Mongabay.co.id

Menanti Tindakan Pemerintah Kala Limbah Batubara Cemari Pulau Bunyu

 

 

 

 

Sungai dan pesisir Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, terus alami pencemaran dari limbah operasi perusahaan tambang batubara. Warga pun melaporkan dugaan pencemaran sungai dan pesisir ini ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara, medio Juni lalu. “Sudah diantar ke Kantor DLH kabupaten, sudah ada bukti foto saat menyerahkan surat,” Haryono, warga Bunyu, kepada Mongabay Juni lalu.

Sebelumnya, awal 8 Mei warga juga menyampaikan laporan serupa meskipun melalui pesan WhatsApp. “Kalau yang saya laporkan cuman satu sungai, karena yang satu sungai itu saya nda sempat ambil foto dan dokumentasi. Sebenarnya, ada tiga sungai dan yang dikirim ke kabupaten hanya Sungai Barat,” katanya.

Sungai dan pesisir parah terkena limbah. Ada tiga sungai saling berdekatan. Sungai Barat, yang pertama dicemari, meluas ke Sungai Siput dan Sungai Lumpur.

Sungai Lumpur, katanya, berdekatan dengan Sungai Barat. Di sana, ada pemukiman sekitar satu atau dua kilometer dari Sungai Barat.

Awalnya kelompok nelayan melihat kondisi mangrove di kawasan itu, ternyata limbah sudah meluas hingga ke bantaran Sungai Lumpur. Warga menduga limbah batubara ini di antara perusahaan-perusahaan yang ada di Pulau Bunyu.

Dulu, kata Haryono, masyarakat yang bermukim di dekat Sungai Lumpur mengandalkan air sungai untuk mandi, mencuci baju dan siram tanaman. Kini, air Sungai Lumpur tak bisa lagi digunakan. Sungai dan pemukiman warga berada di lahan paling rendah hingga limbah mudah masuk. “Di sana ada juga tambak ikan, tambak udang dan perkebunan. Ada pisang, buah-buahan ada sayuran. Ada 60 rumah di sekitarnya,“ kata Haryono.

Warga juga sudah menyampaikan ke perusahaan tambang batubara perihal pencemaran ini. Mereka menyampaikan sebaiknya perusahaan membangun tembok atau tanggul setinggi mungkin agar limbah di areal perusahaan saja.

“Alirannya itu dari perusahaan ke masyarakat, kami minta ditutup. Kami minta tembok setinggi-tingginya supaya tak mengalir ke lahan masyarakat.”

Selama limbah dari perusahaan mengalir ke luar, maka pencemaran akan terus terjadi.

Sungai di kawasan hulu, katanya, tak dalam bahkan cenderung kecil seperti parit karena terjadi pendangkalan oleh limbah pertambangan. “Hulu sungai itu sudah hilang. Sekarang sudah rata. Maka air mengalir, melebar ke mana-mana.”

Dia minta, DLH tindaklanjuti laporan warga, misal, ambil sampel di tempat diduga tercemar dengan melibatkan warga. Hal ini, katanya, guna memastikan tempat ambil sampel di lokasi diduga tercemar.

 

Baca juga: Kala Perairan Pulau Bunyu Tercemar Limbah Tambang Batubara

Hulu ke hilir tercemar. Sungai di hulu Pulau Bunyu mengkecil dan air keruh serta terjadi pendangkalan dampak operasi pertambangan batubara. Foto: Haryono

 

Krisis air bersih

Kala perairan tercemar, berdampak juga pada krisis air bersih. Warga, kata Haryono, andalkan PDAM untuk keperluan sehari-hari tetapi tak bisa buat air minum dan memasak. Untuk kebutuhan air minum warga andalkan air hujan. “Ada yang pakai sumur bor untuk air minum, kalau kami minum air hujan. PDAM itu tak bisa dikonsumsi.”

Warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air tandon isi 120 liter sekitar Rp60.000-Rp70.000. “Lebih sering langka air minum, apalagi kalau kemarau sebulan saja pasti krisis air.”

Indah Sriwati, Kepala Bidang Penataan dan perlindungan (PPLH) DLH Bulungan, mengatakan, informasi soal pencemaran limbah dari perusahaan tambang batubara, tak menyebutkan titik dugaan pencemaran di Sungai Barat dan Sungai Siput. Jadi, mereka belum melakukan verifikasi dan pengambilan sampel air di dua sungai itu.

Meskipun demikian, Indah berjanji kembali melakukan pengambilan sampel. “Insya Allah segera kami verifikasi lagi untuk pengambilan sampel di Sungai Siput dan Sungai Barat.”

Dia bilang, dinas sudah turun lapang terkait dugaan pencemaran limbah batubara perusahaan, PT Lamindo Multikon. Menurut dia, mereka tidak melakukan verifikasi di wilayah pesisir laut karena berada pada kewenangan wilayah provinsi.

“Terkait dengan tambang batubara Lamindo?. Kalau itu kita sudah verifikasi lapangan. Pengambilan sampel dan menunggu hasil lab. Tapi tidak sampai daerah pesisir karena kewenangan,” tulis Indah melalui pesan WhatsAapnya, Mei lalu.

Sebelumnya, April lalu, warga juga keluhkan masalah pencemaran di Sungai Siput Pantai Barat dan laut Pulau Bunyu, Lamindo mulai pindah dari eksploitasi bagian sisi timur ke bagian barat.

Natan, Humas PT Lamindo, belum merespon Mongabay ketika ingin menanyakan soal pencemaran yang dilaporkan warga ke DLH.

 

 

Harusnya Pulau Bunyu dilindungi

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan, pulau kecil seperti Bunyu seharusnya dilindungi dan tidak boleh ada pertambangan skala besar sesuai amanat UU Pesisir dan Pulau Kecil.

Muhammad Jamil, Ketua Divisi Hukum Jatam Nasional, mengatakan, Bunyu, salah satu pulau kecil. Pulau ini memiliki keterbatasan cadangan air tawar. Begitu juga dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serba terbatas. Kalau ada ekspolitasi skala besar, seperti pertambangan batubara maka akan membahayakan lingkungan hidup pulau itu.

Dia juga menyoroti peraturan daerah soal zonasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Kalimantan Utara. Aturan itu mestinya tunduk pada UU Pesisir dan Pulau Kecil. “Seharusnya tidak ada alokasi ruang tambang di Pulau Bunyu, termasuk pelabuhan. Karena pelabuhan dan pengangkutan pasti lewat laut.”

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepolisian, kata Jamil, seharusnya punya tanggungjawab menegakkan aturan.

Dia menggarisbawahi, kalau sampai terjadi pencemaran lingkungan sungai dan pesisir hingga warga mengeluh, katanya, berarti ada pihak yang tak bekerja.

 

Tambang mengeruk batubara di pulau kecil, Bunyu, Kalimantan Utara. Foto: Jatam

 

Laporan Jatam “Pulau kecil Indonesia, tanah air tambang 2019” menyebutkan, kerusakan di pulau-pulau kecil melalui pertambangan tak hanya menyasar seperti perairan atau dimensi ekologis, juga kerusakan berdimensi manusia.

“Pertambangan di pulau-pulau kecil Indonesia sarat dengan pelanggaran HAM baik berbasis ekonomi sosial budaya maupun sipil dan politik,” sebut laporan ini.

Laporan juga menyebutkan, pelanggaran HAM ekosob di pulau-pulau kecil ditandai perampasan sumbersumber air warga, baik sungai maupun air tanah.

Krisis air bersih, katanya, jadi satu persoalan utama yang dihadapi pulau yang berpenduduk sekitar 11.000 jiwa dengan luas 198.32 km persegi ini. Di sebelah barat, pulau diganggu limpasan limbah dan pencemaran tambang batubara, di bagian selatan tercemar Pertamina.

Laporan Jatam menyebutkan, sumber air PDAM juga tak maksimal karena cadangan air terbatas. “ Di Bunyu Selatan, ada sumber air PDAM di dekat Dewaruci dan Wono Indah. Di hulu terdapat aktivitas Pertamina yang limbah kadang mengalir masuk di tempat-tempat penampungan air,” sebut laporan Jatam.

Di pulau yang bertetangga dengan Pulau Tarakan ini ada enam perusahaan yang pernah terbit izin. Saat ini, tiga perusahaan tambang batubara berstatus operasi produksi, yakni PT Garda Tujuh Buana (728 hektar), PT Lamindo Multikon (2.413 hektar) dan PT Saka Putra Perkasa (710 hektar).

Di Pulau Bunyu, kata Haryono, ada 23 sungai mengalir di tubuh Pulau, tersisa empat yang masih selamat. Yang lain, sudah tercemar limbah batubara. “Sungai tersisa itu harapan warga untuk bisa diselamatkan,” katanya.

 

Tambang batubara di Pulau Bunyu. Foto: Haryono

*********

 

Exit mobile version