Mongabay.co.id

Mengenal Jejak Purba Rammang-rammang dalam Bentang Karst Maros Pangkep

 

Saat deru mesin perahu 10 PK membela Sungai Puteh menuju kampung Berua, terlihat puncak punggungan karst Maros – Pangkep, Sulawesi Selatan bagai membentuk garis bergelombang yang panjang. Batuan gamping yang tertutup pepohonan hijau, lalu pelan-pelan mengecil membentuk sudut kecil koridor. Di bawah celah tebing sempit itulah, jalan purba, dan sumber air menyeruak keluar. Menyimpan kisah agung peradaban manusia.

Ribuan tahun yang lalu, celah itu menjadi lalu lintas manusia dan juga fauna mamalia untuk saling terhubung dengan bentangan karst yang luas. Saat menjejak setapak purba yang menempel pada tebing yang curam dan tajam, rasanya bagai terlempar ke masa silam.

Bertahun-tahun para arkeolog menjelajahi cekungan karst dan ceruk gua di sepanjang bentangan itu. Mereka terpukau menemukan lukisan gua, artefak batu, mata panah (Maros point atau lancipan Maros), sisa makanan, hingga gerabah. Tahun 2014, arkeolog melakukan uji penanggalan menggunakan metode uranium series, dan mendapatkan usia lukisan tangan di gua Leang Timpuseng Maros berusia minimal 39.900 tahun yang lalu.

Seluruh dunia tercengang, sebab selama ini penanggalan lukisan tertua merujuk pada gua El Castillo di Spanyol berusia 37.300 tahun yang lalu. Saat kekaguman belum selesai, lukisan hewan Anoa dengan penggambaran perburuan di Gua Bulu Sipong 4 Pangkep, kembali menghentak dengan usia 43.900 tahun yang lalu. Tak berhenti disitu, tahun 2021, lukisan figuratif hewan Babi Kutil di gua kampung Biku, kembali menjadi yang tertua di seluruh dunia berusia 45.500 tahun yang lalu.

Deretan temuan penanggalan itu bukan hanya angka. Namun, artefak itu menunjukkan bagaimana peradaban purba telah terjadi ribuan tahun lalu di Indonesia khususnya kawasan karst Maros-Pangkep. Ada ledakan pengetahuan yang sama di semua belahan dunia, antara Eropa dan Indonesia, dalam hal lukisan.

Para arkeolog sepakat jika si pembuat lukisan adalah para Homo Sapiens (manusia modern awal) yang menjejakkan kaki di Sulawesi. Periode itu dimulai antara 50.000 – 20.000 tahun lalu. Periode kedua antara 18.000 – 10.000 tahun lalu. Lalu pada kurun antara 4.000 – 5.000 tahun adalah masyarakat dari rumpun penutur bahasa Austronesia, yang sudah mulai menggunakan teknologi bercocok tanam sederhana.

baca : Gua-Gua Prasejarah, Wajah Lain Kawasan Ekowisata Rammang-Rammang

 

Gambar purba anoa di dinding Goa Uhallie di kawasan karst Bone Sulawesi Selatan. Tim arkeolog BPCB Sulawesi Selatan sedang monitoring gambar purba tersebut. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sejarawan alam, Jared Diamond dalam buku Guns, Germ & Steel, Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia menuliskan, jika manusia pendukung kebudayaan antara 50.000 tahun di di Eropa adalah manusia Cro-Magnon. “Diantara produk-produk Cro-Magnon yang bertahan sampai sekarang, paling dikenal adalah karya seni mereka lukisan gua yang mengesankan, patung dan alat musik,” tulisnya.

Tapi Cro-Magnon bukan lah manusia Indonesia. Perbedaan geografisnya terbentang ribuan mil dari Maros-Pangkep. Lalu, Jared memberi pertanyaan, apakah lompatan pengetahuan ini terjadi di daerah tertentu atau peristiwa itu terjadi secara bersamaan di beberapa kawasan?

Jawabannya bisa saja menjadi bersamaan. Ketika gelombang pengetahuan di Eropa terjadi, di Indonesai juga terjadi. Namun, apa yang membuat mereka melakukan lompatan pengetahuan yang mengesankan itu, belum terjawab.

Tahun 2021, ketika mengunjungi lukisan di gua Biku, dua seniman, masing-masing pembuat film dan musisi, tercengang menatap lukisan itu. Dia memperhatikan garis tegas gambar dengan paduan gelap terangnya. “Seniman lukis yang menggunakan cat, pensil, atau pulpen saat ini, yang menggunakan teknik tertentu akan mudah melihatnya. Tapi ini adalah lukisan purba, mengetahui bahan dasar pembuatannya, tapi bagaimana campuran mineralnya, tak pernah ketahuan. Agung sekali,” kata mereka.

baca juga :  Denisovan, DNA Manusia Purba Pertama Ditemukan di Kawasan Wallacea

 

Artefak lukisan babi kutil di Leang Tedongnge, di Kampung Biku, di kawasan karst Maros Pangkep, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Karya yang agung, mungkin kalimat yang tepat untuk menyatakannya. Menembus Biku di pedalaman karst, bisa ditapak dari kampung Bunga Eja sekitar 4 jam perjalanan. Tapi perjalanan akan lebih singkat jika melaluinya dari kapung Bonto-bonto di Pangkep, sekitar 2 jam, yang bagi penduduk kampung tak sampai sejam.

Baik dari Bonto-bonto dan Bunga Eja, irisan punggungan karst menuju Rammang-rammang menjadi lebih dekat. Berkali-kali di antara koridor yang diapit tebing karst, saya menerobos belukar untuk menelusuri jalan, rasanya menyenangkan meski membuat lelah.

Di Kampung Berua, kawasan wisata Rammang-rammang, di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, bukan hanya soal menikmati keindahan alamnya. Di salah satu tebingnya, ada Leang Pasaung, gua yang halaman depannya acapkali dilintasi pelancong. Tak banyak yang memasuki dan menelisik dindingnya. Tapi berdiri di mulut Pasaung, menjejak sedimennya, ada rahasia jejak manusia penghuninya tersimpan di dalamnya.

Tahun 2003 hingga tahun 2007, para arkeolog melakukan penggalian di situs itu. Mereka menemukan beragam temuan. Lapisan tanah yang menakjubkan yang memberi banyak pengetahuan mengenai hunian manusia. Meski demikian kondisi permukaan Pasaung saat ini, nampaknya telah mengalami perubahaan struktur lantai. Ada bekas erosi yang diakibatkan oleh banjir, dimana ditemukan kerikil sungai dalam lapisan tanah.

baca : Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi

 

Pelataran Leang (gua) Pasaung, di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulsel. Foto : cagarbudaya.kemdikbud.go.id

 

Jika melihat stratigrafi gua Pasaung, lapisan atas hingga 100 sentimeter merupakan tanah coklat bercampur larutan kapur. Lapisan yang diperkirakan dimana okupasi manusianya telah mengenal teknologi gerabah, alat serpih dan mata panah (Maros Point), serta telah mengkonsumsi kerang. Lapisan ini juga menjelaskan konsumsi binatang darat dengan aktivitas pembakaran berupa sisa arang.

Selanjutnya lapisan tanah dengan kedalaman 100-170 sentimeter, dianggap lebih awal, karena sudah tak ditemukan gerabah. Lapisan ini menjelaskan okupasi manusia pendukungnya dengan temuan kerang laut yang dominan, kerang darat, binatang darat (babi, monyet, kelelawar dan tikus) dan Maros Point. Lapisan 170-200 sentimeter dominasi temuannya adalah kerang laut jenis Placuna Epidhium sekitar 90 persen.

Temuan kerang Placuna ini juga menjelaskan bagaimana manusia pendukungnya mendapatkannya ketika sungai di sekitar pemukiman Pasaung, terjadi arus pasang surut yang membawa jenis kerang tertentu. Karena jarak gua dengan pesisir hanya sekitar 7 km.

Lapisan selanjutnya pada kedalaman 200 – 260 sentimeter, yang merupakan tanah lempung berwarna coklat kehitaman. Pada lapisan tanah ini, ditemukan beragam jenis kerang laut. Hal lain pada lapisan ini terdaapat temuan flowstone (larutan gamping yang membatu mengandung kristal) yang sangat baik untuk pertanggalan atau dating serta ditemukan sedikit alat batu.

Lalu pada kedalaman 260-600 sentimeter, yang merupakan tanah lempung (alluvial) berwarna merah kecoklatan merupakan lapisan okupasi dengan kandungan kerang darat (fresh water) yang dominan dan sedikit bercampur kerang laut serta fragmen tulang binatang. Diantara lapisan ini juga ditemukan juga ditemukan alat batu serta sepihan batuan sungai yang kemungkinan difungsikan untuk memecah kerang.

menarik dibaca :  Seni Ukir Purba dari Karst Maros

 

Moluska jenis Brotia sp. yang ditemukan di perairan air tawar di sekitar kawasan karst Maros Pangkep. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Tapi secara umum, babakan lapisan okupasi manusia di Gua Pasaung dapat dibagi menjadi tiga. Dari lapisan pertama hingga kedalaman 120 cm, disebut sebagai periode hunian Austronesia yang salah satu penandanya adalah terdapat tembikar. Babakan kedua pada kedalaman 120 – 340 cm adalah periode Toala dengan salah satu unsur pentignya adalah Maros Point. Dan 340-600 cm adalah masa plestosen.

Data lapisan ini juga kemudian menunjukkan kondisi lingkungan pada masa awal hunian periode Plestosen, sisa makanan yang ditemukan dominan kerang air tawar. Periode hunian ini memungkinkan karena terjadi perubahaan iklim yang ekstrem atau disebut sebagai puncak jaman es terakhir (last glacial maximum).

Puncak periode jaman es ini terjadi antara 24 ribu hingga 18 ribu tahun lalu. Permukaan air laut surut jauh dan bibir pantai menjadi lebih jauh dari yang ada saat ini. “Penjelasannya adalah, pada periode Toala ada banyak kerang laut dan bakau yang ditemukan. Dan pada periode Plestosen kerang didominasi kerang air tawar,” kata Basran Burhan, arkeolog Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya, kata Basran, pentingnya sedimentasi pada setiap situs seperti membuka lembaran pengetahuan, bukan hanya pada artefak tinggalan manusia, tapi memberikan gambaran kronologis mengenai kondisi lingkungan pada masa itu hingga saat ini.

baca juga : Temuan Ini Ungkap Manusia Maros 2.750 Tahun Lalu

 

Maros point atau mata panah yang di temukan di Leang Jarie, pada kedalaman 120 cm. Usianya diperkirakan 7.000 hingga 4.000 tahun lalu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Menghidupkan Kampung Purba

Tapi gua Pasaung bukan hanya artefaknya yang tertimbun dalam tanah, melainkan juga mempunyai lukisan cap tangan. Diperkirakan lukisan itu dibuat pada masa awal okupasi manusia.

Gua Pasaung diperkirakan telah dihuni sejak 30 ribu tahun lalu, bersamaan dengan periode zaman es terakhir. Dan mengunjunginya kembali, menjadi seperti melahirkan sensasi purba. Rasanya sulit menjelaskannya dengan kalimat. Tapi gambarannya adalah udara hangat yang menyelimuti Kampung Berua jelang malam, kelelawar yang terbang keluar dari gua huniannya di tebing karst, hingga kicau burung, adalah nuansa yang hangat.

Orang-orang Kampung Berua, menciptakan kisah dan menjaga kampung itu tetap ada. Mereka bercocok tanaman, mencari kerang di sungai, dan merawat alamnya dengan sabar. Ketika kampung itu berubah menjadi tempat wisata, warga perlahan berubah. Tak ada lagi yang mandi di aliran sungai. “Malu saja. Padahal mandi di sungai itu menyenangkan,” kata Darwis penduduk di Berua.

Berua adalah kampung dalam kawasan wisata Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros. Sebuah wilayah administratif yang batasannya antara tebing karst dan pesisir laut. Data eksplorasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan tahun 2021, menemukan terdapat 40 situs di areal tersebut.

Rammang-rammang akhirnya menjadi tempat yang dikelilingi oleh situs purbakala dengan beragam temuan dan menunggu rahasianya terbuka. Salah satu temuan lukisan terbaru berada di situs Leang Bawaleang. Lukisan tangan yang berwarna merah tua dan diperkirakan berumur Plestosen, sekitar 30 ribu tahun yang lalu.

baca juga : Misteri Mata Panah dan Kerangka Manusia di Maros

 

Lukisan cap tangan, di leang Jarie. Arah tangan yang jarinya ke bawah, usianya 30.700 tahun lalu. Telapak dengan jari ke atas 39.400 tahun lalu. Usia lukisan terpaut hampir 10.000 tahun. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Di tengah deru mesin yang bising dan laju perahu yang lambat, saya bisa menyentuh pelepah nipah. Tumbuhan yang tergolong dalam ekosistem mangrove itu, menjaga abrasi sungai itu sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Dan para pelancong mengaguminya sejak Rammang-rammang menjadi kawasan wisata tahun 2016.

Pariwisata akhirnya membuat perubahaan pada kawasan itu. Di kampung Berua yang menjadi tujuan utama perjalanan susur sungai sebagai jualan pariwisata, berbenah. Jalan setapak dari tempat menambatkan perahu di pugar, di bangun jalan dengan balok kayu untuk para wisatawan berjalan tanpa harus mengotori alas kakinya. Pada awal Maret 2022, pukul 06.30 beberapa wisatawan sudah datang ke Berua. Mereka berjalan-jalan dan menikmati udara pagi. Sementara para penduduk lebih awal turun ke sawah dan beraktivitas di rumah.

Warung-warung mulai terbuka. Kampung Berua telah menjelma, bukan lagi tempat yang terpencil, tapi menjadi tempat tujuan wisatawan. Pariwisata akhirnya membawa dua sisi yang terus saja saling bersinggungan, termasuk ekonomi. Tapi Kampung Berua, tidak lah bersendiri. Kawasan itu merupakan bagian dari lansekap karst yang membentang hingga 44.000 ha.

Bentangan yang seharusnya dilihat dalam sebuah konsep pemukiman besar. Data terakhir BPCB Sulawesi Selatan, menemukan ada 590 situs gua prasejarah di bentangan ini. Gua Pasaung dan Batu Tianang adalah salah satunya.

baca : Inilah Makanan Manusia Purba Sulawesi

 

Situs Batu Tianang tidak begitu terekspos oleh wisatawan adalah salah satu simbol perjuangan warga Desa Salenrang menolak tambang beberapa tahun silam. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2010, Fardi Ali, arkeolog dari Universitas Hasanuddin yang melakukan penelitian mengenai gambar cadas perahu pada bidang gua-gua prasejarah Maros Pangkep, menemukan jika gua-gua yang berada di wilayah pesisir disebutnya bercorak akuatik. Ada lukisan yang menggambarkan penyu, ikan, dan perahu, yang menunjukan bagaimana kondisi lingkungan saat itu.

Sementara gua-gua yang berada di pedalaman, melukiskan binatang besar seperti babi, anoa, atau figur manusia. “Gua Pasaung, Batu Tianang, Leang Bulu Ribba, dan Bulu Sipong, jika melihatnya secara lansekap, letaknya tentu berdekatan,” kata Fardi.

“Saat ini, jaraknya menjadi berjauhan, karena kita mengikuti jalan. Tapi jika melihatnya dalam lansekap masa lalu, ada koridor yang menghubungkannya. Dan itu sangat memungkinkan.”

Apa yang diucapkan Fardi terkonfirmasi, ketika saya mencoba menelusuri rute koridor antara Gua Pasaung menuju kampung Balocci di Pangkep. Jaraknya dengan berjalan kaki tak lebih dari 2 jam. Di Balocci, ada banyak gua yang menjadi situs prasejarah. Salah satunya adalah Sumpang Bita dengan gambar binatang darat dan ikan.

Dari arah lain, koridor yang menghubungkan Gua Pasaung menuju kawasan kompleks situs prasejarah Leang-leang, dan menuju Leang Timpuseng yan juga cukup terjangkau.

baca juga : Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

Panorama Kampung Berua, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Di kampung Minanga Sangkarra, tempat muara sungai Rammang-rammang berakhir sebelum menyatu ke selat Makassar, puncak tertinggi Bulusaraung, dalam bentangan karst itu terlihat jelas. Pemandangan itu jelas memukau, bagi ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1902, hingga saat ini, teka teki dalam belantara itu terus ditelisik. Dari mulai peradaban manusia, flora dan fauna, hingga aliran air bawah tanahnya yang membantu kota Makassar mendapatkan suplai air bersih tiap tahun.

Di antara belantara tebing batu itu, pengetahuan menghampar seperti tak berujung. Rammang-rammang telah menjadi nama sebuah kawasan, kelak apakah bertahan? Semua orang yang pernah menjejaknya selayaknya menjadi penjaga.

 

 

Exit mobile version