Mongabay.co.id

Upaya Kolaborasi Bersama Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan

 

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia, masih terus terjadi hingga kini. Terlebih lagi, kala hutan dan lahan yang terbakar merupakan ekosistem gambut yang sulit dipadamkan.

Sejak 2018-2019, inisiatif pembangunan model penanganan karhutla dalam skala lansekap dengan model klaster mulai dilakukan. Lintas kementerian dan lembaga berkoordinasi seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di beberapa provinsi dengan memiliki lahan gambut luas seperti Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah.

Menindaklanjuti inisiasi pemerintah ini, Kemitraan membangun program strengthening Indonesian capacity for anticipatory peat fire management (SIAP-IFM). Program ini terjalin atas dukungan dari USAID, UNEP, Kishugu dari Afrika Selatan. Juga Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific, Institut Pertanian Bogor). Tujuannya untuk memfasilitasi penguatan para pihak dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla.

“Pendekatan klaster merupakan pencegahan kebakaran bersifat kolaboratif, melibatkan semua pihak, seperti pemerintah daerah, Manggala Agni, TNI, Kepolisian, perusahaan swasta dan kecamatan serta desa,” kata Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan dalam konferensi pers di Jakarta, akhir Juni lalu.

Pendekatan ini, katanya, diharapkan dapat mengubah paradigma penanganan karhutla dari pemadaman api kepada upaya pencegahan kebakaran. “Strategi pencegahan kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan karena kebakaran di lahan gambut sulit padam,” katanya.

SIAP-IFM sudah berjalan sejak 2021. Ada tiga kabupaten jadi proyek percontohan yakni, Pulang Pisau, Ogan Komening Ilir (OKI) dan Pelalawan. Ketiga kabupaten ini terpilih karena mempunyai lahan gambut cukup luas dan sering kebakaran.

“Kajian kami menunjukkan ada beberapa permasalahan dalam pencegahan karhutla. Salah satunya, alokasi dana pemadaman karhutla sekitar 70-80% dari anggaran. Untuk pencegahan sangat sedikit hanya 20-30%. Seharusnya lebih mementingkan pencegahan,” katanya.

Laode bilang, mengalokasikan dana lebih besar untuk penanggulangan dibandingkan pencegahan karhutla, sebenarnya kurang efektif. Biaya kalau sudah terjadi kebakaran akan sangat besar.

“Permasalahan lain, isu kehutanan jadi wewenang provinsi. Tempat kebakaran di kabupaten.”

 

Baca juga: BMKG: Potensi Hujan Masih Ada, Puncak Kemarau Agustus

Tim Manggala Agni di Dumai memadamkan kebakaran di Desa Gaung Sungai Sembilang, Dumai, pada 2021. Foto: BKSD Riau

 

Dalam inpres /2019 dan Inpres Nomor 3/2020 disebutkan penanggulangan karhutla meliputi aspek pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Dalam praktiknya, lebih banyak pada pemdaman.

SIAP-IFM ini, kata Laode, berupaya ada pendampingan, khusus mengisiasi terobosan dan kolaborasi antar pihak. “Baik kolaborasi antar pemerintah yang relevan, maupun dengan korporasi, pekebun dan civil society di lapangan. Diharapkan program ini bisa mencegah tidak terulang kembali lagi karhutla.”

Program ini akan menerapkan sistem klaster dengan melihat persoalan per wilayah. “Belum tentu masalah di Pelalawan itu sama dengan di Pulang Pisau.”

Laode juga menyoroti kerjasama dengan pemilik dan pengguna lahan. Semua pihak, katanya, harus dipetakan dan integrasikan agar berkoordinasi dengan baik.

“Tak bisa lagi pencegahan dan pemadaman api itu hanya kepada satu pihak. Yang lain juga harus memberikan bantuan. Harus ada mekanisme mengikat pemilik dan pengguna lahan untuk berbagi tanggungjawab dan diupayakan bisa berbagi biaya. Tak mungkin semua biaya ditanggung negara,” katanya.

Dengan sistem klaster ini, katanya, bisa mengkoordinasikan penanganan karhutla secara terpadu. Harapannya, akan mendapatkan dukungan BNPB, maupun BPBD saat bencana.

“Kami juga merekomendasikan pemerintah pusat memberikan dukungan kebijakan dan program dalam mengoperasionalisasikan sistem klaster pencegahan dan penanggulangan karhutla itu secara terpadu dan multipihak. Membuat regulasi yang memungkinkan ada penyediaan dana pencegahan karhutla kepada kabupaten, kota dan desa secara signifikan.”

 

Presiden Jokowi saat mengunjungi lokasi lahan gambut kebakaran. Dok: Biro Pers Setpres

 

Hasbi Berliani, Direktur Program Sustainable Governance Community Kemitraan mengatakan, SIAP-IFM mereplikasi pendekatan klaster pencegahan karhutla di Afrika Selatan. Hal ini, katanya, juga mendukung Global Peatland Initiative (GPI).

Dengan pendekatan klaster ini, katanya, akan menguatkan tiga sisi utama, yakni, kelembagaan, regulasi dan identifikasi sumber pendanaan.

“Kalau kita ingin membangun pendekatan dengan pola klaster ini karena melibatkan pemerintah sebagai pihak yang memimpin, maka perlu ada basis regulasi.”

Dia sebutkan, ketiga kabupaten proyek percontohan, sudah ada peraturan bupati.

Dalam sisi kelembagaan, kata Hasbi, akan mencerminkan berbagai pihak yang bisa bekerjasama, seperti pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat juga universitas.

“Satu persoalan penting adalah sumberdaya baik mencegah maupun menanggulangi kebakaran. Sumberdaya ada, tapi tersebar di beberapa pihak. Ada di pemerintah, perusahaan swasta dan di masyarakat. Pola klaster ini memungkinkan mengkoordinasikannya.”

Mereka juga sedang menginisiasi model pendanaan inovatif. Pendanaan penting, katanya, karena dana karhutla Indonesia sebagian besar dari pemerintah.

“Dana penanggulangan sangat besar baru bisa digunakan jika sudah ada penetapan status bencana. Kebakaran berarti sudah sangat besar dan sulit dipadamkan.”

Untuk itu, lewat program ini mendorong supaya ada pengkoordinasian pendanaan di tingkat daerah. Bagaimana memadukan sumber daya dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta, maupun dana desa. “Itu bisa dioptimalkan, dikoordinasikan agar pencegahan dan penanggulangan karhutla,” katanya.

Dia juga mendorong pemerintah menyediakan pendanaan lebih besar untuk pencegahan karhutla daerah.

Menurut Johan Kieft, Senior Regional Advisor Asia-Pacific on Green Economy UNEP, capaian terbesar dari SIAP-IFM adalah setiap kabupaten memiliki sistem klaster dengan manajemen kebakaran terintegrasi dengan perencanaan pemerintah setempat.

“Kami berharap, pencegahan dengan pendekatan klaster ini dapat efektif menanggulangi karhutla [terutama] di area gambut.”

Harlan Hale, Regional Humanitarian Advisor USAID mengatakan, kebakaran gambut merupakan bahaya besar di Indonesia dengan dampak regional dan global. USAID, katanya, memiliki sejarah panjang bermitra dengan Indonesia dalam bidang lingkungan, pengelolaan sumber daya alam, dan penanggulangan bencana.

“Kami berharap dapat menyertakan pencegahan dan mitigasi karhutla dalam kerjasama ini. Dengan ada perubahan Iklim, kemarau di masa depan makin meningkatkan risiko kebakaran.”

Dengan kondisi itu, katanya. mendorong mereka bekerjasama dengan Indonesia guna mempersiapkan dan mencegah karhutla skala besar.

“Persiapan dan pencegahan karhutla melalui pembentukan asosiasi pengguna lahan yang mencakup pemerintah, bisnis, dan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya lahan dan mengurangi risiko kebakaran.”

Tony Harisinta, Sekda Pulang Pisau mengatakan, untuk mendukung SIAP IFM, tahun ini mereka mengesahkan rencana aksi daerah (RAD) Pengendalian Karhutla.

Dia katakan, itu dokumen pertama di Kalimantan Tengah bahkan Indonesia yang mengedepankan pendekatan pencegahan dalam penanganan bencana karhutla.

 

Kebakaran di lahan gambut Rawa Tripa ini berlokasi di areal konsesi PT. Gelora Sawita Makmur, Juni 2022.. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Dokumen itu menyebut, ada 12 lembaga akan terlibat dalam program pencegahan karhutla dengan 50 kegiataan dan anggaran Rp12, 683 miliar.

Beberapa regulasi yang mendukung SIAP-IFM yang sudah terbit dari Pemerintah Pulang Pisau antara lain, Perbup Nomor 4/2022 tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan terpadu. Isinya, memuat struktur keterlibatan multi pihak juga soal pendanaan.

“Sebagai tindak lanjut, kami sudah menerbitkan peraturan kerjasama antar kepala desa,” katanya.

Husin, Sekda Ogan Komering Ilir (OKI) mengatakan, upaya pencegahan dan pengendalian karhutla bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi perlu sinergi swasta dan masyarakat. Pun memerlukan pendanaan memadai.

“Betapa pun bagus prerencanaan, kalau tak didukung dana tak akan berjalan. Ada pendanaan kalau penggunaan tidak bagus, akan mubazir. Maka, kerjasama dengan Kemitraan sangat membantu dalam fokus pelaksanaan di lapangan.”

Sebelum ada SIAP-IFM, katanya, fungsi koordinasi secara struktural belum terjalin baik. Dengan program ini, dia berharap koordinasi berjalan baik hingga bisa pencegahan karhutla bersama.

Nasaruddin, Wakil Bupati Pelalawan mengapresiasi kerjasama bersama Kemitraan untuk memfasilitasi dan menyusun kegiatan, program dan pendanaan kolaboratif dalam upaya pencegahan karhutla.

“Mencegah lebih utama daripada memadamkan. Itu adalah kunci.”

 

Exit mobile version