Mongabay.co.id

Singkong, Tanaman “Ajaib” yang Adaptif Terhadap Perubahan Iklim

 

 

Baca sebelumnya: Kasoami, Makanan Legendaris Buton Berbahan Singkong

**

 

Tanaman singkong [Manihot esculenta] dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia dan dijadikan olahan makanan tradisional di sejumlah daerah. Begitu pula dengan penyebutan namanya yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa singkong memiliki kedekatan sebagai sumber pangan dengan masyarakat Indonesia.

Indonesia merupakan produsen singkong terbesar di dunia. Tahun 2020, produksi singkong sebanyak 18,3 juta ton menempatkan Indonesia pada urutan kelima sebagai produsen singkong terbesar di dunia setelah Nigeria, Republik Kongo, Thailand, dan Ghana.

Namun sayangnya, karena sebagian besar masyarakat kita memiliki ketergantungan pada beras membuat singkong dianggap bukan sebagai pangan utama. Padahal, singkong kaya manfaat serta memiliki kandungan gizi yang baik, seperti mengatasi stunting atau kekerdilan pada anak yang menjadi masalah di Indonesia saat ini.

Baca: Asli Indonesia, Mengapa Dinamakan Pepaya California?

 

Singkong merupakan makanan sehat sekaligus sumber pangan potensial Indonesia. Foto: Pixabay/Public Domain/KavindaF

 

Ahmad Fathoni, peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI [yang kini dilebur menjadi BRIN], telah melakukan penelitian untuk menekan angka stunting di Indonesia melalui  pengembangan singkong unggul kaya nutrisi.

Terlebih, singkong sangat potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan bernutrisi, karena memiliki kandungan beta karoten yang tinggi.

“Sayangnya, singkong belum menjadi sumber pangan utama. Selama ini konsumsi pangan masih berasal dari komoditas padi, jagung, dan kedelai,” ungkapnya.

Riset kultur jaringan LIPI juga telah berhasil menghasilkan beberapa varietas unggul singkong yang kaya akan beta karoten, protein, mineral, dan bebas gluten. Menurutnya, mayoritas singkong yang dihasilkan petani Indonesia adalah jenis singkong putih dengan kandungan beta karoten rendah. Padahal semakin tinggi nilai beta karoten dalam singkong, nilai nutrisinya makin meningkat.

Ahmad Fathoni menjelaskan, setiap singkong memiliki karakter berbeda yang berbeda pula potensi pemanfaatannya. Saat ini singkong varietas unggul yang telah dihasilkan antara lain Carvita 25, Revita RV1, Iding dan Adira.

“Kami juga telah mengembangkan teknologi proses pengolahan singkong menjadi tepung mocaf. Produk mocaf yang dihasilkan dari varietas unggul LIPI memiliki kualitas lebih baik dari sebagian mocaf yang beredar di pasaran,” ujar Fathoni.

Baca: Jengkol, Tumbuhan Kaya Manfaat Asli Indonesia

 

Singkong atau ubi kayu dapat diolah menjadi berbagai makanan sehat. Foto: Pixabay/Public Domain/Bintang_Galaxy

 

Tanaman ajaib

Bagi masyarakat Republik Kongo di Afrika, singkong disebut sebagai tanaman ajaib. Sebabnya, di negara tersebut masyarakatnya bergantung pertanian tadah hujan. Perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan, cuaca ekstrim dan hujan tidak terduga, erosi, serta meningkatnya penyakit tanaman dan ternak, membuat praktik pertanian tradisional tidak lagi efektif.

Masyarakat Republik Kongo sangat bergantung pada hasil panen singkong. Tepungnya  digunakan untuk membuat roti dan kue, daunnya dikonsumsi sebagai sumber kaya protein, kalsium, Vitamin A dan Vitamin C. Akar pati dapat difermentasi, atau diproses untuk keperluan industri sebagai pati, alkohol, atau biofuel.

Manfaatnya yang banyak, membuat singkong disebut sebagai tanaman ajaib. Terlebih singkong sangat mudah beradaptasi dengan perubahan iklim.

Di antara tanaman pangan utama Afrika [termasuk jagung, sorgum, kacang-kacangan, kentang, dan pisang], singkong adalah yang paling tidak sensitif terhadap dampak perubahan iklim. Singkong tahan terhadap kekeringan, dapat tumbuh hampir di mana saja, dan tidak mudah dihancurkan oleh hujan deras.

Baca: Unik, Buah Kelapa Dapat Dijadikan Mahar Perkawinan

 

Pohon singkong yang mudah di tanam di berbagai jenis lahan. Foto: Pixabay/Public Domain/idgmart

 

Penelitian berjudul “Hubungan Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Tanaman Ubi Kayu [Manihot esculenta Crantz] di Kabupaten Malang” yang diterbitkan pada jurnal Plantropica [2020], menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua puluh tahun tahun [1999- 2018] unsur-unsur iklim di Kabupaten Malang tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap produktivitas ubi kayu.

Hal tersebut dikarenakan ubi kayu merupakan tumbuhan yang adaptif terhadap berbagai tipe iklim serta berbagai jenis lahan alkalin dan tanah masam.

“Unsur iklim curah hujan, suhu, dan kelembaban udara tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman ubi kayu, namun dari model pendugaan produktivitas tanaman kelembaban udara mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding curah hujan dan suhu,” jelas riset tersebut.

Baca juga: Mujair, Ikan yang Bukan Asli Indonesia

 

Indonesia merupakan produsen singkong terbesar di dunia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penelitian lain berjudul “Potensi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Ubi Kayu [Manihot esculenta Crantz] dan Pendapatan Petani di Desa Wain, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kabupaten Maluku Tenggara” pada jurnal Budidaya Pertanian [2020], menjelaskan hal berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan, faktor iklim yang paling dominan memengaruhi produksi ubi kayu adalah curah hujan. Adaptasi yang dilakukan oleh petani di Maluku Tenggara terhadap perubahan iklim adalah dengan melakukan perubahan waktu tanam, pengolahan tanah minimum, pemilihan variatas unggul, dan penggunaan mulsa organik.

“Perubahan iklim yang ditandai dengan penurunan curah hujan pada tahun 2015 menyebabkan produktivitas ubi kayu mengalami penurunan sebesar 46,4 persen. Penurunan curah hujan berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan produktivitas ubi kayu atau memiliki keeratan hubungan yang kuat,” ungkap peneliti.

 

Exit mobile version