Mongabay.co.id

Suku Moi Tolak Sawit Ingin Hutan Terjaga

 

 

 

 

Yafet Kayaru, berjalan cepat dengan kaki telanjang menyusuri hutan Marga Kayaru, penghujung Mei lalu. Dengan lincah dia menebas ranting-ranting pohon dan semak untuk membuka jalan.

Dia bersama dengan saudaranya, Kostan Kayaru, sedang mengecek jerat yang mereka pasang. Hari itu, mereka belum beruntung, tak ada binatang bisa dibawa pulang.

Yafet dan Kostan tinggal di Kampung Klajaring dan Gisim di pesisir selatan Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Mereka masyarakat suku besar Moi yang menggantungkan hidup dari hutan komunal setiap marga.

Rusa, babi, lau-lau (kangguru pohon), daun ubi, keladi, cempedak, pisang, sagu dan lain-lain sumber pangan sehari-hari. Swalayan mereka ada di hutan komunal itu. Di sana, sumber karbohidrat, protein dan berbagai nutrisi lain.

 

Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

Masyarakat Moi di Sorong, yang hidup bergantung alam sekitar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, mereka juga bisa memancing ikan seperti kerapu, sembilang, kepiting, kerang yang melimpah.

Sehari-hari, Yafet biasa pergi ke hutan untuk berburu penuhi keperluan pangan keluarga. Hutan, cukup memberikan kebutuhan sehari-hari untuk istri dan tiga anaknya.

Jarak rumah ke hutan, dia tempuh sekitar 30 menit dengan kapal motor.

Di hutan komunal itu ada pembagian zonasi. Ada wilayah bisa berburu, ada yang terlarang.

“Wilayah berburu kami dibatasi, tak boleh di hutan keramat,” katanya.

Hutan alam di wilayah ini begitu lebat. Bagi Yafet ini kekayaan yang tak boleh habis untuk generasi selanjutnya. Syaratnya, harus terus terjaga.

Namun, hutan nan lebat dengan beragam satwa tempat hidup masyarakat ini terancam. Area ini sudah terbebani izin. Pemerintah berikan izin konsesi di atas lahan adat kepada perusahaan sawit, PT Sorong Agro Sawitindo (SAS).

“Kalau sawit masuk habis ini (hutan) semua, suara burung dan binatang su tak ada lagi.”

Di Kampung Gisim saja, diklaim seluas 13.053 hektar masuk izin perusahaan dari total 40.000 hektar. Meski sebetulnya, masyarakat tak tahu di mana batas izin itu.

SAS, satu dari izin-izin perkebunan sawit yang dicabut Bupati Johny Kamuru pada April 2021.

Anak usaha grup Mega Masindo ini dalam laporan Greenpeace disebut milik Paulus George Hung, cukong kayu Malaysia yang memiliki beberapa konsesi pembalakan kayu (HPH) di Tanah Papua.

 

Baca juga: Izin Dicabut, Perusahaan Sawit Gugat Hukum, Pemerintah Sorong Banjir Dukungan

Warga Distrik Segun, yang tegas menolak perusahaan sawit masuk sejak awal. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Awal 2000-an, kata Yafet SAS berkali-kali datang membujuk para tetua adat Marga Kayaru, salah satu orangtuanya untuk menerima kehadiran perusahaan. Saat itu dia masih remaja.

Marga Kayaru, akhirnya menyetujui perjanjian pelepasan hak ulayat Marga Kayaru ke SAS. Tahun 2000-an, beberapa orang datang silih berganti ke Distrik Segun untuk lobi para tetua adat.

Edi dari Marga Sede-Klasa bilang, SAS pada 2000-an melakukan berbagai cara merayu masyarakat. “Mereka rayu kami, ditempel uang. Itulah sawit agar kami beri masuk. Kami masyarakat itu pada umumnya awam terhadap perusahaan, tidak tahu seperti apa sawit,” katanya.

Para tetua Sede-Klese kala itu juga menerima kehadiran sawit. Pada 2007, sejumlah tokoh adat diajak studi banding ke Kalimantan untuk melihat kehidupan masyarakat dari kebun sawit. Sepulang dari sana, warga ada yang setuju, ada yang tidak.

Marga Kayaru dan Sede pun membuat perjanjian di hadapan notaris Irnawati Nazar di Sorong untuk peyerahan hutan komunal. Marga Sede menandatangani pada 23 Desember 2008 dan Kayaru 12 Januari 2009.

Edi sempat mengikuti pertemuan di Sorong. Perusahaan berjanji memberi kompensasi kepada marga antara lain uang sirih pinang atau ketuk pintu Rp100 juta dan uang ikatan Rp75 juta.

Tak hanya itu, kesepakatan dua belah pihak juga masyarakat meminta ada pembiayaan sekolah anak-anak, pembangunan rumah di Aimas (ibu kota Sorong), Kampung Gisim (kala itu belum ada pemekaran kampung). Juga, motor kapal merek Johnson, dan jaminan kesehatan serta pendidikan untuk anak-anak di desa. Juga ada ganti pohon yang ditebang Rp 20.000 per meter kubik untuk kayu merbau dan Rp10.000 untuk kayu campuran.

Saat itu, kata Edi, ada perdebatan dalam marga untuk menerima dan tidak. Masyarakat terbelah. Secara pribadi, Edi menolak, tak mau menerima sawit.

“Saya punya orangtua memotori (setuju) dengan sawit. Kami sebagai anak yang lahir dan besar di Kampung Gisim dan Klajaring ini menolak, saat mengikuti proses bahwa ke depan imbasnya yang tidak berkenan dengan anak cucu kami.”

Hutan perlu dijaga karena ada tanah keramat dan tempat hidup. Dari hutan, Edi bisa memenuhi kebutuhan gizi hingga membangun rumah.

Setelah lama berproses, masyarakat pun belajar dengan melihat perkebunan sawit yang membabat hutan, seperti di Desa Modan dan Klamono.

Modan adalah desa terakhir yang akses dari Sorong menuju Distrik Segun. Ada konsesi perkebunan sawit, PT Inti Kebun Sejahtera (IKS). Jalan rusak parah penuh lumpur saat hujan, hingga perlu waktu lebih panjang dan pakai mobil off-road atau double gardan.

Daniel Kayaru bilang, marga sudah menerima sejumlah uang yang diberikan bertahap. Dia menyesal, sempat menyetujui. Dia senang kabar pencabutan izin oleh Pemerintah Sorong.

“Kami punya orangtua dulu tak tahu apa-apa, mereka terima. Bagaimana anak cucu kita. Kami anak-anak sepakat tolak. Dengan pencabutan ini, kami mendukung penuh.”

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Hutan mangrove di Kali Segun, Distrik Segun, Sorong. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sosialisasi SAS, katanya, tidak pernah dilakukan di Kampung Klajaring maupun Gisim. Paling, hanya beberapa orang dibawa ke Sorong. “Dibawa ke resto dan hotel.”

Berbeda dengan Marga Kayaru dan Sede, Marga Klaviu menolak sejak awal perkebunan sawit di Distrik Segun.

“Kami tidak lagi izinkan sawit masuk di wilayah kami, khusus di Segun, Kampung Gisim dan Klajaring,” kata Marthin Klaviu.

Dia mengingat kedatangan SAS, silih berganti orang datang sejak 2005, mereka terus membujuk. “Kamu harus terima, kamu bisa meningkat kehidupan kesejahteraan, punya mobil dan rumah. Berkali-kali survei lokasi.”

Warga Klaviu bergeming.

Stevanus Klaviu mengatakan, kekayaan sagu dan kayu di wilayah hutan komunal mereka mencukupi sampai anak cucu. Mereka terus tanamkan juga kesadaran menjaga dan melestarikan hutan, kepada anak-anaknya.

Sejak 2014, masyarakat tak mendapat kabar lagi dari perusahaan sampai akhirnya ada pencabutan izin.

“Kini sudah habis waktu, kami sudah tolak itu sawit. Tidak bisa datang lagi mereka ke kampung kami,” ujar Daniel Kayaru.

Baik Marga Kayaru maupun Sede-Klasa, kini tegas menolak sawit.

“Tidak mau hutan kami dibongkar, kami lihat di Klamono, Modan, air sungai habis, tidak bisa memasak, janji-janji tak ditepati. Kami menolak itu setelah melihat dampak disana. Kami tak ingin cucu kami merasakan hal itu.”

 

Tangkap ikan, salah satu sumber ekonomi warga Moi di Kabupaten Sorong. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Edward Sede-Klasa, tetua di Kampung Gisim mengatakan, kalau SAS datang merayu kembali, mereka tidak akan memberi kesempatan. “Sudah tiga kali kita punya aspirasi tidak diikuti, selanjutnya kalau mau kembali tidak ada lagi. Ibarat kita manusia, kita lahir sekali dan tidak bisa mereka datang lagi.”

Dia pun sudah tahu kebun sawit di daerah lain, perusahaan hanya memberikan janji. Belum lagi, warga bisa menderita karena sulit mendapatkan air karena sumber sungai kering. Marga Sede, pun kini sepakat menolak sawit.

“Kalau kita timbang, hasil hutan tak pernah putus memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar Edward.

“Kami sadar kalau sawit itu membabat hutan, kita [awalnya] tidak tahu. Saat lihat di Klamono, kami sepakat tolak. Kami perlu jaga hutan untuk berkebun, membangun rumah dan berburu.”

Sebelumnya, Pemerintah Papua Barat evaluasi seluruh izin sawit di wilayah itu. Ini merupakan hasil Gerakan Nasional Penyelamanan Sumber Daya Alam (GNPSDA) KPK. Ia juga sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit).

Sebanyak 24 perusahaan dievaluasi dengan luas 576.090,84 hektar tersebar di Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, dan Teluk Bintuni. Belasan izin dicabut termasuk SAS.

 

Pengakuan wilayah adat

Masyarakat adat Moi berharap, pemerintah segera memberi pengakuan kepada masyarakat adat agar ada perlindungan bagi mereka dan wilayah adatnya. Dalam payung lebih besar, rancangan UU Masyarakat Adat yang sedang disusun bisa segera disahkan.

“Ini untuk jaga kami punya hutan, nenek moyang dan sejarah kami.”

Marthin Klaviu juga berpendapat sama. “Mereka perlu tahu dan mengakui kami punya adat yang ada, setiap ada perusahaan harus menghargai hak masyarakat adat.”

Dengan ada aturan soal masyarakat adat, katanya, akan ada mekanisme saat perusahaan melakukan pelanggaran.

Masyarakat bisa mudah melaporkan kegiatan-kegiatan yang melanggar kebijakan itu.

“Kami orang Papua, yang punya adat dan hutan, tapi mereka (pemerintah) berikan izin bukan dari kami. Dari nasional (pemerintah pusat). Harusnya kami orang pertama yang dimintai [izin].”

Edi Sede-Klasa sebagai pemilik hak ulayat Sede Klasa mendesak, pemerintah mengatur bagaimana menjaga hak adat. “Hingga hak adat kami bisa dihargai dan diatur secara hukum dalam UU.”

 

Pemukiman warga adat di Disktrik Gilim, Sorong. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Uji tuntas Uni Eropa

Data Statistik Sawit Indonesia 2020 menyebutkan, produksi sawit di Papua Barat sekitar 106.775 ton atau 0,2% dari produksi Indonesia pada 2020. Papua disebut punya produktivitas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tertinggi, sekitar 5,43 ton per hektar.

Produksi minyak sawit ini pun diekspor ke berbagai negara, salah satu. Eropa menduduki peringkat kedua negara pengimpor sawit Indonesia setelah India dengan 10,73% dari total ekspor 27,63 juta ton.

Saat ini, parlemen Uni Eropa sedang membahas peraturan uji tuntas Eropa (European Union Due Diligence Regulation/ EUDDR). Regulasi ini mengatur uji tuntas atas penyediaan barang di pasar dan ekspor Uni Eropa atas komoditas dan produk tertentu yang terkait deforestasi dan degradasi hutan. Ada enam komoditas, yakni, daging sapi, kedelai, kakao, kopi dan kayu dan sawit. Indonesia, merupakan eksportir sawit, kopi, kakao dan kayu.

“Proposal ini sudah tahap akhir pembahasan di Parlemen Eropa. Bisa jadi selesai tahun ini. Tapi sosialisasi pemerintah belum masif,” kata Andre Barahamin, Juru Kampanye Senior untuk Isu Hutan Kaoem Telapak kepada Mongabay.

Peraturan uji tuntas ini, katanya, semoga bisa mendorong perbaikan regulasi di negara produsen, termasuk Indonesia, sebagai negara dengan produksi sawit terbesar dunia.

“EUDDR diharapkan dapat menguatkan posisi masyarakat adat Moi Sigin yang menolak rencana pembukaan sawit seperti PT SAS.”

Masyarakat adat Moi pun punya harapan serupa dengan ada uji tuntas Uni Eropa. Dengan ada kebijakan uji tuntas Eropa, Daniel harapkan, bisa membantu mendorong perlindungan hutan mereka.

“Kami harap negara tujuan yang akan menerima ekspor sawit memperhatikan hak-hak adat. Hutan kami perlu dijaga untuk anak cucu,” katanya.

Edi Sede-Klasa harapkan serupa agar negara konsumen sawit, seperti Eropa memperhatikan soal hak-hak masyarakat adat saat membeli sawit.

Negara pembeli, katanya, perlu menyadari ada praktik buruk dalam pembangunan sawit di Indonesia. “Perusahaan sering membawa kami dengan berbagai cara untuk bisa mengambil hati masyarakat. Kami tidak tahu apa-apa.”

 

 

 

*********

Exit mobile version