Mongabay.co.id

Berawal Kecil, Perikanan Tradisional Terus Membesar

 

Walau mendapat kritikan dari banyak pihak, Pemerintah Indonesia terus mendorong agar kelompok perikanan skala kecil bisa terus mengembangkan dirinya di masa sekarang dan akan datang. Upaya tersebut, salah satunya dengan diberikan akses untuk memperluas pasar ekspor.

Namun, agar perluasan pasar bisa diakses oleh perikanan skala kecil, diperlukan upaya penguatan sistem sertifikasi dan ketertelusuran (traceability) dalam semua produk perikanan dan kelautan yang akan dikirim untuk pasar ekspor.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ridwan Mulyana saat menghadiri pertemuan Konferensi Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOC) 2022 di Lisboa, Portugal, dua pekan lalu.

Menurut dia, program ketertelusuran yang bisa dilengkapi oleh kelompok perikanan skala kecil mencakup Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (SHTI), Catch Document Scheme (CDS), Marine Stewardships Council (MSC), dan Sistem Ketertelusuran dan Logistik Ikan Nasional (STELINA).

Dengan mengikuti program ketertelusuran, maka kelompok perikanan skala kecil diharuskan melaksanakan proses produksi perikanan yang bertanggung jawab. Di antaranya, adalah dengan menerapkan kaidah berkelanjutan dan tidak mengadopsi perikanan ilegal, tak terlaporkan, dan menyalahi aturan (IUU Fishing).

Penerapan kaidah-kaidah yang bisa mendorong terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab, juga akan sangat bagus untuk pengembangan kelompok secara keseluruhan. Bukan hanya akan memberikan kemudahan akses untuk perluasan pasar ekspor saja.

baca : Tren Gaya Hidup Dunia dan Perikanan Berkelanjutan

 

Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana (duduk 2 dari kiri) dalam side event UNOC di Lisbon, Portugal 2022. Foto : KKP

 

Salah satu sistem yang akan mendukung kaidah bertanggung jawab yang diterapkan kelompok perikanan skala kecil, adalah penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur dengan basis kuota. Kebijakan tersebut juga diklaim akan mendorong nelayan untuk terus tumbuh dan berkembang.

“Penangkapan ikan terukur berbasis kuota hadir untuk memastikan bahwa kegiatan penangkapan ikan tidak mengarah pada kondisi lebih-tangkap atau overfishing,” ucap dia.

Ridwan Mulyana kemudian menegaskan bahwa nelayan lokal akan mendapatkan prioritas dari Pemerintah untuk mendapatkan kuota tangkapan. Jika seluruh nelayan lokal sudah mendapatkannya, dia mengklaim kuota sisa akan dibagikan kepada industri dan non komersial.

Selain itu, penyederhanaan proses bisnis perikanan juga dilakukan, termasuk kemudahan perizinan. Khususnya bagi usaha skala kecil menengah, di mana untuk nelayan kecil tidak perlu memiliki izin dan hanya terdaftar saja agar tetap terpantau.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menambahkan, penyediaan akses yang mudah bagi kelompok perikanan skala kecil sudah menjadi tugas dari Pemerintah. Akses tersebut harus bisa dijangkau tanpa kesulitan, salah satunya untuk perluasan pasar ekspor.

Dia menyebut, akses yang diberikan kemudahan untuk kelompok perikanan skala kecil bukan hanya sumber daya ikan saja, namun harus mencakup keseluruhan. Dengan cara itu, diharapkan kemajuan dan kemandirian bisa digapai oleh kelompok tersebut, cepat ataupun lambat.

“Nelayan kecil terus kita utamakan, karena selain menopang ketahanan pangan, perikanan skala kecil menjadi penggerak perekonomian bangsa,” katanya.

baca juga :  Perikanan Skala Kecil dan Peran Tak Terbatas di Pesisir

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok, Maumere, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Bentuk dukungan lain yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada nelayan juga ditunjukkan saat KKP hadir sebagai salah satu wakil Indonesia pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri ke-12 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Swiss, bulan lalu.

Pada momen tersebut, perjuangan untuk keadilan nelayan dan keberlanjutan stok sumber ikan secara global sudah disuarakan Indonesia. Perjuangan tersebut dilakukan, karena pembahasan yang adalah tentang penghapusan subsidi perikanan bagi perikanan yang terlibat dalam IUUF.

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengatakan, pertemuan tersebut menjadi target bagi Indonesia untuk memperjuangkan perikanan yang berkelanjutan sebelum subsidi perikanan disahkan dan kemudian diterapkan di seluruh dunia.

Dia menuturkan, perjanjian tersebut merupakan hasil dari proses negosiasi panjang yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bersama dengan negara-negara anggota WTO sejak 2001. Setiap perundingan dilakukan, perjuangan agar nelayan kecil bisa tetap mendapat subsidi dari Negara terus dilakukan.

“Melalui perundingan ini negara menunjukkan kehadirannya dalam melindungi nelayan. Kami memperjuangkan agar nelayan kecil masih diperbolehkan memperoleh subsidi,” ungkap dia.

 baca juga : Hidup Nelayan Skala Kecil terancam Pencabutan Subsidi WTO

 

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar (kiri) memperjuangkan keadilan bagi nelayan dan keberlanjutan stok sumber ikan global pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 World Trade Organization (WTO) yang dilaksanakan pada 12-16 Juni 2022 di Jenewa, Swiss. Foto : KKP

 

Selain berjuang agar penghapusan subsidi perikanan tidak berlaku untuk kelompok perikanan skala kecil, Indonesia mendukung penerapan implementasi pengelolaan perikanan berkelanjutan dan efektif, serta penghentian subsidi oleh negara besar untuk kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yurisdiksi.

Indonesia berharap, perjanjian subsidi perikanan WTO bisa menjadi platform yang dapat diimplementasikan secara efektif, adil, dan seimbang oleh semua negara. Hal tersebut merujuk pada mandat perundingan WTO yang sudah ada.

“Agar masing-masing negara anggota memiliki peran dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya dalam pemberian subsidi perikanan,” jelas Antam Novambar.

Diketahui, tingkat efektivitas, keadilan, dan keseimbangan ini selalu menjadi titik perdebatan dalam perundingan subsidi perikanan, terutama antara kelompok negara maju dan negara berkembang, serta negara kurang berkembang.

Dia menyebut, fokus dari pertemuan pada KTM WTO ke-12 lalu memang fokusnya untuk mencapai kesepakatan atas isu IUUF and overfished stock. Sementara pada KTM ke-13 yang direncanakan akan dilaksanakan pada 2023 akan dibahas tentang isu lain seperti overcapacity and overfishing.

Selain di level dunia, perjuangan untuk menerapkan kebijakan perikanan yang berkelenjutan, juga diilakukan di level Asia Tenggara. Perjuangan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendorong terciptanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan ekologi.

Menurut Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP I Nyoman Radiarta, kepentingan ekonomi perlu dijaga terus, karena bisa membantu terwujudnya ketahanan pangan secara nasional.

Sementara, kepentingan ekologi juga tak boleh diabaikan, karena itu bisa menjaga sumber daya ikan bisa tetap ada dan lestari. Selain itu, ekologi juga bisa memastikan ekosistem pesisir dan laut bisa terus baik, meski pemanfaatan di dalamnya terus berlangsung tanpa henti.

baca juga : Ada Aksi Korporasi dalam Regulasi Kelautan dan Perikanan

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dengan menyeimbangkan dua kepentingan tersebut, maka pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sudah berjalan dengan prinsip berkelanjutan. Hal tersebut diharapkan bisa berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di pesisir.

Kampanye untuk menerapkan prinsip perikanan berkelanjutan tersebut sudah dikampanyekan Indonesia melalui forum Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) belum lama ini. Pada forum tersebut, ada lima poin yang disampaikan Indonesia untuk mendukung keberlanjutan.

“Pengelolaan perikanan di kawasan Asia Tenggara yang berorientasi kepada keberlanjutan sumber daya dan pemulihan sosial ekonomi masyarakat pesisir,” jelas dia.

Melalui forum tersebut, ada lima program strategis yang disepakati untuk dilaksanakan pada 2022-2023. Pertama, adalah pemberantasan IUUF, yang mencakup Regional Fishing Vessels Record (RFVR), Electronic ASEAN Catch Documentation Scheme (E-ACDS), dan Port State Measure (PSM).

Kedua, promosi perikanan berkelanjutan di kawasan ASEAN. Salah satunya melalui Regional Plan of Action on Sustainable Utilization of Neritic Tunas in the ASEAN Region (RPOA-Neritic Tunas) atau Rencana Aksi Regional tentang Pemanfaatan Tuna Neritik Berkelanjutan di Kawasan ASEAN.

Ketiga, Ensuring Food Safety and Quality of Fish and Fishery Products atau memastikan keamanan pangan dan kualitas ikan dan produk perikanan.

Keempat, mengenai isu-isu dalam perdagangan dunia seperti yang terkait dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah.

“Indonesia memperhatikan informasi dan update dari SEAFDEC tentang kegiatan-kegiatan terkait CITES,” terang dia.

Tentang CITES, I Nyoman Radiarta mengatakan kalau Indonesia juga sudah menjaga dan memastikan keberadaan dan ketersediaan Hiu Paus dan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu Paus 2021-2025.

Bahkan, dia menambahkan kalau sudah sejak 2014 Indonesia menetapkan status Pari Manta sebagai ikan yang mendapatkan status perlindungan penuh untuk seluruh siklus hidup dan atau bagian tubuhnya.

menarik dibaca : Perburuan atau Pariwisata? Pilihan Pengelolaan Ikan Pari Manta di Laut Sawu

 

Seekor ikan pari manta (Manta birostris) yang berada di perairan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto : Herry Jeremias

 

Program prioritas terakhir yang menjadi agenda utama dua tahun mendatang, adalah isu-isu lain seperti studi mengenai dampak COVID-19 pada sektor perikanan. Menurut dia, Indonesia telah mengikuti serangkaian pelatihan tingkat regional tetang studi dampak dari COVID-19 pada sektor perikanan.

I Nyoman Radiarta mengungkapkan, sikap Indonesia yang terus mendorong penerapan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, menjadi bagian dari perjuangan yang sudah berjalan selama beberapa tahun ini.

Penerapan prinsip berkelanjutan, juga akan selaras dengan implementasi ekonomi biru yang sat ini sedang menjadi kebijakan dunia. Penerapan ekonomi biru menjadi acuan utama dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dapat terus berkelanjutan.

Dia mengakui kalau saat ini tengah disusun skenario penerapan ekonomi biru secara holistik untuk mendukung kebijakan pemulihan kesehatan laut dan sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Skenario tersebut meliputi ekosistem laut sehat dan berkelanjutan, penangkapan ikan sesuai dengan potensi lestarinya yakni terukur berbasis kuota, budi daya ikan ramah lingkungan dan efisien, pengawasan integratif, dan sebagainya.

 

Exit mobile version