Mongabay.co.id

Aktor Sindikat Perdagangan Orangutan Sumatera, Pengusutan Setengah Hati?

 

 

 

 

 

Edi  AP, kena vonis Pengadilan Negeri Kota Binjai, Sumatera Utara, delapan bulan denda Rp100 juta, subsider dua bulan penjara karena terbukti bersalah terlibat dalam perdagangan orangutan Sumatera, baru-baru ini.

Orangutan Sumatera sitaan diserahkan kepada Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara untuk lepas liar ke alam. Dalam persidangan terungkap kalau orangutan itu Edi dapatkan dari Thomas.

Dalam dakwaan, nama Thomas juga disebut terlibat dalam kasus ini. Pernyataan terdakwa orangutan Sumatera itu diperoleh dari Thomas disampaikan ketika ditanya majelis hakim.

Hakim Teuku Syarafi sempat mempertanyakan mengapa Thomas yang dalam dakwaan masuk dalam penyidikan kepolisian itu tidak dihadirkan di persidangan untuk perkara Edi.

Ketika memeriksa Edi majelis hakim menyatakan, jaksa mendorong dan mendesak kepolisian bisa menyidik Thomas untuk kemudian dapat dipersidangkan demi menguak kasus perdagangan satwa liar dilindungi jenis orangutan ini.

Edi beli orangutan Rp12 juta dari Thomas. Edi merupakan jaringan perdagangan satwa liar di bawah komando seorang pria bernama B Irawan alias Aju BM. Pria ini sudah menjalani hukuman karena menyelundupkan singa dari luar negeri ke Indonesia. Dia mengendalikan perdagangan satwa liar dari dalam penjara di lembaga pemasyarakatan Pekanbaru, Riau.

 

Baca juga: Bayi Orangutan Sumatera Ini Lepas dari Jerat Perdagangan


Berkas penyidikannya dan berkas penyidikan Thomas terpisah dari Edi. Rencananya, jika transaksi dengan Thomas berhasil orangutan akan dijual kepada warga Malaysia, Zai Rp50 juta.

Penangkapan Edi berdasarkan pengembangan setelah Sonny, Toris dan Doddy diamankan saat menjemput barang pesanan Thomas. Saat ketiganya mencoba memasukkan satu kotak kayu berisi orangutan ke dalam mobil, polisi langsung melakukan penggerebekan.

Forum Investigator Zoo Indonesia mengikuti kasus ini mulai dari penyidikan hingga persidangan. Mereka mendalami sepak terjang Thomas dalam jaringan perdagangan orangutan antar negara.

Andi Sinaga dari Forum Investigator Zoo Indonesia mengatakan, peran Thomas dalam kasus ini cukup penting dan strategis. Dari fakta yang mereka peroleh, ditemukan Thomas DC cukup dikenal luas di pasar gelap perdagangan satwa liar endemik Sumatera khusus orangutan. Dia juga mengenal Irawan dan jaringannya di Asia.

Dari fakta persidangan, Irawan pakai telepon di penjara Pekanbaru, untuk menghubungi Thomas agar mencarikan orangutan karena ada pesanan dari jaringan mereka di Malaysia.

Thomas yang memiliki jaringan mulai dari pemburu hingga pedagang ini menyanggupi. Untuk mengelabui polisi

Thomas menambahkan informasi berantai bahwa orangutan dibawa dengan bus Pelangi dari Aceh ke Kota Binjai. Padahal satwa itu dia bawa sendiri dengan mobil bahkan langsung meletakkan di gerbang pintu masuk dan keluar terminal bus dan terminal kereta api Binjai.

 

Bayi orangutan Sumatra sitaan di Binia. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Forum investigator Zoo Indonesia bahkan mendapatkan video yang direkam oleh Thomas. Di sana memperlihatkan, dia meletakkan barang bukti satu orangutan dalam kotak kayu tertutup rapat. Petunjuk ini juga untuk mempermudahkan Edi mengidentifikasi di mana barang pesanannya.

“Petunjuk video itu, bukti yang harusnya bisa dipakai aparat kepolisian dari Polres Binjai menggulung Thomas, tapi sampai sekarang dia belum diamankan dan masih bebas berkeliaran, ” katanya, Mei lalu.

Dia membeberkan, fakta-fakta yang mereka temukan tentang sosok Thomas ini. Karena merasa tak tercium aparat penegak hukum pria berusia 18 tahun ini terus menjalankan bisnis ilegalnya.

Pada akhir April 2022, Thomas beraksi lagi. Kali ini terhenti karena kepolisian dari tim Cyber Polda Sumut berhasil menangkap pelaku yang akan menjual satu bayi orangutan diperkirakan kepada petugas yang menyamar.

Lagi-lagi pria ini bebas dari penjara. Beberapa waktu setelah sempat ditahan di Polda Sumut dia dilepaskan petugas saat seorang oknum aparat TNI menjemputnya dari kantor polisi. Penahanan Thomas ditangguhkan.

Informasi dari penyidik kepolisian berkas tetap lanjut. Iptu HM Firdaus, Kanit Tipidter Polres Binjai, mengatakan,

pengusutan dan penyidikan terhadap Thomas terus dilakukan. Termasuk mengidentifikasi apakah untuk perkara perdagangan orangutan di wilayah hukum Polres Binjai sama dengan kasus penangkapan Polda Sumut dengan pelaku yang juga bernama Thomas.

“Thomas di kita alamatnya di Aceh. Belum tahu sama atau tidak,” katanya.

 

Bayi orangutan sitaan Polres Binjai dari tangan sindikat perdagangan satwa ilegal. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Nanda Nababan, Wildlife Crime Researcher and Advocate mengulik kasus ini dari sudut hukum. Pria yang banyak membantu aparat penegak hukum dalam pembongkaran perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia ini mengatakan, penegakan hukum dalam kasus ini tak totalitas karena tak mengusut hingga tuntas.

Padahal, katanya, fakta persidangan khusus kasus Edi disebut beli orangutan dari Thomas. Sampai sidang ini putus, pemilik atau penjual orangutan atas nama Thomas tak dihadirkan. Proses penegakan hukum belum maksimal.

Bicara kajian hukum, Jaksa Penuntut Umum yang memegang perkara Edi, mempunyai hak dan kewajiban berkoordinasi dengan penyidik Polres Binjai yang mengungkap kasus ini.

Kalau kemudian orang disebut Thomas adalah yang menjual orangutan kepada Edi, katanya, semestinya jaksa meminta polisi menghadirkan Thomas.

Koordinasi antara JPU dengan penyidik dalam suatu perkara dimungkinkan bukan pelanggaran hukum.

Konsekuensinya, kalau Thomas dengan kasus yang sedang ditangani Polda Sumatera Utara sama dengan yang disidik Polres Binjai, maka dia layak dapat pemberatan hukuman.

Seharusnya, kata Nanda, petugas dapat bekerja lebih profesional mengamankan orang-orang yang disebutkan dalam dakwaan hingga bisa berpengaruh terhadap tuntutan maupun vonis majelis hakim.

Mengenai hukuman subsider atau denda selama ini banyak melukai orang yang fokus kerja di konservasi. Menurut Nanda dalam UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya tak mengatur pedoman pemidanaan bagi hakim. Katanya, tak ada dasar bagi hakim kalau denda Rp100 juta dan subsidar hukuman satu atau dua bulan itu tak ada diatur.

Jadi, hakim juga tak mempunyai dasar menentukan hukuman subsider itu. Pada aturan hukum acara pidana pengganti denda itu maksimal antara 6-8 bulan saja. “Jadi memang itu menjadi patokan bagi majelis hakim untuk menjatuhkan subsida kepada terdakwa dalam kurungan pengganti sebuah perkara.”

Nanda bilang, hal itu jadi pekerjaan rumah bagaimana pedoman pemidanaan pelaku kejahatan satwa liar bisa seperti kasus kejahatan korupsi. Ada penentuan ketika kerugian negara, maka akan digantikan pembayaran denda itu sesuai nominal yang sudah ditetapkan. “Ini [penanganan kasus korupsi] patut dicontoh dalam perkara kejahatan satwa liar agar kemudian tak melukai rasa keadilan bagi orang-orang yang paham tentang konservasi.”

 

 

 

 

*******

Exit mobile version