Mongabay.co.id

Harapan Penyelamatan Mangrove Ditengah Ancaman Tenggelamnya Pesisir Pantura

 

Suatu pagi di akhir Juni, kawasan Pondok Bali, mendadak ramai. Mobil pejabat hingga mobil berlogo BUMN penuh sesak mengisi lapak di ujung pesisir, Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Wasrih (48), warga setempat, berpikir hari itu adalah keberuntungan baginya. Berjalan 300 meter dari rumah, dia menjajakan dagangan berharap bawa pulang uang lebih banyak dari biasanya.

Sekalipun sudah 20 tahun berjualan. Pondok Bali, hanya ramai ketika musim liburan saja. Selebihnya, minim wisatawan, katanya.

Sepintas kawasan pesisir ini memang tampak biasa saja. Hamparan pasir hitam hanya membentang sepanjang 100 meter. Sisanya hanya tanggul pemecah ombak sekaligus pembatas Laut Jawa dengan pemukiman penduduk.

Garis pantai juga tampak mundur akibat abrasi. Buktinya adalah runtuhan tembok yang tenggelam. Warsih pun hafal betul lapak dagangannya dulu berada 200 meter dari bibir pantai.

“Seingat saya setelah tsunami besar 2004 itu, daratan pelan-pelan tenggelam,” ujarnya.

baca : Pantura Jawa Terancam Karam

 

Foto udara wilayah Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Menurut catatan Wanadri, garis pantai di Pantai Utara Jawa tersebut telah mundur 1,5 kilometer dan kini mengancam pemukiman penduduk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Akhir Juni lalu, Warsih ikut melihat acara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan jajaran melakukan penanaman mangrove sekaligus penandatanganan nota kesepahaman Pemprov Jabar terkait rehabilitasi mangrove secara terpadu di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jabar

Ditengah pidato Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, ada warga setempat lainnya yang resah akan tempat tinggalnya. Dari sudut bangku pengunjung, Carwita (63) seperti menyelami data-data yang diungkapkan Gubernur Jabar itu.

“Jika ingin melihat perubahan iklim suruh datang ke pesisir utara Subang. Perubahan daratan menjadi lautan bukan saja sekedar cerita karangan. Di sepanjang pantai utara Jabar, abrasi sudah mengkhawatirkan. Di Bekasi, 400 hektar daratan sudah hilang,” kata Emil.

Carwita mengamini itu. Tambak-tambak yang dulu pernah menjadi salah satu mata pencaharian warga sekaligus batas antara daratan dan lautan sudah tenggelam. Dan kini, pemandangan halaman belakang rumah berukuran 9 x 4 meter miliknya adalah laut lepas.

Kian mundurnya garis pantai, berdampak pada genangan banjir rob. Musim angin barat, misalnya, banjir baru hilang paling cepat 3-7 hari. Ini membuat Carwita dan ribuan warga di pesisir tak tidur tenang.

perlu dibaca :  Kala Rob Pantura Jawa Tengah Makin Parah

 

Gubernur Ridwan Kamil dan jajaran melakukan penanaman mangrove di pesisir Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Pemerintah berencana melakukan rehabilitasi mangrove secara terpadu hingga tahun 2026. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Seminggu sebelumnya, Carwita bersama beberapa warga juga ikut berdiskusi dengan beberapa pihak yang diwadahi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jabar di Bandung. Niatnya adalah agar warga- di ujung pesisir mendapat perhatian.

Diskusi yang diselenggarakan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (Wandari) itu, menjadi jalan bagi Carwita untuk mempertahankan tempat tinggal. “Tahun 2019 saya mulai dilibatkan untuk menanam mangrove bersama Wanadri, sejak itu saya mulai tahu kalau mangrove itu penting,” tuturnya.

 

Mangrove Hilang Abrasi Terbilang

Pantai utara Jawa saat ini ibarat kapal bocor yang menuju karam. Sebagian daratan benar-benar tenggelam oleh banjir rob, seperti terjadi di Subang, Karawang dan Bekasi.

Tahun 2018, Badan Pusat Statistik Jabar merilis laporan sebaran mangrove di 12 kabupaten/kota yakni seluas 34.321,12 hektare. Agaknya, luasan itu tak sebanding dengan keberadaan mangrove. Sebab, menurut Kepala DLH Jabar Prima Mayaningtias, 90 persen kondisinya rusak berat.

Untuk itu, kata Prima, kehadiran para pejabat se-Jabar di pesisir Subang merupakan momentum membangun komitmen konservasi bersama. Bahwa urusan lingkungan melewati batas administrasi.

Khusus pesisir, katanya, Desa Mayangan dan sekitarnya direncanakan bakal dijadikan permodelan restorasi mangrove terintegrasi. Program pengembangan pesisir terpadu akan dimulai dengan mengkonservasi mangrove di lahan 192 hektar. Program berlangsung hingga 2026, dengan target penanaman 10.000 sampai 50.000 bibit mangrove tiap tahun.

Selain menanam dan merawat mangrove, pemerintah bersama sejumlah pihak bakal merancang kawasan tersebut menjadi tempat edukasi, budidaya, hingga wisata. Sejumlah inisiatif itu barangkali harus, untuk memitigasi dampak nyata perubahan iklim.

baca juga : Begini Kondisi Mangrove Pantura Jabar..

 

Foto udara wilayah Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Menurut catatan Wanadri, garis pantai di Pantai Utara Jawa tersebut telah mundur 1,5 kilometer dan kini mengancam pemukiman penduduk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ketua Divisi Lingkungan Yayasan Wanadri, Feby Nugraha, menjelaskan, pemilihan pesisir Subang sebagai role model berkaitan dengan keberadaan data. Sejak 2008, Wanadri setidaknya menghitung garis pantai yang mundur hingga 1,5 kilometer.

“Kami memetakan wilayah mangrove sepanjang garis pantai selama kurang lebih 14 tahun. Hasilnya, selain garis pantai, ada sekitar 7.000 hektar dalam kondisi rusak dan butuh direhabilitasi,” ujar Feby. Mayangan sendiri merupakan tempat kaderisasi anggota Wanadri, “Dan kampanye mangrove sebetulnya sudah lama sekali kami lakukan. Kami baru fokus di 11 hektar saja, dan ternyata memang sulit jika dilakukan sendirian.”

Data-data yang dimiliki Wandari membikin dahi mengkerut. Bayangkan saja, hitung-hitungan hilangnya daratan jika dikonversi dengan lapangan sepak bola atau dirupiahkan, berapa kerugian yang ditimbulkan? Febi bilang, jika upaya konservasi tidak segera diupayakan. Bukan tidak mungkin 4,479 penduduk pesisir Subang akan kehilangan rumah.

Selain itu, tumpang tindihnya pengelolaan serta pemanfaatan hutan mangrove dinilai menjadi penyebab utama gagalnya sejumlah proyek rehabilitasi. Setidaknya Wakil Divisi Regional Perhutani Jabar, Dadut Sujanto, membenarkan hal itu.

Menurut dia, setelah penanaman, pihak-pihak yang berwenang seolah membiarkan tanaman tumbuh sendiri. Akibatnya, perkembangan tanaman serta kondisinya tidak terkontrol. Mayoritas tanaman mati karena tergerus gelombang laut dan tidak tahan terhadap cuaca.

Dadut berharap kesepahaman antar pemangku kepentingan setidaknya mampu menjembatani kewenangan. “Selama ini sejumlah proyek penanaman mangrove tidak berhasil karena tanaman mati sebelum tumbuh besar. Pengawasan serta pengelolaannya pun acapkali masih tumpang tindih,” ujarnya.

Meski memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, ekosistem mangrove menjadi korban pembangunan ekonomi yang tak berkelanjutan. Perlindungan mangrove yang tersisa serta rehabilitasi ekosistem yang rusak menjadi pekerjaan rumah yang belum ditangani.

baca juga : Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

 

Foto udara wilayah Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Menurut catatan Wanadri, garis pantai di Pantai Utara Jawa tersebut telah mundur 1,5 kilometer dan kini mengancam pemukiman penduduk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di ujung pesisir Karawang, Ketua Kelompok Nelayan Wanasuki, merasakan betul dampak ekonomi ketika mangrove hilang. Tangkapan ikan berkurang dan melaut menjadi lebih jauh dari biasanya. Alhasil, ongkos yang dikeluar makin besar.

Kawasan mangrove di ujung utara Karawang memang tergolong terparah. Awalnya, mangrove ditebang untuk kebutuhan tambak. Pada 1980-1990an merupakan periode emas. Tak heran jika wilayah pesisir dulu banyak dijuliki “Kota Dollar” karena niaga perikanannya.

Membuka hutan dengan menebangi bakau untuk memaksimalkan lahan tambak. Dampak penebangan itu menuai petaka. menurunnya jumlah vegetasi dan jenis ikan yang hidup di daerah itu. Dampak lainnya yakni kian cepatnya abrasi dan intrusi air laut.

Perhatian terhadap mangrove, katanya, sudah sejak lama. Tahun 2016, Pemkab Karawang melakukan penanaman, namun sejauh ini susah tumbuh. Gelombang tinggi dan hilangnya kawasan lumpur yang menjadi tempat tumbuh mangrove menjadi penghambatnya.

“Sekarang sudah ada 3 dusun terluar yang sudah ditinggalkan penduduknya,” imbuh Wanasuki kepada Mongabay-Indonesia.

 

Butuh Upaya Radikal

Menurut Peneliti Mangrove Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yaya Ihya Ulumuddin, pemulihan idealnya disesuaikan dengan habitat alami. Sebab, mangrove tergolong tumbuhan terestrial. Efektifnya butuh waktu 3-5 tahun agar mangrove cukup kuat menahan abrasi.

“Mangrove akan menyebar dengan sendirinya selagi lingkungannya masih ideal. Pembibitan mangrove bagusnya mengambil bibit yang sudah tumbuh di sekitar mangrove. Maka penting melindungi mangrove tersisa di suatu wilayah,” kata Yaya dihubungi via telepon.

perlu dibaca :  Abrasi di Jawa Tengah Capai 7.957 Hektar

 

Anggota Wanadri melakukan penanaman mangrove di di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022). Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejak mendalami mangrove tahun 2008, ia menyarankan pola rehabilitasi ekosistem mangrove dilakukan tidak hanya dibagian depan, “Karena ekosistem mangrove terdiri dari bagian depan, tengah dan belakang. Setiap karakteristik lahan punya kriteria tumbuhannya sendiri.”

Gencarnya kampanye peduli pemanasan global, kian menabalkan sebuah kenyataan, manusia tengah menghadapi ancaman bahaya alam yang sedikit banyak merupakan ulah manusia sendiri.

Heri Andreas, ahli geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), berpendapat, ancaman tenggelamnya pesisir tak hanya disebabkan peningkatan ketinggian air laut saja, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor laju penurunan muka air tanah atau land subsidence yang terlalu cepat.

“Ini bukan bencana alam atau natural disaster, tapi memang disebabkan ulah manusia juga,” katanya diwawancarai di Bandung.

Hampir di semua pesisir dataran rendah di Jawa itu berpotensi terjadi penurunan tanah. Celakanya, kenaikan suhu global berimbas pada mencairnya daratan es di kutub utara dan selatan, dan mendorong kenaikan permukaan air laut.

Heri bilang, ancaman tenggelamnya pesisir sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Berdasarkan analisis data sejarahnya, banjir rob belum terjadi di pantai utara Jawa, pada 1980-an, 1990-an, atau bahkan awal tahun 2000-an. Padahal, fenomena pasang surut, termasuk kondisi perigi, telah ada sejak dulu.

baca juga : Ridwan dan Cerita di Balik Rimbun Mangrove Pantura di Ambulu

 

Foto udara kondisi mangrove di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Peneliti geodesi tersebut memperkitakan, kenaikan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 – 8 mm per tahun. Sementara, estimasi penurunan permukaan tanah diperkirakan lebih drastis, berkisar antara 1-10 cm, bahkan, ada penurunan yang mencapai 15-20 cm per tahun.

Dampak nyata dari pemanasan global dan perubahan iklim sering kali disampaikan secara ringkas: kenaikan muka air laut, pola cuaca yang tak lagi teratur akibat perubahan pola iklim, dan mencairnya es di kutub. Padahal, pada hakikatnya, dampak perubahan iklim dan pemanasan global jauh lebih luas dari apa yang pernah diketahui.

Kombinasi kehancuran ekologi dan kesenjangan sosial telah memicu ketidakadilan ganda. Mereka yang paling miskin harus menanggung dampak kehancuran lingkungan terbesar.

 

Exit mobile version