Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Halmahera Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]

 

 

 

 

 Suara mesin pajeko jelas terdengar di pesisir Pantai Desa Lilief Woyebulen, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Reng.. reng.. reng

Pagi itu, sejumlah nelayan Desa Woyebulen, bersiap melaut. Abdulah Ambar, memanaskan pajeko, mesin kapal kayu tradisional itu, sebelum melaut.

Dulah, begitu dia biasa disapa sibuk membereskan peralatan tangkap di pajeko. Pajeko adalah sebutan untuk perahu tradisional di Halmahera, Maluku Utara. Ia kapal purse seine, alat tangkap orang Sawai.

Dulah bersiap ke tempat penangkapan ikan (fishing ground). Dia mendapat kabar dari nelayan lain, ikan mulai muncul di sekitar perairan Kobe, lokasi yang dulu banyak ditumbuhi mangrove.

Sekitar pukul 06.15, Dulah ditemani lima kerabatnya mulai meninggalkan pesisir pantai menuju arah penangkapan ikan.

Saya dan Masri Anwar, aktivis lingkungan Maluku Utara ikut melaut. Pajeko Dulah tak besar tetapi cukup buat kami tumpangi.

Perlahan pajeko mulai meninggalkan perairan Desa Woyebulen. Saya melihat beberapa awak kapal, yang merupakan kerabat Dulah berdiri di buritan kapal. Mereka tengah memantau pergerakan ikan di sekitar. Dulah fokus mengemudi mesin kapal, di buritan badan kapal. Matanya searah melihat ikan di permukaan. Kapal pun makin jauh meninggalkan Desa Lelilef Waibulen.

Pajeko mulai mendekati fishing ground. Sebagian ikan terlihat menari-nari di atas permukaan laut. Para awak kapal mulai bersiap membentangkan jaring. Perlahan kecepatan kapal Dulah turunkan. Ia sembari melihat arah kawanan ikan, sambil memberi arahan. Mata tak berkutik terus mengikuti arah kawanan ikan.

Beberapa saat, kawanan ikan mulai sedikit meninggalkan lokasi itu. Awak kapal bergeming. Tak perlu waktu lama, ikan pelagis itu menghilang. Mereka agak kecewa.

Dulah mencoba mengikuti arah kawanan ikan berharap bisa bernasib baik. Mesin terus berbunyi di sekitar kapal-kapal tongkang yang berlabuh di perairan Kobe. Empat jam kapal berupaya menangkap ikan di perairan Kobe, namun belum beruntung. Kembali ke desa sebentar untuk istirahat.

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

Sisa-sisa pepohonan mangrove yang sudah mati dan air laut yang kemerahan karena terkena ore nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Istrinya, Nur Saleh menyiapkan bahan bakar baru untuk pajeko sekitar 30 liter. Dia baru beli di tempat penjualan BBM, di sekitar Desa Lilief Sawai. Kami pun berangkat menuju lokasi yang sama.

Belum beruntung juga. Kami pun bergeser ke Tanjung Uli, yang kini masuk kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), sebagai pusat industri nikel. Dulu, di sini hutan mangrove, kini hilang.

Di depan dermaga, Dulah sempat menghentikan pajeko. Saya celupkan tangan ke permukaan air laut. Air laut begitu panas.

Dulah bilang, setelah perusahaan beroperasi, limbah diduga dibuang ke laut, melalui Sungai Ake Gemaf.

Sejak IWIP beroperasi, katanya, hasil tangkapan mulai berkurang, bahkan nyaris tak ada. Perairan ini dulu berlimpah ikan dan biota laut.

“Kita biasa melaut posisinya perairan ini sudah. Tapi sekarang agak minim dan tidak kelihatan.”

Dia bilang, perairan di depan kawasan industri nikel ini dulu banyak ikan tongkol. Kini mulai sulit. Nelayan pun mesti ke laut jauh, sekitar 10-20 mil dari sini.

“Namanya nelayan, kalau mencari ikan di areal ini sudah agak sulit, maka kita berpindah ke lokasi yang jauh.”

Dengan wilayah tangkap lebih jauh, biaya operasional lebih besar. Dia kadang kesulitan bila harus melaut hingga puluhan mil itu.

“Kalau sekarang 10 kali keluar tak ada hasil. Nah, kalau 10 kali keluar itu sudah membuang BBM, kalau satu hari jalan saja itu sudah memakan biaya Rp0,5 juta. Bisa kalikan saja 10 hari, itu sekitar Rp5 jutaan, tapi hasilnya nihil.”

Kalau ingin mendapatkan ikan lebih banyak, biaya operasional akan meningkat, karena lokasi tangkapan makin jauh. Bapak tiga anak ini terkadang nyaris putus asa, karena tangkapan tak sebanding dengan biaya operasional. Belum lagi faktor lain, seperti cuaca, membuat nelayan yang sudah 38 tahun melaut ini terkadang merugi karena tak mendapatkan ikan.

“Kalau mau dapat ikan, harus 20-30 mil, tentu harus mengeluarkan operasional Rp2-Rp3 juta per hari.” Belum lagi pengeluaran buat awak kapal—enam sanak keluarganya.

Bukan hanya masalah cari ikan sulit, juga saat memasarkan. Perusahaan enggan mengambil hasil tangkapan padahal dia pernah berkomunikasi dengan perusahaan untuk beli tangkapan nelayan.

“Waktu PT Weda Bay Nikel ditangani investor Prancis, hasil perikanan nelayan dibeli. Mereka mau berdayakan masyarakat lokal. Tapi ini tidak sama sekali, bahkan menolak hasil kami.”

Kini, WBN berada di bawah IWIP. IWIP merupakan perusahaan patungan dari tiga investor asal Tiongkok, Tsingshan, Huayou dan Zhenshi.

Dulah pun memasarkan ikan ke pasar tradisional Lelilief.

“Kadang, ikan kita busuk. Mau bagaimana lagi, kalau tangkapan banyak dan yang beli sedikit tentu rusak.”

Arnol Burnama, nelayan Desa Lelilef Sawai biasa mencari ikan di depan laut Kobe juga keluhkan hal serupa.

Sejak banjir melanda Lelilef, 9 September 2021, tempat pencarian ikan di perairan Desa Kobe banyak tertutup lumpur. Dia tak banyak melaut, karena jaring rusak terkena sampah dan lumpur.

“Kita kasih kuliah kita pe anak itu dari barang ini selama enam tahun, tapi sekarang ikan so tarada,”katanya dalam dialek Sawai.

 

Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Jaring yang dia gunakan tertimbun lumpur di sekitar perairan Kobe. Dia sempat melaut di sekitaran Tanjung Uli, namun tak mendapat ikan padahal dulu banyak sekali.

Dia sudah jadi nelayan sejak 1980-an. Di Tanjung Uli, Desa Lelilef dulu hutan mangrove rimbun dan tempat mencari ikan. Nelayan tak bisa lagi melaut di sana sejak industri nikel IWIP beroperasi.

Arnol pernah ditegur saat memancing di sekitar perairan itu. Dia bingung karena sebalum ada perusahaan, Tanjung Uli area tangkap nelayan.

“Disitu ada banyak macam ikan yang biasa saya dapat, kita orang Sawai bilang ikan tude, noru, gosa, norang, semua pe ada di situ. Sekarang tidak ada, tara tahu ke mana semua ikan itu.”

Dulu, kalau pergi pagi, katanya, biasa pulang siang dengan banyak hasil tangkapan di perahu. “Sekarang ini seharian pun tara membawa ikan.”

Ikan cakalang, katanya, mulai sulit ditemukan di sekitar perairan Teluk Weda, padahal dulu sangat banyak.

Dia bilang, ada beberapa jenis ikan mulai hilang seperti goropa (kerapu), dan lelise (somasi).

“Kalau di sini tara bisa [dapat ikan], terpaksa harus melaut ke lokasi lebih jauh seperti Gane Timur, tapi itu kalau cuaca bagus deng ongkos minyak juga ‘bagus’.”

Dia tak tahu pencemaran laut dari perusahaan mana saja karena ada beberapa perusahaan tambang nikel beroperasi. “Semua mengepung lautan. Bila hujan, itu lautan semua merah,”katanya.

Selain pakai jaring, dia mencoba tangkap ikan dengan memancing. Hasilnya biasa dia jual ke desa tetangga atau pasar.

Sebelum ada perusahaan, kata Arnol, hasil tangkapan bisa dapat Rp1 juta. Sekarang, kadang Rp500.000, biasa hanya Rp200.000 dengan potong lagi biaya bahan bakar. Mereka melaut lebih jauh hingga perlu bahan bakar lebih banyak.

Nelayan Desa Lelief Sawai, sebagian beralih dari nelayan ke buruh pabrik perusahaan.

Warga yang bertahan jadi nelayan sekitar enam orang. Itupun hasil tangkapan hanya untuk konsumsi sendiri.

Bagi Arnol, laut bukan sekadar mencari ikan, namun tempat menggantungkan hidup.

Nelayan lain, Maks Sigoro, dari Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara juga rasakan kesulitan sama. Nelayan jadi pekerjaan utamanya, selain berkebun. Dia bilang, kondisi saat ini tak bisa lagi berharap banyak pada tangkapan karena laut keruh. Ketika memancing, sudah susah dapat ikan lagi.

Maks bercerita, beberapa kali diusir perusahaan saat memancing di Tanjung Uli. Lokasi itu merupakan areal tangkap ikan nelayan dari Gemaf maupun Sawai.

“Saat saya pancing di situ, ada speedboat datang. Ada security, polisi, dan petugas IWIP mereka mengusir kami. Katanya dilarang beraktivitas di situ,” katanya mengingat persistiwa 2021.

 

Baca juga: Kala Masyarakat Adat Sawai Kehilangan Ruang Hidup

Kondisi air laut di perairan Gemaf. Air berubah warna kecoklatan. pepohonan mangrove pun bertumbangan. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Maks bilang, warna laut tak hanya kemerahan, biasa hitam saat masih pagi. Dia lihat, air laut berwarna hitam di sekitar pesisir pantai Desa Gemaf.

“Dulu, saya lihat dengan mata saya sendiri ikan mati di sekitar aliran muara Sungai Ake Sake. Muara sungai itu dipakai untuk pembuangan limbah ke laut, disitu ada oli.”

Sampah plastik juga banyak di sekitar lokasi memancing. Air pun makin tercemar.

Yoke Jinamaya, Kepala Desa Gemaf mengatakan, buang limbah ke laut mengakibatkan pencemaran.

Tumpahan oli, katanya. terjadi pada akhir Januari lalu di muara Sungai Ake Sake, Desa Gemaf.

“Jadi itu minyak dibuang ke Ake Sake. Lalu air sungai itu mengalir ke laut hingga mencemari air laut di Gemaf.”

Dia berharap ada bantuan Dinas Perikanan Maluku Utara, untuk masyarakat nelayan agar bisa gunakan alat tangkap ke lokasi biasa mereka tangkap ikan.

Yoke sudah bicara dengan perusahaan untuk mengantisipasi pencemaran lingkungan ini.

Melalui M Fabanyo, Media dan Communacations External Departement of Weda Bay Project dalam keterangan kepada Mongabay Februari lalu, membantah kalau perusahaan membuang limbah ke laut,

“Yang dibuang ke laut limbah hasil pengoperasian PLTU berupa air bahang. Limbah air bahang ini IWIP memperoleh izin pembuangan air limbah ke laut dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021,” katanya. Perusahaan, katanya, bikin laporan setiap tiga bulan sekali ke KLHK.

“Dari hasil sampling lingkungan menunjukkan parameter lingkungan masih memenuhi baku mutu,” katanya.

Kawasan industri nikel IWIP, termasuk pembangkit batubaranya, tak hanya menguasai daratan, tetapi wilayah pantai dan perairan Weda, Halmahera Tengah.

Abdulah Assagaf, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara saat dikonfirmasi Mongabay berkomentar macam tak ada masalah. Penerbitan izin pertambangan, katanya, sudah melalui semua tahapan kajian dan pertimbangan teknis, termasuk terkait analisis dampak lingkungan.

“Izin pertambangan, DKP Malut hanya memberikan pertimbangan teknis tentang kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sesuai peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam rencana zonasi.”

Soal kabar pencemaran limbah perusahaan dan tumpahan oli di perairan, Abdullah, belum bisa berkomentar banyak.

DKP Malut, katanya, akan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup untuk memantau kondisi kualitas perairan di sekitar kawasan industri maupun areal pertambangan.

“Untuk uji kualitas perairan, mungkin yang paling berkompeten adalah DLH.”

Syamsul Bahri Ismail, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah, saat dikonfirmasi membenarkan soal pencemaran tumpahan oli mengalir ke laut.

“Ada tumpahan namun belum mencapai pesisir pantai dekat Tanjung Uli. PT IWIP telah ambil langkah-langkah penanganan sesuai standar pencemaran yang tertuang dalam standar operasional prosedur penanganan pencemaran limbah,”katanya kepada Mongabay, April lalu.

Dia bilang, sesuai pengaduan masyarakat, DLH langsung investigasi soal tumpahan oli dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) milik IWIP. Limbah ini , sebelumnya diduga jebol dan mengalir ke laut.

 

Kawasan industri PT IWIP di Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Syamsul bilang, perusahaan berkewajiban mengolah limbah sebelum dibuang ke badan air. Untuk air bahang, katanya, sesuai informasi IWIP adalah proses kulminasi dari PLTU dan buang ke badan air.

“Perusahaan wajib menjaga suhu sesuai izin diberikan KLHK,”katanya.

Hasil investigasi, katanya, ada tumpahan oli, tetapi bukan oli bekas.

“Kita cross check di lapangan itu bukan oli bekas tapi pelumas mesin pabrik dari drum sobek karena terkena sentuhan alat berat hingga tumpah ke selokan dan mengalir ke Sungai Wosia (sungai buatan) IWIP,” katanya.

Munadi Kilkoda , Sekretaris Komisi III, DPRD Halmahera Tengah, menyayangkan, kejadian itu. Dia bilang, tumpahan oli fatal, apalagi dalam jumlah banyak akan berdampak terhadap ekosistem perairan di Teluk Weda.

Kelalaian ini, katanya, bertentangan dan menyalahi aturan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan, katanya, tak menyiapkan tanggul hingga limbah bisa mengalir ke laut.

“Harusnya penampungan limbah bahan berbahaya dan beracun disiapkan.”

Dia bilang, pelanggaran tak hanya limbah oli juga sedimentasi, reklamasi, penebangan mangrove, alitrasi sungai, pencemaran udara hingga masalah B3.

“Masalah B3 ini sudah beberapa kali terjadi hanya pemerintah daerah tak pernah memberikan sanksi tegas ke PT IWIP.”

Padahal, katanya, perusahaan jelas-jelas melanggar dan membahayakan lingkungan. Masalah limbah, katanya, bukan persoalan main-main karena bisa mengancam kehidupan makluk hidup termasuk manusia.

Rusdi Rasjid, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara, mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah dan Maluku Utara harus proaktif meninjau lokasi yang diduga tercemar tumpahan oli di pesisir pantai Desa Gemaf.

“Apabila terbukti dan ditemukan seharusnya DLH memberikan sanksi,” katanya.

Yudi bilang, tak hanya limbah B3, masalah lain yang terjadi berulang kali seperti sedimentasi juga harus ditangani pemerintah. “Harus secepatnya investigasi, karena akan berdampak terhadap lingkungan.”

Muhammad Aries, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate, mengatakan, dengan ada pertambangan di Maluku Utara, terjadi ekstrasi sumber mineral masif.

Kondisi ini, bikin dia tertantang membuat riset tentang kesehatan laut

Kepada Mongabay, Februari lalu, Ketua Pusat Study Akikultur Universitas ini mengatakan, hasil risetnya membuktikan, beberapa perairan mengalami ekstraksi mineral. Perairan, katanya, mendapat tekanan luar biasa.

Dari riset itu juga menunjukkan temuan mencengangkan karena status laut di perairan Maluku Utara dengan ada ekstrasi sumberdaya mineral atau pertambangan itu hampir semua dalam kondisi krisis. Biota-biota yang berada di ekosistem perairan itu sulit melanjutkan hidup.

Laut juga memiliki pola arus hingga bahan-bahan partikular dari ekstrasi sumberdaya mineral itu terus mengalami pergeseran. Dari sisi kesehatan laut, katanya, terus mengalami penambahan luasan kerusakan atau kematian biota hingga mereka terus berpindah atau bermigrasi ke wilayah-wilayah dengan daya dukung lingkungan yang cocok.

“Dampaknya saya kira cukup besar, sangat berpengaruh selain organism ini juga berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat. Yang mana, mata pencarian nelayan-nelayan ini makin besar tantangannya.”

 

Nelayan tradisional di Halmahera Tengah yang kini mulai merasakan kesulitan kala ikan-ikan di perairan dekat pantai sulit dapat ikan, tak seperti dulu lagi. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dari sisi ekonomi, katanya, sangat tak menguntungkan bagi nelayan hingga berpengaruh pada pendapatan mereka. “Ini dampak paling nyata terlihat.”

Dari sisi biota laut, kata ahli bidang spesifikasi kesehatan lingkungan laut dan ikan ini karena habitat hancur, ekosistem laut juga mati.

“Tidak ada kehidupan diharapkan kalau habitat di dalam ekosistem itu mati,” katanya.

Dengan ekstrasi sumberdaya alam begitu masif, katanya, muatan bahan pencemar limbah bisa makin bertambah.

“Dengan tinggi beban ini ikan-ikan atau biota laut di perairan mengalami tekanan cukup hebat hingga mereka migrasi.”

Dia harapkan, ada kebijakan menyeluruh untuk mengembalikan kondisi perairan yang tercemar.

Aries riset pada 2019 di pertambangan Pulau Obi. Dimana, hampir semua biota terdeteksi dengan teknik histologi pada ikan-ikan itu hampir mengalami kerusakan sel cukup tinggi. Dari sisi kualitas daging ikan, katanya, tak menunjukan layak komsumsi untuk mendukung kesehatan.

“Ini harus jadi peringatan bersama, kalau ini terus dibiarkan kita akan kehilangan ekosistem yang menghasilkan protein.”

Persoalan sama terjadi di Halmahera Tengah, sekitar Teluk Desa Lelilef, Sawai dan desa-desa sekitar tambang di Weda Tengah.

Dibandingakan perairan Obi, posisi Weda berdampak besar karena berada di teluk. “Contoh di Teluk Kao, Halmahera Barat, itu sempat terjadi fenomena teri hilang, padahal Teluk Kao itu lumbung teri. Pada waktu-waktu tertentu hilang.”

Untuk Teluk Weda, kata Aries, juga mempunyai kesamaan dengan Teluk Kao– merupakan daerah terbuka dan bebas–hingga pembuangan limbah langsung ke laut.

Laut mempunyai tipikal sama, parameter oseonografi laut juga punya kesamaan. Jadi, katanya, fenomena di perairan Obi itu sama dengan Teluk Weda, Halmahera Tengah.

“Meskipun saya bersama lembaga belum langsung riset di sekitar IWIP sama seperti di Obi, namun dengan melihat aktivitas penambangan begitu hebat dan begitu tinggi di Halmahera Tengah maka saya menduga cukup kuat limbah yang dihasilkan juga akan tinggi.”

Dia bilang, hampir seluruh daratan di Malut telah terkapling dengan izin usaha pertambangan (IUP). Kondisi ini, katanya, harus menjadi perhatian pemerintah karena akan berdampak pada masyarakat.

Dia sebut sebagai beban ini, kalau ikan atau biota laut terkontaminasi dikonsumsi manusia, maka logam berat bisa terakumulasi dalam tubuh bisa membahayakan.

Logam berat, katanya, merupakan radikal bebas ketika masuk dalam aliran darah dan sel tubuh akan mengikat suatu ion hingga bisa terjadi kematian sel.

“Kematian sel ini secara medis disebut penyakit kanker. Ini yang harus diantisipasi, jangan sampai sumberdaya perikanan kita jadi sumber penyakit terhadap manusia.”

Persoalan yang dihadapi warga sejalan dengan hasil riset Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Desember 2020 berjudul “Rangkaian Pasok Nikel Baterei dari Indonesia dan Persoalan Ekologi.” Dari riset ini ditemukan aktivitas tambang dan industri nikel berdampak besar pada ruang produksi dan akses masyarakat lokal. Seperti di Weda, Halmahera Tengah, nelayan dan petani banyak bergantung pada sumber daya alam yang paling merasakan dampak turunan ini.

 

Kawasan PT IWIP, di tepian laut Halmahera Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Perlakuan perusahaan, yang didukung pemerintah lokal, terhadap masyarakat lokal tak bisa disebut baik. Hal ini terlihat dari kerentanan pekerja yang tereksploitasi, keengganan perusahaan memenuhi tanggung jawab pekerja dan berbagai dampak lingkungan maupun sosial ekonomi. Bantuan perusahaan kepada warga pun tak tepat sasaran dan tak merata.

Muhammad Rushdi, peneliti AEER kepada Mongabay, mengatakan, sebelum perusahaan tambang dan kawasan industri nikel beroperasi, nelayan tradisional beraktivitas di perairan dekat pantai. Sebagian lain dapat melempar kail dengan hohati, alat pancing tradisional di dermaga. Dengan alat ini, katanya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kini, mereka harus pergi lebih jauh, sekitar 1-2 km ke laut lepas, dan menghabiskan lebih banyak ongkos.

Dia bilang, waktu yang dihabiskan nelayan untuk memenuhi target tangkapan harian pun lebih lama. Sebelumnya, mereka hanya perlu pergi 200-300 meter dari pantai.

“Belum lama ini saya memancing ikan dekat kampung hasilnya cuma dapat dua ekor itu pun pulang malam. Jadi pukul 7.00 pagi beli umpan, pulang malam, hasilnya cuman dua ekor [ikan],” kata Rusdi mengulang pernyataan Hengki Burnama, nelayan Lelilef Sawai pada 2020.

Sebelum ada perusahaan, katanya, ikan banyak di laut, sekarang mulai berkurang. “Zaman menggunakan perahu dan layar, tidak jauh memancing, pergi pagi pulang jam 3.00 sore dengan hasil memuaskan. Kita ke laut tinggal angkat saja itu ikan, sekarang mencari ikan di laut seperti cari emas.” (Bersambung)

 

 

*******

 

Exit mobile version