Mongabay.co.id

Penyelamatan Danau Limboto Lamban, Mengapa?

 

 

 

 

 

Penyelamatan Danau Limboto berjalan lamban. Soal uang ganti pembebasan lahan warga pun belum jelas, ‘ribut’ luasan danau antar lembaga pemerintah, antara lain jadi penyebab upaya penyelamatan danau seakan jalan di tempat.

Yusni Daud, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, mempertanyakan pembayaran pembebasan lahan warga sejak 2014.

Sejak 2014, pemerintah mulai membebaskan lahan-lahan warga di sekitar Danau Limboto untuk proyek revitalisasi, termasuk milik warga Tabumela.

Yusni bilang, ada sekitar 16-17% lahan masyarakat Desa Tabumela dibebaskan pemerintah, tetapi hingga kini belum ada kejelasan pembayaran. Sebagai pemerintah desa, dia menjadi sasaran saat warga bertanya hasib lahan mereka.

“Dari 2014 sampai sekarang, lahan masyarakat belum terbayar. Kasiang, sudah delapan tahun lahan mereka tidak memiliki kepastian kapan dibayar,” kata Yusni, dalam acara supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal revitalisasi Danau Limboto, belum lama ini.

Pada agenda supervisi revitalisasi Danau Limboto itu dihadiri Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dan Plt. Direktur Korsup Wilayah IV KPK, Edi Suryanto. Hadir pula perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Balai Wilayah Sungai Sulawesi II, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo dan Polda Gorontalo dan lain-lain.

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Gorontalo, dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo serta masyarakat sekitar juga turut diundang. Tujuannya, KPK berkeinginan ada kolaborasi antar pihak termasuk warga guna menyatukan visi bersama penyelamatan Danau Limboto.

Limboto, salah satu danau kritis di indonesia, termasuk 15 danau prioritas nasional yang akan diselamatkan. Ia tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional.

Yusni meminta, harus ada kejelasan pemerintah membayar lahan masyarakat.

Warni Uli, warga Desa Tualango, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo juga ikut bertanya masalah sama. Lahan orang tuanya sudah puluhan tahun ditempati dan dikelola, sampai hari ini belum ada kepastian pembayaran.

Padahal, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari lahan-lahan mereka dibayarkan setiap tahun kepada pemerintah desa.

Warni bilang, dulu lahan-lahan itu sumber kehidupan keluarga, untuk bertani atau tempat memancing ikan.

 

Baca: Limboto, Danau yang Perlahan Jadi Daratan

Proyek revitalisasi Danau Limboto lamban karena beberapa persoalan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Sayangnya, lahan itu tidak bisa mereka manfaatkan karena sudah dibebaskan pemerintah sejak 2014. Dia memahami Danau Limboto perlu dan harus diselamatkan, tetapi tidak bisa menyengsarakan masyarakat dengan tak memberikan kepastian pembayaran kepada pemilik lahan.

“Kami sangat berharap, pemerintah secepat mungkin bisa membayar. Kami butuh kepastian. Sudah sangat lama kita menunggu-menunggu ini. Sampai hari ini belum ada pembayaran,” katanya.

Danau Limboto, merupakan danau terbesar di Gorontalo. Secara administrasi ia terletak di dua wilayah, 30% di Kota Gorontalo dan 70% di Kabupaten Gorontalo.

Danau berada pada dataran rendah, sekitar 25 meter dari permukaan laut (mdpl) dan merupakan hilir dari lima sungai besar dan 23 anak sungai kecil.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9/2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Gorontalo, luas danau ini sekitar 3.334,11 hektar. BPDAS Bone Bolango mencatat, secara fisiografis lanskap tangkapan air Limboto memiliki kemiringan beragam, sangat curam 6,71%, curam 42,80%, agak curam 3,03%, landai 4,24% dan datar 43,22%.

KLHK mencatat, Limboto memiliki peran strategis, antara lain, aspek ekologis untuk reservoir alami limpasan air sungai yang masuk dari daerah tangkapan air atau pengendali banjir. Juga memberikan sumber daya ekonomi penting perikanan atau budidaya dan tangkap.

Kemudian, pengembangan wisata alam, sumber potensial air bersih, mengandung biodiversiti untuk laboratorium alami dan untuk pertanian.

Data Badan Riset Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan menyatakan, ada 17 desa berbatasan langsung dengan perairan danau Limboto. Mayoritas penduduk langsung maupun tak langsung tergantung secara ekonomi terhadap Limboto, seperti sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan pedagang ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA).

Menurut DKP, danau ini mengalami pendangkalan karena degradasi lahan oleh erosi dari lahan dan jadi sedimen, serta okupasi wilayah danau oleh masyarakat sekitar.

Pada 1932, rata-rata kedalaman danau 30 meter seluas 8.000 hektar. Pada 1970, kedalaman jadi 15 meter dengan luas 4.500 hektar.

Pada 2003, berkurang tinggal empat meter luas 3.054,8 hektar. Pada 2017, luasan danau kembali berkurang menjadi 2.537 hektar dengan kedalaman 2,5 meter.

Berdasarkan perubahan luas danau maka sekitar 62 tahun terhitung sejak 1955-2017, luasan danau berkurang 5.463 hektar.

 

 

Baca juga: Inilah Nasib Manggabai, Ikan Endemik Danau Limboto

Infrastrutur yang dibangun dalam revitalisasi Danau Limboto. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

***

Wempi Waroka, PPK Danau Limboto, Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) II mengatakan, sejak 2012, mereka mengupayakan penyelamatan Limboto yang disebut sebagai proyek revitalisasi.

Upaya penyelamatan danau berdasarkan hasil Konferensi Nasional Danau Indonesia pada Agustus 2009 di Bali.

Konferensi itu menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan “Kesepakatan Bali 2009” antara sembilan menteri tentang pengelolaan danau berkelanjutan dalam mengantisipasi perubahan iklim global.

Dalam kesepakatan itu, ada tujuh strategi pengembangan dan pemanfaatan potensi danau sebagai upaya untuk mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau berdasarkan keseimbangan ekosistem. Yakni, pengelolaan ekosistem danau, pemanfaatan sumber daya air danau, pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau. Lalu, penyiapan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau, pengembangan kapasitas, kelembagaan dan koordinasi serta peningkatan peran masyarakat dan pendanaan berkelanjutan.

Dari Kesepakatan Bali 2009 itu, menetapkan 15 danau prioritas akan ditangani bersama secara terpadu, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan pada periode 2010-2014. Penetapan danau prioritas berlandaskan pada kerusakan danau, pemanfaatan danau, komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan danau, fungsi strategis untuk kepentingan nasional, keanekaragaman hayati, dan risiko bencana.

Dari 15 danau prioritas itu, tiga danau mengalami pendangkalan cukup besar, yaitu, Danau Rawa Pening di Semarang, Tempe di Sulawesi Selatan, dan Limboto di Gorontalo.

Menurut Wempi, dari tiga danau itu, Limboto menduduki urutan pertama yang mengalami penyusutan terbesar dari sisi kedalaman dan luas makin berkurang. Ironisnya, luasan danau berkurang itu yang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai lahan pertanian, budidaya perikanan, bahkan pemukiman warga yang sudah bersertifikat atau memiliki alas hak.

Data BWSS II menyebutkan, ada 576 bidang tanah dengan luas 54,76 hektar memiliki alas hak atau sertifikat di sempadan dan badan danau. Sebagian besar bantaran Limboto digunakan masyarakat sebagai pemukiman permanen.

Tiga tahun setelah Kesepakatan Bali, atau pada 2012, pemerintah pusat melalui KPUPR membuat proyek strategis nasional (PSN) untuk revitalisasi Limboto, Balai Wilayah Sungai Sulawesi II menjadi penanggung jawab. Wempi bilang, mereka langsung membuat tanggul air di sejumlah tempat sebagai pencegahan ketika ada luapan air danau.

“Saat awal pekerjaan revitalisasi itu, semua di luar dugaan. Ternyata daerah danau yang kita lihat dan apa yang ada di dalam perencanaan, sudah ada kepemilikan lahan oleh masyarakat sekitar. Kita kaget hingga tanggul tidak sesuai yang kita harapkan,” katanya kepada Mongabay.

Pada 2014, BWSS II membuat pintu air yang dinamakan “Pintu Kanal Topodu, ” salah satu pintu air terbesar menuju muara sungai di Kota Gorontalo. Sampai hari ini, Topodu belum bisa berfungsi karena kanal belum selesai. Pasalnya, lahan di sekitaran pembangunan kanal itu masih bermasalah.

 

Danau Limboto, dengan bermacam permasalahannya, Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Sejumlah lahan berada di sempadan dan badan danau hingga menyebabkan lahan warga belum dapatkan kepastian pembayaran ganti rugi.

Wempi berdalih, BWSS II tak mau mengambil risiko membangun total dan langsung melakukan pembayaran tanpa verifikasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gorontalo.

Sejumlah lahan di sempadan dan badan danau yang memiliki sertifikat hak milik dan alas hak menjadi penyebab BWSS II ragu untuk melakukan pembayaran.

Wempi masih menyebut, khawatir disalahkan karena membayar ‘tanah negara’—di lahan yang bersertifikat dari negara–. Hal ini yang menjadi alasan mereka meminta KPK memfasilitasi masalah agar bisa menemukan solusi cepat.

Apalagi, pada 2021, Presiden Joko Widodo kembali membuat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Tujuannya, dari 15 danau kritis yang jadi prioritas nasional termasuk Limboto, harus percepat proses penyelamatan.

Semua sektor dan lembaga, baik kementerian hingga pemerintah daerah, diminta ikut terlibat dalam penyelamatan Limboto.

“Semua pihak harus terlibat dalam penyelamatan Danau Limboto. Hal itu jelas diperintahkan di Kesepakatan Bali 2009 dan Perpres yang dikeluarkan tahun 2021. Jadi, tidak hanya BWSS II yang kerja, semua instansi dan pemerintah daerah juga harus ikut terlibat,” katanya.

 

 

Kegiatan supervisi KPK atas masalah penyelamatan Danau Limboto di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

‘Ribut’ antar lembaga pemerintah

Penyelamatan Danau Limboto sejak 2012 hingga sekarang tertatih-tatih. Perbedaan versi luasan danau antara BWSS II dan BPN Gorontalo menjadi masalah utama. BPN Gorontalo mengklaim, luasan Limboto 3.160 hektar dengan 825 bidang tanah bersertifikat atau alas hak dan dikuasai warga.

BWSS II berpegang teguh dengan Peraturan Daerah Nomor 9/2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Gorontalo, yang menyebutkan, luasan danau sekitar 3.334,11 hektar. Data BWSS II ada 576 bidang tanah bersertifikat atau alas hak.

Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau menjadi rujukan BWSS II.

Kalau disandingkan data BPN Gorontalo dan BWSS II, ada sekitar 174 hektar dan 249 bidang tanah tak diakui BWSS II karena dianggap berada di sempadan dan badan danau, bahkan badan air. Perbedaan data itu yang jadi masalah tak kunjung selesai.

Menariknya, saat kegiatan itu, Erry Juliani Pasoreh, Kakanwil BPN Gorontalo membantah semua anggapan itu.

Menurut dia, semua sertifikat tak berada di sempadan, badan danau, dan badan air. Dia bilang, sertifikat tanah sama sekali mengganggu pekerjaan revitalisasi atau penyelamatan danau.

“Sertifikat dikeluarkan BPN terhitung sejak 1994. Kita tidak mengetahui latar belakang atau alasan dari kebijakan pemerintah menerbitkan sertifikat itu. Kami yakin, 825 bidang tanah yang memiliki sertifikat atau alas hak, tidak berada di badan air danau,” katanya saat memberikan sambutan dalam kegiatan supervisi itu.

Meski begitu, BPK akan kembali mencoba verifikasi lahan-lahan bersertifikat di sekitaran danau. Erry bilang, BPN juga di kabupaten/kota segera dikerahkan menindak lanjuti proses pembebasan lahan, guna memberikan kepastian atas lahan-lahan masyarakat.

Wempi tak kaget dengan sikap BPN. BPN terlalu menutupi diri dan hanya pakai peta luasan danau tahun 1995, tetapi tak ada penjelaskan soal perubahan luasan danau pada 1982-1983. Sikap BPN itu, justru menghambat proses revitalisasi Limboto.

Sejak 2012-sekarang, proyek revitalisasi baru 75%. Wempi bilang, luasan danau sudah jelas dengan ada Perda Nomor 9/2017 yang menyebut sekitar 3.334 hektar. Hanya, saat penyusunan perda itu, BPN tak mau terlibat. Bahkan, setelah perda selesai, BPN protes, malah mengeluarkan luasan danau berbeda dari perda.

Alhasil, mereka beberapa kali mengembalikan uang pembebasan lahan ke negara karena ego sektoral itu..

“Saat rapat yang dipimpin KPK pada 2019 di Bappeda Provinsi Gorontalo, BPN masih bersikeras berpatokan di luasan mereka. Itu memicu proses pembebasan lahan hingga kini belum selesai. Kami kembali minta pendampingan KPK untuk mediasi masalah ini agar tidak berimplikasi hukum.”

Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK, mengatakan, jangan sampai dalam proses revitalisasi Limboto menimbulkan kerugian negara.

Dia meminta, Pemerintah Gorontalo melalui gubernur, dan Pemerintah Kota Gorontalo (walikota) dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo (bupati) harus terlibat penuh menyelesaikan perbedaan data luasan danau ini.

Jangan sampai, katanya, proyek revitalisasi sebagai upaya penyelamatan Danau Limboto, malah mengarah ke tindak pidana korupsi.

Lili meminta, BPN Provinsi Gorontalo kembali memverifikasi lahan masyarakat sekitar danau. Kalau ada lahan warga di sempadan dan badan danau, tak boleh diberikan surat kepemilikan.

“Kita juga akan proses identifikasi untuk intervensi dalam masalah ini dengan bermaksud baik kepada seluruh masyarakat. Kita tak ingin ada anggaran negara yang dikeluarkan tidak sesuai peruntukan sesungguhnya.”

 

Revitalisasi Dnau Limboto sedang berjalan sejak 2014 tetapi banyak lahan-lahan warga yang sudah pembebasan tetapi belum dapat ganti rugi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indomesia

 

Keramba apung

Selain perbedaan data luasan Danau Limboto, juga masalah KJA juga meyebabkan revitalisasi masih tertatih-tatih. BWSS II mencatat, ada 2.559 KJA yang mempunyai pakan ternak 202 ton perhari.

Dalam setahun, pakan ternak yang masuk dalam Limboto 73.730 ton. BWSS II mengasumsikan, kalau ada 10% pakan ternak tak dimakan ikan, ada 7.373 ton setiap tahun sedimentasi ikut menyebabkan pendangkalan Limboto.

Naswardi, Kepala BWSS II mengatakan, karena pakan ternak masuk dalam Limboto membuat kualitas air danau buruk.

Degradasi lahan di sekitar dan hulu danau, juga banyak warga menanam jagung berkontribusi besar pada kondisi Limboto.

Berdasarkan penelitian Elya Nusantari dari Universitas Negeri Gorontalo pada 2010 berjudul “Kerusakan Danau Limboto dan Upaya Konservasi melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Peran Perguruan Tinggi,” menyebutkan, erosi pada DAS Limboto 3.409.067,36 ton per tahun atau rata-rata 44,69 ton per hektar per tahun.

Dalam penelitian itu, erosi ini melewati ambang batas bahaya yang diperkenankan sebesar 10 ton perhektar pertahun.

Naswardi bilang, beban Limboto hanya 6 juta ton pertahun dan sudah kesulitan menangani sedimentasi ini. Apalagi, ada 30% luasan Limboto tertutup eceng gondok.

Alhasil, dengan luasan danau berkurang, KJA dan sedimentasi tinggi sering menyebabkan banjir.

Pada musim hujan, danau tak bisa menampung luapan air sungai yang bermuara ke Limboto. Akibatnya, banjir menenggelamkan rumah-rumah penduduk, lahan pertanian hingga gagal panen, Tak jarang, Kota Gorontalo dilanda banjir karena masalah itu.

Marten Taha, Wali Kota Gorontalo, juga mengeluhkan masalah ini. Dia bilang, Limboto harus secepatnya diselamatkan karena berdampak besar kepada warganya.

Sebagai upaya penyelamatan danau, sejak tujuh tahun lalu, mereka sudah melarang warga membuat sertifikat dan okupasi di sekitar danau.

“Danau Limboto, harus secepatnya diselamatkan karena musim hujan atau kemarau, warga saya sangat terdampak. Ini harus menjadi perhatian semua.”


 

 

********

Exit mobile version