Mongabay.co.id

Melestarikan Potensi Perikanan Kakap dan Kerapu di Laut Dalam

 

Upaya penerapan prinsip berkelanjutan terus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam tata kelola perikanan kakap dan kerapu. Langkah tersebut dilakukan, karena permintaan pasar terhadap dua komoditas tersebut selama ini selalu tinggi.

Jika terus membiarkan nelayan menangkap kakap dan kerapu langsung dari perairan bebas, maka dikhawatirkan di masa mendatang akan muncul berbagai kesulitan yang bisa mengancam keberlanjutan kedua komoditas tersebut.

Menurut Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Ridwan Mulyana, ancaman tersebut sudah disadari oleh Pemerintah sejak beberapa waktu lalu. Saat ini, upaya untuk menghilangkan ancaman tersebut konsisten dilakukan oleh Pemerintah.

Salah satu cara agar perikanan kakap dan kerapu bisa tetap lestari dan keberlanjutan, adalah melalui jalinan kerja sama dengan mitra yang ada di Indonesia. Termasuk, Yayasan Konservasi Alan Nusantara (YKAN) dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Indonesia.

“Kita meletakkan sains, teknologi, dan kemitraan untuk mewujudkan tetap lestari dan keberlanjutan,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Mewujudkan kelestarian perikanan kakap akan terus didukung oleh Pemerintah, karena mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam pemanfaatannya. Dengan demikian, keseimbangan pemanfaatan bisa tetap dijaga meski terus dilakukan tanpa henti.

Agar ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan dalam melaksanakan tata kelola perikanan kakap dan kerapu, maka dilakukan pengembangan dan upaya penerapan strategi pemanfaatan perikanan (harvest strategy). Upaya terebut bisa membuat penangkapan di alam bisa berkurang.

baca : Kondisi Budidaya Kerapu di Sumbar: Permintaan Tinggi, Produksi Rendah

 

Dari kiri : Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana, Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia Brian Dusza dan Direktur Program Perikanan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Peter Mous dalam acara tentang perikanan kerapu dan kakap di Jakarta. Foto : KKP

 

Ridwan Mulyana mengatakan, saat ini KKP tengah fokus pada penerapan ekonomi biru melalui kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Kebijakan tersebut akan mewujudkan kegiatan terukur secara kuantitatif dalam sistem bisnis perikanan mulai dari hulu sampai dengan hilir.

Adapun, kebijakan penangkapan ikan secara terukur adalah kebijakan yang akan memberlakukan sistem kuota sejak izin penangkapan diberikan dan memastikan pemanfaatan sumber daya ikan secara tepat, tidak berlebihan dan tidak melebihi batas yang diperbolehkan.

Kebijakan itu mengubah pendekatan pengalokasian sumber daya ikan dari input control menjadi output control. Juga, melaksanakan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penerimaan berbasis output control di pelabuhan perikanan dan pusat-pusat pendaratan ikan.

Saat KKP fokus pada kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, USAID Indonesia dan YKAN juga menjalankan fokus yang sama untuk menjaga keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. Tiga faktor tersebut menjadi fokus utama dalam kerja sama antara kedua lembaga tersebut pada proyek USAID Supporting Nature and People – Partnership for Enduring Resources (SNAPPER).

Diketahui, industri kakap dan kerapu di dalam negeri termasuk besar, karena selama ini Indonesia sudah masuk jajaran negara produsen kakap dan kerapu terbesar di dunia. Dalam setahun, Indonesia sanggup menangkap 119.000 metrik ton kakap dan kerapu untuk memasok pasar dunia.

Selain itu, industri perikanan Indonesia juga mempekerjakan lebih dari tujuh juta orang dan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional serta menopang mata pencaharian 60 persen penduduk Indonesia.

Dengan dukungan USAID, KKP mengembangkan rencana pengelolaan perikanan nasional dan strategi panen untuk perikanan kakap dan kerapu laut dalam. Program ini berkonsultasi dengan masyarakat dan perusahaan perikanan untuk mencegah penangkapan ikan yang berlebihan dan untuk meningkatkan regulasi dan kendali perikanan, misalnya dengan membatasi jumlah kapal yang diizinkan menangkap ikan di wilayah tertentu selama waktu tertentu.

baca juga : Sinyal Pemanfaatan Berlebih pada Komoditas Sidat, Kerapu, dan Kakap

 

Seekor ikan kerapu cantang (Eniphelus sp.) berbobot 9 ons ini merupakan kualitas super dengan harga 10 dollar/kg pada KJA  kerapu di Sungai Nyalo Mudiak Aia, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Foto: Vinolia/ Mongabay indonesia

 

Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia Brian Dusza pada kesempatan sama menyebut bahwa kerja sama dengan KKP dan YKAN menjadi bentuk dukungan pada Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan pengelolaan perikanan kakap dan kerapu.

Program tersebut akan memastikan pengelolaan industri perikanan Indonesia yang terukur dalam jangka panjang, menjawab permintaan pasar boga bahari (seafood) yang berkelanjutan, dan turut mendukung penghidupan sebagian besar masyarakat nelayan di Indonesia.

Kerja sama yang sudah dijalin dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan melibatkan kemitraan publik-swasta yang inovatif. Dengan dukungan tersebut, data yang akurat bisa diproduksi dan perdagangan ikan yang sudah layak tangkap juga bisa dilakukan.

Melalui program SNAPPER, kerja sama dilakukan dengan menggunakan teknologi untuk mengukur, memantau, dan mengelola stok ikan yang berharga. Rinciannya, SNAPPER bisa membantu KKP untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya alam di bentang alam seluas 26,5 juta hektare (ha).

Brian Dusza mengungkapkan, melalui jalinan kerja sama, KKP juga bisa mengembangkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Lembaga Pengelola Perikanan yang bisa memperkuat implementasi rencana pengelolaan perikanan.

baca juga : Menteri KKP Ubah Kebijakan untuk Tingkatkan Ekspor Ikan Kerapu

 

Ikan seperti jenis kerapu hasil tangkapan nelayan di Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, pada awal Agustus 2017. Potensi Perikanan di NTB sangat besar, terutama ikan karang. Tetapi kondisinya ikan makin sedikit, tangkapan ikan berkurang dan habitat rusak karena praktek perikanan yang merusak. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Akurasi Data

Khusus untuk program SNAPPER, USAID juga melatih lebih dari 900 orang untuk memahami metode pengumpulan data hasil tangkap, ukuran, dan spesies untuk perikanan kakap dan kerapu. Kemudian, dilaksanakan juga pengumpulan data di atas kapal pada 11 WPP-NRI.

Pelatihan tersebut dilaksanakan, agar bisa tersedia data yang akurat terkait 50 spesies teratas perikanan kakap kerapu di laut dalam. Oleh karena itu, SNAPPER juga kemudian mengembangkan basis data dan sistem pelaporan yang telah diadopsi oleh KKP untuk pengelolaan perikanan kakap dan kerapu laut dalam.

Tak lupa, SNAPPER juga melibatkan peran serta sektor swasta dan memberikan pelatihan kepada para nelayan dalam mengumpulkan data berharga tentang ketersediaan stok ikan, serta pelacakan kegiatan penangkapan ikan, sekaligus membantu mereka agar tetap aman saat melaut.

Direktur Program Perikanan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Peter Mous juga menjelaskan, kerja sama yang dijalin antara KKP, YKAN dan USAID Indonesia bertujuan untuk mengelola perikanan kakap dan kerapu laut dalam di Indonesia yang memiliki keanekaragaman spesies dan jenis alat tangkap.

“Menentukan status kelimpahan perikanan dan menghindari terjadinya penangkapan ikan yang berlebihan selama ini telah menjadi tantangan tersendiri,” ungkap dia.

Melalui SNAPPER yang sudah dijalankan oleh USAID Indonesia dan YKAN, ada inovasi yang dibuat dan diterapkan untuk menerapkan prinsip perikanan yang berkelanjutan. Salah satunya, adalah penggunaan Crew-Operated Data Recording System (CODRS).

Menurut dia, CODRS adalah sebuah metode inovatif untuk mencatat dan melakukan analisis praktik penangkapan ikan yang efisien dan informatif berdasarkan panjang tangkapan. Pada praktiknya, lebih dari 400 nelayan kakap dan kerapu laut dalam ikut terlibat dalam kegiatan CODRS.

“Para nelayan berkontribusi dalam menyediakan informasi real-time di daerah penangkapan dan data komprehensif tentang total tangkapan per rute perjalanan melaut,” terang dia.

baca juga : Masa Depan Perikanan Budi daya Ada di Kakap Putih

 

Ikan kakap bohar di perairan Seychelles. Foto : Thomas P Peschak/Wildlife Photographer of the Year

 

Sebelum kegiatan CODRS dilaksanakan melalui SNAPPER, YKAN sudah meluncurkan Fishert Improvement Program (FIP) perikanan kakap dan kerapu laut untuk menuju sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC).

Melalui platform YKAN FIP, diharapkan proyek SNAPPER dapat menjembatani perusahaan-perusahaan yang ingin berkontribusi pada kesehatan lautan dunia, dengan mengakui dan menghargai praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, melalui sertifikasi ekolabel.

Selain fokus pada FIP, YKAN juga selama enam tahun ini terus mendukung upaya KKP dalam melaksanakan penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan dan Strategi Pemanfaatan perikanan kakap dan kerapu.

YKAN telah menyampaikan informasi dari lapangan dan data tangkapan yang diperoleh selama kegiatan, sekaligus membangun basis data terpusat di Balai Riset Perikanan Laut KKP. Informasi tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk penentuan strategi pengelolaan perikanan kakap kerapu laut dalam di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto menambahkan, seluruh kegiatan yang sudah berjalan selama enam tahun terakhir, diharapkan bisa memberikan manfaat untuk pengelolaan perikanan kakap dan kerapu di Indonesia.

Menurut dia, kemitraan seperti kegiatan SNAPPER menjadi langkah penting dalam melangsungkan program-program perikanan berkelanjutan dan konservasi di Indonesia. Mengingat, setiap pemangku kepentingan memiliki peranan yang besar untuk menjadikan SDI Indonesia tetap lestari.

Tata kelola perikanan kakap dan kerapu memang sudah menjadi fokus KKP dalam beberapa tahun terakhir ini. Bersama rajungan, kakap dan kerapu dibuatkan strategi pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab.

perlu dibaca : Perikanan Skala Kecil dan Peran Tak Terbatas di Pesisir

 

Seekor ikan kakap melompat dari permukaan air laut untuk memakan umpan. Foto : shutterstock

 

Mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar yang menjabat di periode kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Edhy Prabowo, pernah menyatakan bahwa harvest strategy harus bisa menjadi acuan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Acuan tersebut harus dijalankan, karena dari 11 WPP-NRI yang ada sekarang, antara satu dengan yang lainnya memiliki karakteristik yang berbeda dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah dan juga para pemangku kepentingan di sektor perikanan.

Menurut dia, WPP-NRI saat ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai basis spasial pembangunan kelautan dan perikanan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) untuk periode 2020-2024.

“Untuk mengusulkan arah pengelolaan perikanan, bukan sebagai eksekutor kebijakan. Pengambilan kebijakan perikanan tetap dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan,” ungkap dia.

Khusus perikanan kakap dan kerapu, Zulficar Mochtar menyebutkan bahwa keduanya adalah salah satu primadona perikanan nasional. Perikanan kakap khususnya, selama ini sudah berkontribusi dengan memasok hingga 45 persen kebutuhan untuk pasar global.

“Itu artinya, Kakap sudah menyumbangkan devisa sebesar Rp200 miliar per tahun,” terang dia.

Kemudian, untuk perikanan kerapu, KKP mencatat bahwa Indonesia sudah menempati urutan nomor dua sebagai produsen kerapu terbesar di dunia. Torehan itu berhasil dicapai, karena Indonesia mencatatkan nilai ekspor hingga Rp567 miliar per tahun untuk ekspor kerapu ke pasar global.

 

Exit mobile version