis mangrove yang mati kebanyakan jenis plasma nuftah, habitat asli Tahura ini yakni Soneratia alba.

Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Unda Anyar menyebut total kawasan Tahura Ngurah Rai ini 1.373,5 hektar. Area terluas karena lebih dari sebagian dari total kawasan hutan mangrove di Bali pada 2013 yakni 2.115,7 hektar.

Tekanan bertubi-tubi pada Tahura Mangrove ini kontras dengan komitmen pemerintah. Presiden Joko Widodo beberapa kali berkunjung ke kawasan mangrove ini untuk program pelestarian. Termasuk persiapan menyongsong perhelatan G20 pada November tahun ini di Bali.

 

Exit mobile version