Mongabay.co.id

Orang Wawonii dan Ancaman Tambang Nikel

 

 

 

La Dani, warga Wawonii, ini hidup dari bertani mete dan nelayan pemancing. Baginya, tanah dan laut adalah satu kesatuan, tumpuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sejak kecil La Dani dan keluarga mengolah tanah dan laut, turun menurun, sebagai sumber kehidupan.

Situasi berubah. Perusahaan tambang nikel datang, mengincar Pulau Wawonii atau Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara tempat La Dani dan masyarakat bergantung.

Kalau perusahaan tambang beroperasi, mencari nikel dengan mengeruk tanah Wawonii, tanah dan laut bisa rusak. Tanaman mente, pala, cengkih dan kelapa bisa gagal panen bahkan mati.

Bersama dengan ratusan masyarakat di Roko-Roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara, La Dani menyerukan penolakan terhadap perusahaan tambang, berharap perusahaan pengeruk nikel keluar dari pulau mungil ini.

Pulau Wawonii adalah daerah otonomi baru yang resmi mekar pada 2013. Kabupaten ini dihuni sekitar 37.050 jiwa tersebar pada tujuh kecamatan yakni, Wawoni Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Tenggara, Wawonii Selatan, Wawonii Timur, Wawonii Timur Laut dan Wawonii Barat.

Mayoritas warga hidup dan bergantung pada sektor pertanian, perkebunan, kehutananan, perburuan dan perikanan. Kelapa, mente, pala dan cengkih menjadi komoditas utama.

Saat memasuki musim panen, aktivitas pertanian masyarakat mendatangkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dari luar pulau. Misal, musim panen mente, masyarakat dari Pulau Buton Utara (Ereke) datang ke Wawonii sebagai buruh tani, membantu masyarakat memanen mente dengan sistem upah harian.

Di samping bertani dan berkebun, masyarakat Wawonii juga sebagai nelayan. Setelah panen hasil bumi, masyarakat Wawonii melaut dan menjual hasilnya ke kampung-kampung di Pulau Wawonii atau mengirim ke Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Tuna jadi buruan utama nelayan Wawonii, ikan yang menjadi alasan nelayan melaut hingga puluhan mil ke laut Banda.

 

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Alat berat perusahaan yang bergerak menggusur lahan warga di Pulau Wawonii. Foto: LBH Makassar

 

Penggusuran lahan, dan kriminalisasi masyarakat

Saat ini, ada enam izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii. Jumlah ini sudah berkurang, sebelumnya ada 15 IUP. Sebagian telah dicabut Pemerintah Sulawesi Tenggara setelah masyarakat Pulau Wawonii dan mahasiswa aksi di Kendari, menuntut pencabutan semua izin tambang di Pulau Wawonii.

PT Gema Kreasi Perdana (GKP) adalah salah satu dari enam perusahaan dengan izin pertambangan belum dicabut. Perusahaan ini memiliki dua IUP terletek di Wawonii Barat/Tengah dan Wawonii Tenggara.

Dua IUP terbit 14 November 2008 dan berakhir 14 November 2028, dengan luas masing-masing 954 hektar dengan galian mineral nikel.

Perusahaan ini ditolak mayoritas masyarakat. Namun, perusahaan berusaha bertahan dan menggunakan beragam cara agar bisa menambang di Pulau Wawonii, termasuk upaya paksa seperti menggusur lahan masyarakat untuk pembangunan jalan tambang (hauling).

Penggusuran lahan dilakukan setelah gagal menggoda masyarakat untuk melepas lahan dengan ganti lahan selangit. Penggusuran lahan terjadi di Roko-Roko Raya, Wawonii Tenggara. Lahan yang tergusur sudah dikuasai masyarakat turun temurun selama puluhan tahun. Warga bayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahun, bahkan memiliki sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak. Lahan yang tergusur juga produktif, dengan tanaman seperti kelapa dan mente.

Penggusuran lahan membuat masyarakat murka, dan memunculkan penolakan makin meluas. Mereka berdemonstrasi, meminta pemerintah mencabut izin perusahaan tambang agar Pulau Wawonii terbebas dari ancaman tambang yang mengerikan.

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Aktivitas di Pulau Wawonii yang terancam tambang nikel. Foto: LBH Makassar

 

Penolakan ini terjadi di Langara, pusat pemerintahan Kabupaten Konawe Kepulaaan dan Kendari.

Untuk menghindari perlawanan masyarakat, perusahaan terkadang menggusur pada malam hari. Satu contoh, lahan milik La Amin yang digusur perusahaan pada malam hari, 22 Agustus 2019. Penggusuran setelah gagal membujuk La Amin melepas lahan.

Lewat menantunya, La Amin ditawari uang ganti rugi miliaran rupiah. Bersama dua korban lain, La Amin melaporkan penggusuran lahan ke Polda Sulawesi Tenggara, namun laporan menguap tanpa kejelasan.

Perusahaan berupaya melemahkan penolakan, masyarakat yang berpengaruh dalam penolakan dikriminalisasi. Mereka dilaporkan ke polisi dengan tuduhan perampasan kemerdekaan seseorang, sebagaimana ketentuan pasal 333 Kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Laporan ini oleh PT GKP setelah 10 pekerja perusahaan ditahan masyarakat saat kedapatan menggusur lahan pertanian di Roko-Roko Raya.

Kriminalisasi ini menciptakan ketakutan. Sebagian masyarakat mengungsi, takut ditangkap dan ditahan. Selain itu, masyarakat terpecah, dan dibuat konflik satu sama lain, terpolarisasi: pro dan kontra.

Penggusuran lahan masyarakat kembali terjadi pada 3 Maret 2022. Masyarakat yang menolak dihadapkan dengan masyarakat pro tambang yang dimobilisasi perusahaan. Aparat Kepolisian dan TNI juga hadir di lokasi, namun terlihat berpihak pada perusahaan tambang. Banyak perempuan yang menolak tambang pingsan karena ditarik dan terinjak saat mereka mencoba menghalau alat berat yang mau menggusur lahan warga. Hari itu, lahan warga kembali tergusur.

 

Biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan tambang juga mengancam masyarakat akan melaporkan kalau tetap dan mempertahankan tanah mereka. Mereka mengancam melaporkan dengan tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan sebagaimana ketentuan Pasal 162 UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Masyarakat bersikukuh, tanah mereka harus dipertahankan sekuat tenaga. Bagi mereka, bertani adalah masa depan, lahan mereka harus tetap dipertahankan.

Hastanti adalah salah satu perempuan yang jadi korban dan pingsan setelah terinjak dan ditarik-tarik. Dia berusaha menghadang eksavator yang ingin menggusur lahan. Saat terdesak, bersama beberapa perempuan, Hastanti berdiri di depan eksavator, melepas baju sebagai bentuk protes agar alat berat tak maju dan menggusur lahan warga.

Usahanya tak berhasil. Alat berat maju dan menggusur lahan masyarakat. Dia sedih melihat lahan warga tergusur. Warga sudah berbulan-bulan tinggal di kebun untuk menjaga lahan mereka agar tak tergusur.

Hastati tak lelah berjuang. Dia akan tetap mempertahankan lahan dan Pulau Wawonii dari ancaman kerusakan tambang.

Penggusuran lahan masyarakat masih akan terus berlangsung. Proses pembangunan jalan tambang belum selesai, sementara masih banyak warga menolak melepas lahan untuk pembangunan jalan tambang.

 

Baca juga: Dari Pulau Wawonii: Lahan Warga Terampas Tambang, Protes Berbuah Aniaya dan Penangkapan

Kelapa, salah satu hasil utama Pulau Wawonii. Foto: LBH Makassar

 

Tambang dan kuasa ekslusi

Dari aspek hukum ada beberapa ketentuan dilanggar PT GKP. Pertama, perusahaan ini menambang di pulau kecil. Merujuk Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pemanfaatan pulau kecil tidak diprioritaskan untuk aktivitas pertambangan.

Kedua, merujuk dokumen Peraturan Daerah Nomor 9/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sulawesi Tenggara 2018-2038. Pulau Wawonii tidak untuk pertambangan.

Dalam perda ini, Pulau Wawonii beserta perairan di sekitar untuk pemanfaatan umum, yaitu perikanan tangkap.

Ketiga, izin tambang PT GKP dan seluruh perusahaan tambang di Konawe Kepulauaan terbit ketika Konawe Kepulauan masih jadi wilayah administrasi Kabupaten Konawe. Seluruh proses penerbitan izin tambang tidak diketahui warga, berlangsung dalam ruang tertutup dan diduga penuh dengan praktik koruptif.

Terakhir, PT GKP telah melakukan perampasan lahan dengan menggusur lahan masyarakat untuk membuat jalan tambang. Padahal, lahan-lahan itu adalah lahan pertanian yang sudah dikuasai turun-temurun dan dibayar pajak setiap tahun.

Di samping melanggar ketentuan perundang-undangan, perusahaan juga akan menyebabkan proses penyingkiran masyarakat, hingga terancam kehilangan akses tanah. Masyarakat Pulau Wawonii yang mayoritas sebagai petani terancam kehilangan lahan pertanian, hingga membawa mereka dekat dengan jurang kemiskinan.

Di depan mata, bahkan sedang berlangsung, masyarakat Pulau Wawonii mengalami ancaman ekslusi (Hall, Darek dkk, 2020).

Eksklusi dimaknai dengan dua ciri. Pertama, eksklusi dapat dimaknai sebagai suatu kondisi mengacu pada situasi ketika sejumlah besar orang tak memiliki akses atas tanah atau ketika tanah dikuasai sebagai milik pribadi.

Kedua, eksklusi sebagai suatu proses mengacu pada aksi-aksi berskala besar dan sering kali diiringi dengan kekerasan yang membuat masyarakat terusir dari tanah mereka oleh, atau atas nama, pihak-pihak yang berkuasa (pemerintah).

 

Protes warga Wawonii menyikapi soal RTRW Konawe Kepulauan yang akan memasukkan ruang tambang di Pulau Wawonii. Foto: dokumen warga

 

Eksklusi dibentuk melalui relasi kuasa, baik kuasa pengaturan (regulation), pemaksaan (force), pasar (market) dan legitimasi (legitimacy). Kuasa pengaturan berupa instrumen hukum dan aturan resmi negara yang menyediakan rangkaian aturan terkait akses atas tanah dan syarat penggunaannya.

Pemaksaan berupa penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, baik dilakukan oleh aparat pemerintah (polisi/tentara) maupun pelaku-pelaku non pemerintah (preman, mafia, satpam dan lain-lain).

Pasar merupakan kuasa eksklusi karena membatasi akses atas tanah melalui harga dan penyediaan insentif yang menguntungkan klaim individu atas tanah. Sedangkan legitimasi memapankan basis moral untuk menyatakan klaim secara eksklusif.

Di kasus Pulau Wawonii, kuasa pemaksaan memiliki porsi yang cukup banyak. Proses perampasan yang menyebabkan hilangnya tanah terjadi melalui penggunaan kekerasan oleh masyarakat pro tambang yang dimobilisasi bersama preman bayaran.

Aparat kepolisian dan tentara di lokasi nampak berdiri di posisi perusahaan saat penggusuran lahan terjadi. Polisi dan tentara justru menghalau masyarakat yang protes atas perampasan lahan mereka.

Contoh terbaru dari proses pemaksaan adalah penggusuran lahan masyarakat pada 3 Maret 2022. Penggusuran ini melibatkan masyarakat pro tambang dan preman yang dimobilisasi untuk menghalau upaya masyarakat mempertahankan lahan mereka yang ingin digusur dengan alat berat.

Masyarakat yang berupaya menghalau penggusuran lahan mengalami intimidasi dan kekerasan yang membuat mereka menjadi korban. Termasuk para perempuan pingsan karena tarik dan terinjak saat mencoba menghalau eksavator yang ingin menggusur lahan.

Aparat kepolisian seolah-olah membiarkan masyarakat yang menolak tambang mengalami tindakan kekerasan masyarakat pro tambang.

Kuasa legitimasi juga cukup berpengaruh. Basis legitimasi yang coba dibangun perusahaan tambang adalah kehadiran perusahaan tambang akan menyerap banyak tenaga kerja bagi masyarakat sekitar dan memberi sumbangsih pada pembangunan daerah.

Pemerintah daerah, bertindak dan berbicara bahwa masyarakat menerima tambang dan perusahaan akan memberi dampak positif bagi masyarakat dan daerah.

Hal ini bisa terlihat, secara luas legitimasi dibangun pemerintah dengan obsesi “kehendak untuk memperbaiki, dengan memposisikan diri sebagai ahli yang lebih tahu bagaimana seharusnya rakyat hidup. Juga merasa punya hak dan kewajiban mengerahkan perilaku sesuai keinginan para ahli. (Li, Tania Murray. 2021).

Berselang beberapa hari setelah penggusuran lahan masyarakat, Wakil Bupati Konawe Kepulauan, Wakil Bupati Konawe Kepulauan membuat pernyataan yang beredar di media sosial kalau tak ada konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang dan situasi pasca penggusuran kembali normal.

Dia juga menyampaikan, masyarakat menerima perusahaan tambang demi kemajuan daerah dan masyarakat. Situasi ini berbeda dengan fakta di lapangan, masyarakat sedang berjuang mempertahankan tanah dan tetap menolak perusahaan tambang.

Situasi di Pulau Wawonii juga menunjukkan apa yang disebut Ward Brenscoot (Ward Brenscoot/2021) sebagai penciptaan ketiadaan hak (righlessness). Situasi ini terjadi karena tiga hal.

 

Alat berat mau merobohkan tanaman di kebun warga, untuk bikin jalan tambang perusahaan. Foto: dokumentasi warga Wawonii

 

Pertama, proses perizinan serampangan. Kalau merujuk peraturan perundang-undangan, seharusnya tak boleh terbit izin usaha pertambangan di Pulau Wawonii karena masuk kategori pulau kecil yang tak boleh ditambang. Izin terbit di Pulau Wawonii jadi bukti proses izin serampangan.

Kedua, mengakali persetujuan warga. Kondisi obyektif masyarakat yang potensial terdampak tambang, dari awal menolak kehadiran perusahaan tambang. Tetapi penolakan perusahaan tambang tak serta merta membuat izin tak terbit.

Terakhir, represi atas protes masyarakat. Proses serampangan, terkadang curang dan memaksa untuk mendapatkan persetujuan masyarakat sering memicu konflik. Kriminalisasi terhadap masyarakat Pulau Wawonii yang menolak tambang adalah bukti nyata represi terhadap protes masyarakat.

Lebih lanjut, Ward Brenscoot menyebut, sangat mudah masyarakat kehilangan tanah dan mengalami ketiadaan hak (rightlessness) karena hubungan kolusif informal antara perusahaan dan pemerintah.

Dalam kasus Wawonii, masyarakat nampak berjuang sendiri, tak ada dukungan pemerintahan daerah, mulai dari level terendah seperti kepala desa sampai bupati.

Perjuangan masyarakat Pulau Wawonii atas masa depan pulau mereka masih terus berlangsung. Mereka tak menyerah. Di depan mata, mereka sadar, masa depan pulau mereka terancam kalau tambang mulai mengeruk.

Perjuangan mereka tak mudah, berhadapan dengan struktur pemerintahan negara dari pusat sampai di tingkat desa dan alat-alat negara seperti polisi maupun tentara. Masyarakat Pulau Wawonii juga harus berhadapan dengan korporasi dengan kekuatan modal begitu besar. Yang jauh lebih berat dari itu semua, masyarakat Pulau Wawonii harus berhadapan dengan tetangga, saudara sendiri, paman, ipar, kemanakan, menantu, anak kandung bahkan orang tua kandung yang terhasut untuk menerima tambang.

 

 

 

Pelabuhan bongkar muat yang dibikin PT GKP di Pulau Wawonii, yang mendapat perlawanan warga. Foto: dokumentasi warga

 

Referensi:
Kamaruddin. 2020. Perusahaan Tambang Setop Operasi. Warga Wawonii Sejahtera dengan Berkebun. Mongabay.co.id. 17 Februari 2020. Diakses 20 Mei 2022.
https://www.mongabay.co.id/2020/02/17/perusahaan-tambang-setop-operasi-warga-wawonii-sejahtera-dengan-berkebun

Kamaruddin. 2019. Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan. Mongabay.co.id. 16 April 2019. Diakses 20 Mei 2022.

https://www.mongabay.co.id/2019/04/06/cerita-warga-menanti-wawonii-terbebas-dari-pertambangan

Brianti, Adi. 2022. Tiga Warga Konawe Penolak Tambang Nikel Ditangkap Polisi. Tirto.id. 25 Januari 2022. Diakses 20 Mei 2022.

https://tirto.id/tiga-warga-konawe-penolak-tambang-nikel-ditangkap-polisi-gn8V

Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. (2019). Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Konawe. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe; Konawe.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. (2021). Kabupaten Konawe Kepulauan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe; Konawe.

Hall, Darek, Hirsch, Philip, Li, Tania Murray. (2020). Kuasa Eksklusi, Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Insist Press; Yogyakarta.

Li, Tania Murray. (2021). The Will To Improve, Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Marjin Kiri; Tangerang Selatan.

Wijayanto, Aisyah Putri Budiarti, Herlambang P Wiratraman. (2021). Demokrasi Tanpa Demos, Refleksi 110 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia. LP3ES; Depok.

Peraturan Perundang-undangan

UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

sUndang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Peraturan Daerah Nomor Nomor 09 tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sulawesi Tenggara.

 

*Penulis Ady Anugrah adalah pengacara publik LBH Makassar dan pendamping Hukum Masyarakat Pulau Wawonii. Tulisan ini disarikan dari catatan lapangan selama penulis berada di Pulau Wawonii.

 

Exit mobile version