Mongabay.co.id

Mengapa Kura-kura Bisa Hidup Begitu Lama?

 

 

Jonathan, si kura-kura raksasa kepulauan Seychelles baru saja menginjak usia 190 tahun dan meraih gelar “Hewan Darat Tertua”. Predikat ini sebelumnya dipegang oleh Tu’i Malila, kura-kura yang hidup di istana Tonga, negara di Pasifik Selatan, yang mati tahun 1966 ketika berumur 189 tahun.

Jonathan diperkirakan lahir pada 1832 dan sekarang hidup di St Helena, sebuah pulau di laut Atlantik selatan. Kehidupan Jonathan berpusat pada tidur, makan, dan kawin. Saat ini, Jonathan telah kehilangan penglihatan dan tidak memiliki indera penciuman. Namun, masih memiliki pendengaran yang baik, sehingga mampu merespon suara dokter hewannya.

Jonathan masih sanggup berjemur dan mengeluarkan kakinya dari cangkang.

Kura-kura bukan satu-satunya hewan berdarah dingin yang diberkati umur panjang. Tuatara, reptil mirip kadal dengan garis berduri di sepanjang tulang punggungnya, dapat hidup lebih dari satu abad, dan salamander gua buta, amfibi dengan kulit hampir tembus cahaya dan penglihatan yang sangat buruk, dapat hidup lebih dari 70 tahun.

“Ada bukti anekdot bahwa beberapa reptil dan amfibi menua dengan lambat dan memiliki rentang hidup yang panjang, tetapi sampai sekarang tidak ada yang benar-benar mempelajari ini dalam skala besar di banyak spesies di alam liar,” kata David Miller, seorang profesor ekologi populasi satwa liar di Penn State University.

“Jika kita dapat memahami apa yang membuat beberapa hewan menua lebih lambat, kita dapat lebih memahami penuaan pada manusia, dan kita juga dapat menginformasikan strategi konservasi untuk reptil dan amfibi, yang banyak di antaranya terancam atau hampir punah,” ujarnya dikutip dari Penn State University.

Untuk menentukan faktor mana yang mempengaruhi tingkat penuaan, Miller dan tim internasional yang terdiri dari 113 ilmuwan melakukan studi paling komprehensif tentang penuaan dan umur panjang hingga saat ini. Data dikumpulkan dari 77 spesies reptil dan amfibi liar selama 60 tahun.

Tim menemukan bahwa hewan yang menua paling lambat memiliki sifat protektif yang melindungi mereka dari pemangsa. Hebatnya, hewan dengan cangkang keras [kura-kura dan penyu] seakan tidak menua sama sekali, menantang gagasan bahwa penuaan tidak dapat dihindari secara evolusioner.

Baca: Ilmuwan Temukan Kura-kura Jenis Baru Mirip Batu Berlumpur

 

Kura-kura yang memiliki umur hidup panjang. Foto: Unsplash/Magdalena Kula Manchee

 

Berdarah dingin vs berdarah panas

Miller dan timnya menguji penjelasan populer untuk tingkat penuaan yang disebut hipotesis termoregulasi, yang menunjukkan bahwa hewan dengan metabolisme lebih cepat, akan menua lebih cepat. Menurut hipotesis ini, hewan berdarah panas menua lebih cepat karena metabolisme mereka yang tinggi, untuk menghasilkan panas.

Sementara hewan berdarah dingin, menyerap panas dari lingkungan mereka [dengan berjemur, misalnya], yang berarti metabolisme mereka sering lebih rendah sehingga mereka menua lebih lambat.

Dalam studi berjudul “Diverse aging rates in ectothermic tetrapods provide insights for the evolution of aging and longevity” yang terbit di Jurnal Science pada 23 Juni 2022 menunjukkan, pada hewan berdarah dingin lain -katak, kodok, buaya, kadal- tingkat penuaan tergolong tinggi, sementara pada kura-kura cenderung rendah.

“Orang cenderung berpikir, misalnya, tikus menua dengan cepat karena metabolismenya tinggi, sedangkan kura-kura menua dengan lambat karena metabolismenya rendah,” kata Miller dikutip dari Big Think.

Temuan tim ilmuwan mengungkapkan bahwa tingkat penuaan di antara hewan berdarah dingin jauh lebih beragam daripada yang diperkirakan sebelumnya. Di satu sisi, beberapa hewan berdarah dingin [termasuk sebagian besar kura-kura, sebagian kecil katak dan salamander, dan satu spesies buaya] tampak seakan tidak menua sama sekali.

Dengan kata lain, kemungkinan kematian tidak meningkat seiring bertambahnya usia hewan, sifat yang hanya ditemukan pada satu hewan berdarah panas, yakni tikus mol telanjang.

Di sisi lain, ada beberapa spesies berdarah dingin menua empat kali lebih cepat daripada impala, salah satu hewan berdarah panas yang paling cepat menua. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tingkat penuaan antar-spesies didasarkan pada lebih dari sekadar pengaturan suhu tubuh.

Baca: Sulit Ditemukan, Kura-kura Leher Ular Rote Menuju Kepunahan?

 

Jonathan [kiri] bersama kura-kura lain tahun 1886 di St Helena. Foto: Wikimedia Commons/Public Domain/unknown photographer/BBC UK

 

Untuk mengungkap misteri ini, para peneliti mengeksplorasi hipotesis fenotipe pelindung, hipotesis yang kurang dikenal yang menyatakan bahwa hewan dengan sifat pelindung -seperti cangkang atau racun- memiliki penuaan yang lebih lambat.

Beth Reinke, asisten professor dari Department of Biology di Northeastern Illinois University, yang juga penulis pertama studi dan ahli biologi evolusioner menjelaskan, berbagai mekanisme perlindungan ini dapat mengurangi tingkat kematian hewan karena mereka tidak dimakan oleh hewan lain.

“Dengan demikian, mereka cenderung hidup lebih lama dan itu memberikan tekanan untuk menua lebih lambat.”

Para peneliti mempertimbangkan dua kategori perlindungan: fisik [pelindung tubuh dan cangkang] dan kimia [racun dan racun kulit]. Membandingkan hanya hewan berdarah dingin, spesies dengan perlindungan fisik menua lima kali lebih lambat daripada spesies tanpa bentuk perlindungan apa pun, dan spesies dengan perlindungan kimia menua dua kali lebih lambat.

Temuan ini setidaknya mampu memberi gambaran penuaan yang lebih komprehensif di seluruh hewan, yang dapat membantu para ilmuwan mengidentifikasi ciri-ciri yang terkait dengan penuaan pada manusia.

Baca juga: Kura-kura Matahari, Statusnya Tidak Dilindungi Meski Terancam Punah

 

Estimasi umur satwa liar. Sumber: Reinke et al. Science. 2022

 

Pendapat lain disampaikan oleh Lori Neuman-Lee, seorang asisten profesor fisiologi di Arkansas State University yang mempelajari kura-kura dan reptil lainnya. Dia menyatakan bahwa ada jawaban evolusioner dan jawaban biologis mengapa kura-kura bisa berumur panjang.

Jawaban evolusionernya relatif mudah, yaitu ketika hewan seperti ular dan rakun suka memakan telur kura-kura, mereka harus hidup lama dan sering berkembang biak untuk mewariskan gen mereka. Kura-kura merupakan reptil yang bisa bertelur beberapa kali per tahun dengan jumlah telur yang banyak.

Sementara mekanisme biologis dibalik umur panjang kura-kura lebih rumit. Salah satu petunjuk umur panjang kura-kura terletak pada telomer mereka, yakni struktur yang terdiri dari untaian DNA non-coding yang menutupi ujung kromosom.

Struktur ini membantu melindungi kromosom saat sel membelah. Seiring waktu, telomer menjadi lebih pendek atau terdegradasi, yang berarti mereka tidak dapat lagi melindungi kromosom mereka juga, yang menyebabkan masalah dengan replikasi DNA. Kesalahan dalam replikasi DNA dapat menyebabkan masalah seperti tumor dan kematian sel.

“Tetapi kura-kura menunjukkan tingkat pemendekan telomer yang lebih rendah dibandingkan hewan yang berumur pendek,” kata Neuman-Lee dikutip dari Live Science.

Ini berarti mereka lebih tahan terhadap jenis kerusakan tertentu yang dapat timbul dari kesalahan replikasi DNA.

Dalam studi yang dituliskan di bioRxiv, dijelaskan bahwa kura-kura raksasa dan beberapa spesies kura-kura lain tampaknya mampu melindungi diri mereka dari efek jangka panjang kerusakan sel. Mereka melakukan ini dengan cepat, membunuh sel-sel yang rusak, menggunakan proses yang disebut apoptosis, atau kematian sel terprogram.

 

Exit mobile version