Mongabay.co.id

Tradisi Sedekah Bumi, Upaya Warga Merawat Eksistensi Petani

 

Di bawah langit mendung siang itu, pemandangan berbeda terlihat di desa seluas 152,191 hektare ini. Setelah dua tahun berhenti karena pandemi, ratusan warga lintas usia kembali berkumpul untuk mengikuti kirab budaya apitan sedekah bumi.

Kostum yang mereka gunakan pun nampak beragam, salah satunya adalah surjan yang merupakan busana atas resmi khas adat jawa. Bukan hanya itu, setiap kelompok yang datang juga membawa hasil kreatifitasnya masing-masing, mulai dari ogoh-ogoh berbentuk tikus raksasa, sapi, dan kera putih.

Seolah menjadi hal wajib, peserta pawai juga banyak yang beriring-iringan membopong gunungan yang dibuat dari hasil bumi. Tinggi gunungan bermacam-macam, antara 1-5 meter. Sedangkan untuk membawanya dibutuhkan lima sampai sepuluh orang.

baca : Sedekah Lingkungan, Mempelai Tanam Bibit di Bukit Pengantin

 

Anak-anak menggunakan atribut petani saat mengikuti kirab budaya apitan sedekah bumi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain gunungan, ada juga sebagian warga yang menenteng palawija menggunakan pikulan. Suasana klasik makin terasa tatkala para perempuan juga terlihat menggendong aneka hasil bumi itu dengan menggunakan rinjeng, rinjeng merupakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu.

Parade semakin meriah dikala kedatangan barisan para ibu-ibu yang membawa aneka produk makanan hasil olahan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Dari lapangan sepak bola, rombongan kemudian berarak-arakan menuju ke Balai Desa setempat, jaraknya sekitar 2 kilometer dari titik kumpul. Setelah diarak, gunungan hasil bumi tersebut kemudian dijadikan rebutan warga lain yang sudah menunggu.

 

Bentuk Penghormatan

Bukan hanya di Desa Getas Pejaten, di sejumlah daerah tradisi sedekah bumi ini juga masih terpelihara hingga kini. Tidak hanya sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang dinikmati warga setempat, sedekah bumi ini juga menjadi sarana warga untuk menghargai keberadaan petani.

Sebab, mereka yang telah berjasa dalam membuka lahan atau babat alas sebelum kawasan itu bisa ditanami. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu lahan yang digunakan oleh petani ini semakin lama semakin menyusut akibat pembangunan permukiman maupun industri.

“Itu yang mendasari kami menggunakan atribut petani, karena di tempat kami warga yang berprofesi sebagai petani tinggal sedikit, padahal petani itu kan pelaku utama di sektor pangan,” Ucap Temon Zaini (58), salah satu peserta sedekah bumi, Minggu (19/06/2022).

baca juga : Pesan Lingkungan dari Ritual-ritual Adat Yogyakarta

 

Para perempuan membawa hasil bumi dengan menggunakan rinjeng yang merupakan wadah terbuat dari anyaman bambu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pria yang juga ketua Rukun Tetangga (RT) ini memahami kondisi para petani yang melepas lahannya sendiri, selain karena kebutuhan biaya perawatan yang tinggi, penghasilan yang didapat juga tidak seimbang.

Menurut dia, tantangan yang dihadapi petani ini bermacam-macam, selain alih fungsi lahan, kendala lainnya yaitu ketika panen raya harganya anjlok. Lain sisi, warga juga seringkali mengeluhkan adanya hama yang menyerang tanaman mereka.

Atas keprihatinan itu, melalui kirab budaya ini ia dan kelompoknya bersepakat untuk menggunakan kostum petani, dengan alasan sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap mereka. Zaini mengakui, saat mengusulkan konsep ini tidak semua warganya mau menerima, alasannya karena citra petani terkesan jorok dan miskin. Namun, karena banyak yang setuju akhirnya konsep tani yang digunakan.

Pramono (56), koordinator kegiatan mengatakan, melalui tradisi yang digelar ini selain sebagai sarana untuk menjaga kebersamaan, tiap-tiap RT juga diwajibkan menunjukkan produk-produk unggulannya, termasuk hasil bumi yang ada.

Pria berkulit sawo matang itu mengamini, di daerahnya hasil bumi seperti padi, jagung, ketela pohon maupun jenis palawija lain saat ini kondisinya memang sudah tidak sebanyak dulu. Selain itu, warga yang berprofesi sebagai petani juga menyusut.

Sehingga bahan yang digunakan untuk membuat gunungan hasil bumi itu bukan murni dari hasil panen petani setempat, melainkan kebanyakannya beli dari pasar.

“Ada juga yang dari kampung, tapi jumlahnya sedikit. Karena persawahan kan sudah minim, sehingga sekarang ini UMKM-nya yang diunggulkan,” katanya disela mengatur peserta kirab.

baca juga : Festival Buah Latukan, Sarana Edukasi dan Ajang Sedekah Petani

 

Gunungan yang dibuat oleh warga dari hasil bumi itupun bermacam-macam, mulai dari buah-buahan dan sayur-sayuran. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Meski bahan yang digunakan dalam membuat gunungan hasil bumi itu tidak banyak yang berasal dari desa setempat, menurutnya makna dalam berbagi rezeki tidak hilang.

Sehingga melalui kegiatan ini dia berharap warga setempat bisa mendapatkan keberkahan dari Tuhan, dan juga semakin semangat untuk melestarikan lingkungan. Hal terpenting lagi, kata dia, anak-anak muda tidak melupakan jasa para petani. Selain itu, hasil produk pertanian daerah juga jangan sampai ditinggalkan.

Sementara, untuk membuat gunungan tersebut masing-masing dari peserta menghabiskan biaya yang berbeda-beda, antara Rp500 hingga Rp2.5 juta.

 

Perlindungan Lahan Sawah Perkotaan

Tidak bisa dipungkiri, dalam menghadapi pembangunan, sektor pertanian masih menghadapi berbagai persoalan besar yang perlu diselesaikan, salah satu diantaranya adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian, seiring berjalannya waktu masalah ini terus mengalami peningkatan. Terlebih kondisi lahan sawah yang ada di perkotaan.

Di Kecamatan Jati sendiri, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus Tahun 2012-2032, kawasan ini sudah menjadi daerah permukiman perkotaan.

 

Usai diarak, gunungan tersebut kemudian dijadikan rebutan warga yang sudah menunggu di halaman Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Saat ditemui di kantornya, Ratih Rustiyorini (49), Sub Koordinator Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus mengatakan, meski sudah menjadi kawasan permukiman perkotaan bukan berarti di wilayah tersebut sudah tidak ada lahan pertaniannya.

Sehingga, menurut dia perlu adanya perlindungan lahan sawah yang masih ada di kawasan perkotaan. Sebab hal itu berhubungan dengan pemberian bantuan subsidi untuk petani yang ada di dalamnya, salah satunya adalah pupuk.

“Kementerian Pertanian dalam memberikan bantuan subsidi ini berbasis dari data Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sehingga ketika dalam satu kecamatan itu sudah tidak ada data sawah, maka bantuan tidak bisa diberikan,” katanya, Rabu (22/06/2022).

Meskipun sebenarnya dalam kondisi riil-nya masih ada. Di Desa Getas Pejanten misalnya, meski sudah menjadi daerah permukiman perkotaan akan tetapi lahan pertaniannya juga masih ada. Untuk luas lahan komoditas padi dan palawija sekitar 15,13 hektare, sedangkan perkebunan tebu kurang lebih 4,77 hektare.

Secara keseluruhan, berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pertanian setempat luas lahan pertanian di Kabupaten yang memiliki semboyan “Kota Semarak” ini sekitar 20406 hektare. Sedangkan untuk jumlah petani yang sudah terdata di tahun 2022 ini ada sekitar 45.600 orang.

 

Exit mobile version