- Sungai Siput dan Sungai Barat di Pulau Bunyu, Kalimantan Utara, keruh dan berlumpur. Masyarakat menduga pencemaran air itu dampak dari limbah perusahaan tambang batubara. Pencemaran air sampai ke laut.
- Luas Pulau Bunyu 198.32 km persegi dengan penduduk sekitar 11.000 jiwa. Jarak tambang batubara ke pantai sekitar satu kilometer. Aktivitas nelayan mulai terganggu dengan limbah tambang ini sejak ada perusahaan tambang batubara di pulau ini. Ikan di sungai maupun biota laut mulai hilang. Nelayan kelabakan.
- Warga bingung mau mengadu ke mana menghadapi masalah pencemaran perairan ini. Sebelumnya, pernah ada komplain petani rumput laut saat tanaman budidaya mereka tersapu limbah batubara. Namun tak ada penyelesaian sampai sekarang. Warga juga pernah protes juga soal lahan dan pencemaran ini ke perusahaan.
- Para nelayan Bunyu pindah dari perairan dekat muara Sungai Siput dan Barat ke perairan lebih jauh yakni Sungai Kelong dan Kapah. Kedua sungai itu, memang belum terganggu aktivitas tambang batubara. Namun, warga khawatir, lambat laun, Sungai Kelong dan Kapah, bisa alami nasib serupa dengan Sungai Siput dan Sungai Barat.
Pantai indah berpasir putih di Pulau Bunyu berubah jadi pantai lumpur. Limbah tambang batubara masuk ke Sungai Siput dan Sungai Barat lalu mengalir ke laut. Kondisi kedua sungai di ujung Utara Kalimantan ini keruh dan berlumpur.
Sungai Siput merupakan sumber air bersih warga Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan. “Airnya bisa langsung diminum seperti aqua. Sekarang sudah tidak bisa,” kata Haryono, warga juga nelayan Bunyu, April lalu.
Nelayan pun mengeluhkan pembuangan limbah perusahaan tambang batubara yang terus berulang. Haryono bersama Penyuluh Perikanan mengecek kondisi Sungai Siput 27 Maret lalu.
Mereka menyaksikan sungai berubah berwarna keruh dan berbau lumpur. Di tepian sungai terlihat limpahan batubara menghitam.
Haryono mengatakan, pembuangan limbah lumpur melalui Sungai Siput ini sudah berlangsung sekitar enam bulan. Dampaknya, pun tak hanya air sungai tercemar, juga pantai dan laut.
“Mungkin karena limbahnya luar biasa. Pantai kami bukan pantai pasir lagi. Lumpur dari darat. Sungai penuh cairan lumpur.”
Pencemaran di Sungai Siput Pantai Barat dan laut Pulau Bunyu, katanya, sejak PT Lamindo Multikon mulai pindah dari eksploitasi bagian sisi timur ke bagian barat.
Sepanjang Sungai Barat terjadi pencemaran, dari hulu hingga hilir. Saking parahnya pencemaran, tanaman atau pohon-pohon terdampak pun mati.
“Begitu kami cek di atas, kayu-kayu besar, kayu hutan pada mati, daun pandan, pohon gaharu kami sudah pada mati,” katanya. Padahal, pohon gaharu mereka baru sekali panen.
Mustafa, Ketua Kelompok Nelayan Sempadau, juga mengeluhkan hal serupa. Pembuangan limbah, seolah tak ada jedanya. Limbah lumpur ini, katanya, sangat merugikan nelayan. Nelayan tangkap pun, kehilangan umpan yang biasa mereka pakai seperti mumpun dan cacing untuk memancing ikan.
“Dari batubara itu lumpur menggenang dari hutan langsung tembus ke perairan pinggir pantai Sungai Siput,” katanya.
Sungai Barat, kata Mustafa, semua sudah tertutup lumpur. “Sekarang Sungai Barat itu bukan sungai lagi, jadi lumpur sudah semua. Kehidupan di sungai itu sudah tidak ada.”
Pencemaran limbah, katanya, bisa terlihat sepanjang Sungai Siput sampai Sungai Barat.
Ikan di kedua sungai ini pun sudah sulit ditemukan. “Ikan merah, semilang, kakap putih sekarang tidak ada di situ. Sungai penuh dengan lumpur warna cokelat bagaikan air teh dicampur susu.”
Biota laut pun mulai hilang. Kerang kepah yang biasa memenuhi pantai kini tak terlihat lagi. “Mencari kerang kapah sudah pada matian di sana tertutup limbah lumpur.”
Luas Pulau Bunyu 198.32 km persegi dengan penduduk sekitar 11.000 jiwa. Jarak tambang batubara ke pantai sekitar satu kilometer.
Aktivitas masyarakat nelayan mulai terganggu dengan limbah tambang ini sejak ada perusahaan tambang batubara di pulau yang bertetangga dengan Tarakan ini.
Nelayan, kata Mustafa, biasa merengge (jaring) di Sungai Pantai Barat dan Siput saat air pasang. Saat air surut nelayan tangkap kembali melaut.
Dulu, sebelum ada tambang, dari Sungai Siput ke Barat sampai Sungai Kelong, merupakan tempat ikan belanak utara. Sekarang, tak ada lagi belanak di perairan itu.
Musim utara membawa belanak utara berkeliaran di perairan barat jadi berkah bagi nelayan. Mereka pasang rengge. “Musim angin utara [ikan] pada datang semua.”
Kini, kata Mustafa, merengge belanak utara sudah tak ada. “Entah ke mana [belanak], berarti sudah terganggu dengan pencemaran limbah.”
Nelayan juga biasa tangkap balau, gulama, selat, dan ote. “Kalau tidak terganggu dengan limbah itu, jika musim utara bisa dapat ikan 20-24 kg sehari. Sekarang, tidak ada sama sekali.”
Pulau Bunyu juga ada ikan kurau, dikenal dengan ikan paling mahal, kini sudah tak terlihat lagi.
Mustafa bersama para nelayan Bunyu lain pindah dari perairan dekat Muara Sungai Siput dan Barat ke perairan lebih jauh.
“Kita tidak mengharap di situ lagi, paling kita pindah ke Sungai Kelong dan Sungai Kapah.”
Kedua sungai itu, memang belum terganggu aktivitas tambang batubara, tetapi dia khawatir, lambat laun, Kelong dan Kapah, bisa alami nasib serupa dengan Siput dan Sungai Barat.
“Habis nanti ini Pulau Bunyu. Pokoknya, apabila sudah batubara mengelola, limbah turun ke laut semua. Pulau Bunyu ini kecil.”
Tak hanya ikan menghilang, buaya yang mendiami sungai juga keluar ke laut, antara lain untuk mencari makanan.
“Kalau orang merengge malam, buaya itu ikut mencari ikan yang kita rengge. Kadang-kadang buaya mati terbelit rengge.”
Nelayan bingung mau mengadu ke mana dengan persoalan yang mereka hadapi ini. “Kami itu dongkol dan kesal cuman mengadu dengan siapa?” tanyanya.
Mustafa bilang, di Pulau Bunyu tidak ada tempat melapor kalau ada persoalan seperti limbah ini.
Sebelumnya, pernah ada komplain petani rumput laut ke Tanjung Selor saat tanaman budidaya mereka tersapu limbah batubara. Namun tak ada penyelesaian sampai sekarang.
Warga terdampak sudah pernah protes juga soal lahan dan pencemaran ini ke perusahaan. Haryono mengatakan, pencemaran ini sudah pernah ada mediasi dari pemerintah kecamatan. Sebenarnya, kata Haryono, perusahaan bersama musyawarah pimpinan kecamatan di Pulau Bunyu pernah melakukan pengukuran terdampak limbah.
”Perusahan ada empat departemen, ada safety, security, humas dan tim survei. Dibantu dengan muspika di Bunyu. Ada Koramil, pemerintah kecamatan dan Kepala Desa Bunyu Barat.
Hasilnya, ada 27 hektar lahan di hulu sungai terdampak limbah. Itu baru lahan tiga kelompok. Sayangnya, tak ada penanganan lebih lanjut. “Akhirnya, ya begitu saja.”
Natan, Humas PT Lamindo Multikon menyebut, persoalan pencemaran sungai sudah mereka selesaikan. “Dulu, pencemaran itu karena settlin pond kita jebol dan telah diperbaiki. Tuntuan mereka sudah dipenuhi. Sudah selesai. Ada perjanjian kita sama mereka. Tuntutan dari warga sudah selesai,” katanya singkat 21 April lalu.
Hamsi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Utara mengaku belum mendapat laporan tentang pencemaran di Sungai Siput dan Barat di Pulau Bunyu. “Belum ada masuk laporannya,” katanya.
Dia meminta masyarakat terdampak membuat laporan atau pengaduan pencemaran ini. “Tolong dibuat aja laporan pengaduan, biar kita proses.”
Eksploitasi pulau kecil
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, ada enam izin perusahaan tambang batubara yang pernah terbit di Pulau Bunyu ini. Saat ini, ada tiga perusahaan tambang batubara beroperasi yakni PT Garda Tujuh Buana (728 hektar) , PT Lamindo Multikon (2.413 hektar) dan PT Saka Putra Perkasa (710 hektar).
Seny Sebastian dari simpul belajar Jatam, mengatakan, tidak seharusnya ada eksploitasi tambang di pulau kecil Bunyu. Dalam UU No 27/2007 menyebutkan, pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang 2.000 km persegi.
“Pulau Bunyu termasuk dalam kategori pulau kecil tidak lebih dari 200 km persegi,” katanya.
Laporan Jatam tentang Pulau Kecil Indonesia Tanah Air Tambang (2019) menyebutkan, daya rusak pertambangan di Bunyu makin meluas. Tambang telah mengganggu fungsi fungsi alamiah suatu sistem alam.
Potret kerusakan, sebut laporan ini, seperti kerusakan bentang alam dan sistem pangan rusak, gangguan air bersih dan ancaman kekeringan, hutan rusak, serta rusaknya kawasan perairan dan perikanan.
Bunyu, katanya, sangat rentan karena sudah tereksploitasi sejak lama. “Aktivitas ekstraktivisme di pulau ini sudah berlangsung lama, seperti migas dan batubara. Praktik pelanggaran ini dibiarkan oleh pengurus publik.”