Mongabay.co.id

Kajian Auriga Sebut Sawit Swadaya Bukan Penyebab Deforestasi

 

 

 

 

Tata kelola sawit petani mandiri atau swadaya perlu mendapat apresiasi. Hanya sekitar 8% perkebunan sawit swadaya berasal dari kawasan hutan dalam 20 tahun terakhir. Berarti, kebun sawit swadaya bukan penyebab deforestasi.

Data ini merupakan hasil analisis terbaru Yayasan Auriga Nusantara yang menemukan selama dua dekade terakhir hanya 178.087 hektar perkebunan sawit swadaya yang berasal dari hutan alam secara langsung. Hingga 2020, ada 2,3 juta hektar sawit swadaya yang berhasil mereka identifikasi di seluruh Indonesia.

Dalam kajian Auriga, deforestasi dari sawit swadaya tersebar di lima pulau utama dengan Sumatera paling besar mencapai 164.674,72 hektar. Kalimantan 11.207,14 hektar, Sulawesi 2.101,10 hektar, Papua 57,96 hektar dan Maluku 45,72 hektar.

Angka ini masih relatif kecil kalau melihat total deforestasi seluruh perkebunan sawit baik skala kecil maupun besar. Kalau dijumlahkan, Auriga menyebut ada 2,8 juta hektar perkebunan sawit dari hutan alam.

Dengan data itu berarti , lebih 2,6 juta hektar perubahan kawasan hutan untuk perkebunan sawit oleh perkebunan skala besar. “Sawit rakyat tidak merusak hutan. Jangan kambing hitamkan sawit rakyat, karena perkebunan skala besar yang merusak hutan,” kata Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara kepada Mongabay baru-baru ini.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai kajian Auriga berhasil menunjukkan praktik baik petani. Di beberapa daerah, petani sawit bahkan bisa menjaga kawasan hutan dan bekerja sama dengan masyarakat adat.

Salah satunya, di Kabupaten Sanggau dan Sekadau di Kalimantan Barat. “Kami lakukan pendekatan HCSA (high carbon stock approach) untuk konservasi dan perlindungan hutan. Ternyata petani bisa,” kata Marselinus Andri, Ketua Departemen Advokasi SPKS.

 

Desa Setawar, mayoritas warga petani sawit. Mereka juga komitmen kuat menjaga hutan adat. Foto: Kaoem Telapak

 

Perhatikan petani swadaya

Untuk itu, pemerintah tak boleh mengerdilkan praktik tata kelola petani sawit swadaya. Petani justru harus diberikan insentif dan benefit untuk merangsang aksi serupa di tampat lain.

Selama ini, katanya, pemerintah cenderung fokus pada perusahaan dan kebun sawit sakal besar. Beberapa insentif bahkan lari ke perusahaan itu, seperti terjadi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).

Dalam catatan SPKS, mayoritas dana pungutan sawit yang dikelola BPDPKS lari ke insentif mandatori biodiesel.

Tahun 2015-2019, insentif para produsen biodiesel mencapai Rp38,7 triliun, sedang dana ke petani untuk penanaman kembali hanya Rp702 miliar hingga 2018.

Kementerian Pertanian mencatat potensi 2,78 juta hektar sawit untuk peremajaan. Pemerintah memiliki target peremajaan 180.000 hektar sawit per tahun.

“Target ini tidak pernah tercapai setiap tahun,” kata Andri.

Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch saat dihubungi secara terpisah menyuarakan kegetiran sama. Selama ini, petani swadaya kurang diurus pemerintah.

Hal ini bisa terlihat dari ketersediaan bibit sawit yang tidak terjangkau petani. Bukan hanya sulit, harga pun mahal.

“Katanya BPDPKS mau bantu. Tapi serapannya ternyata lebih kecil daripada yang untuk biofuel. Dari situ terlihat tidak ada dukungan pemerintah.”

 

 

Buruh angkut mengumpulkan kelapa sawit di tepi jalan di Kabupaten Bengkalis, Riau. Buah berwarna merah kekuningan itu kemudian akan dibawa ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

Dorong pendataan petani swadaya

Salah satu pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dalam mendukung petani swadaya mendata kejelasan lahan mereka. Dengan data jelas, pemerintah bisa menentukan program yang tepat bagi pengembangan petani swadaya.

Saat ini, pemerintah masih gamang dalam menentukan mana petani sawit skala kecil. Mereka yang bermitra dengan perusahaan lewat skema plasma pun dihitung sebagai pemilik sawit rakyat.

“Padahal, seharusnya sawit rakyat adalah sawit yang dibangun oleh rakyat, pembiayaan dari rakyat dan pemeliharaan dari rakyat,” kata Dedi.

Hasil kajian Auriga ini, katanya, bisa menjadi panduan bagi pemerintah untuk mendata lebih detail hingga ke pemilik dan luas kebun yang dimiliki.

Untuk mendapatkan data ini, katanya, dilakukan analisis spasial terhadap data resmi 16,3 juta hektar kebun sawit di Indonesia. Dari sana, Auriga memisahkan juga sawit swadaya yang spesifik dan bukan perkebunan plasma. Kalau keduanya digabungkan mencapai 6 juta hektar.

Dengan keterbatasan sumber daya, ciri khas sawit swadaya bisa terlihat bahkan dari citra satelit. “Dari citra satelit bisa terlihat ada atau tidaknya tanda-tanda investasi seperti pembangunan kanal, jalan yang rapi serta sawit yang tertata,” kata Dedy.

Dia menyebut, pola penyebaran tanaman sawit di perkebunan swadaya cenderung menyebar dan jalan pun tidak rapi. “Tanda-tanda itu ketemu sawit swadaya ini seluas 2,3 juta hektar,” katanya.

Pentingnya pendataan sawit rakyat ini juga disuarakan SPKS. Mereka menilai dua alasan krusial terkait hal ini: kewajiban pemerintah dan komitmen untuk mendukung sawit berkelanjutan.

Terkait kewajiban, pemerintah disebut SPKS memiliki mandat untuk melakukan registrasi surat tanda daftar budidaya (STDB) lahan perkebunan di bawah 25 hektar. STDB merupakan pendataan dan pendaftaran perkebunan dengan luas kurang dari 25 hektar.

Dengan ada STDB menjadi bukti adminsitrasi legal untuk mendorong peningkatan mutu sawit karena mencantumkan posisi lahan petani, kualitas bibit sampai hasil panen.

“Pendataan STDB untuk petani ini perlu dipercepat hingga proses penguatan data untuk sawit swadaya bisa dilakukan,” kata Andri.

 

 

 

Untuk komitmen sawit berkelanjutan, adanya pemetaan menjadi modal untuk komitmen keterlacakan (traceability) sawit yang selama ini diminta pasar internasional. Proses ini bisa memukul balik tuduhan petani sebagai biang deforestasi.

Pemetaan yang jelas akan menunjukkan kebun mana siapa yang memasok tandan buah segar (TBS) sawit dari kawasan hutan itu. Sekaligus menguatkan kajian Auriga.

“Selama ini, petani yang dituduh (menyebabkan deforestasi), tapi kita tidak ada data traceablity-nya. Apakah benar dari petani yang di bawah 25 hektar atau di atas itu?”

 

Perkebunan sawit milik PT Bagas Indah Perkasa (BIP) yang berdampingan dengan konsesi HTI milik RAPP di blok Hulu Cenaku Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau
Photo: © Yudi Nofiandi/Auriga

 

Setop buka lahan

Dengan 8% sawit swadaya menghasilkan deforestasi, tekanan besar saat ini justru ada di perkebunan skala besar yang menghasilkan 2,6 juta hektar deforestasi. Dalam hal ini, perusahaan diminta tidak lagi membuka lahan sawit baru.

Total lahan sawit Indonesia ada 16,3 juta hektar.

Sawit Watch juga mendorong intensifikasi kebun sawit. Mereka menyebut produktivitas bisa ditingkatkan dengan tata kelola dan praktik agrikultur yang baik.

Selain itu, intensifikasi ini pun harus dibarengi dengan penundaan perizinan baru. “Dengan adanya itu semua, maka citra sawit kita akan lebih bagus,” katanya.

Dampak lain, katanya, adalah terkendalinya konglomerasi lahan yang selama ini dituding menjadi penyebab monopoli harga dan ketersediaan minyak sawit di pasaran. Hal ini bisa dilakukan asalkan ada perbaikan regulasi.

Regulasi yang paling memberatkan adalah Peraturan Menteri Pertanian nomor 98/ 2013 yang memberikan batas penguasaan lahan untuk perkebunan sawit mencapai 100 ribu hektar per provinsi. Hanya saja ada pengecualian bagi koperasi, perusahaan negara atau perusahaan perseroan terbuka atau go public.

“Peraturan ini membuat iklim usaha tidak sehat,” kata Rambo.

 

 

Suhandri memanen sawit di sebuah kebun milik masyarakat di Desa Bina Karya, Sumatera Utara. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version