Mongabay.co.id

AZWI Ajak Hentikan Solusi Palsu Pengelolaan Sampah Plastik

 

Kampanye membatasi produksi dan penggunaan sachet digaungkan. Kemasan sekali pakai yang mewarnai toko-toko retail ini dianggap mengandung bahan kimia berbahaya dan salah satu jenis sampah plastik terbanyak dari audit merek (brand audit) yang dilakukan selama ini. Bahkan, upaya daur ulang juga dinilai belum berhasil dan menimbulkan masalah baru.

Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) memulai kampanye Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet ini pada jumpa pers di Jakarta, 17 Juli 2022 lalu. AZWI terdiri dari 10 lembaga lingkungan yakni YPPB, Walhi, GreenPeace, Nexus3, PPLH Bali, Ecoton, GIDKP, Gita Pertiwi, Nol Sampah Surabaya, dan ICEL.

Miko Alino, koordinator gerakan global Break Free From Plastics mengatakan penggunaan sachet di Asia Tenggara sangat tinggi. Banyak perusahaan yang mempromosikan sachet dan perlu usaha besar untuk membersihkan kemasannya. “Perlu model bisnis untuk mengurangi karena itu solusi yang salah. Mereka harus berhenti investasi di false solution ini,” urainya.

Rahyang Nusantara, Co-Coordinator AZWI melanjutkan, kampanye baru ini akan diisi dengan berbagai aktivitas untuk mengubah narasi publik. Karena daur ulang tidak cukup, perlu pembatasan signifikan. Miliaran sachet di dunia ini akan bertambah menjadi 1,3 triliun sampai 2027. Karena itu termasuk penyumbang sampah plastik terbesar. Ia berharap penegakan hukum pembatasan sachet lebih ditegakkan karena hal itu melemahkan solusi pembatasan sekali pakai.

baca : Indonesia Kejar Target Bebas Sampah Plastik 2025

 

Jenis kemasan sekali pakai (sachet) dari hasil audit merek sampah plastik yang dilakukan AZWI. Foto : tangkapan layar jumpa pers AZWI

 

Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. Misalnya kemasan pakai ulang. Kampanye stop sachet ini dimulai setelah adanya hasil kegiatan audit merek dan sedang berlangsungnya studi tentang dampak daur ulang secara kimia terkait sachet, penggunaan sachet di fasilitas refuse-derived fuel (RDF), dan senyawa kimia yang terkandung dalam sachet.

Dari hasil audit merek semester pertama tahun ini, produsen sachet dominan di antaranya Wings, Unilever, dan Indofood. Para produsen diminta mengurangi dan meninggalkan sachet. “Warga perlu tahu teknologi yang digunakan dan apakah aman untuk lingkungan,” katanya tentang kandungan kimia berbahaya dalam sachet.

Daru Setyorini, Manajer Pengembangan Proyek Ecoton menambahkan temuan mikroplastik sachet yang selalu muncul dalam riset ekspedisi sungai yang mereka lakukan. Serpihan sampah sachet sudah ada dalam tubuh manusia dalam bentuk mikroplastik. Riset dimulai 2018 dengan sampel ikan, air sungai, dan lainnya. Hasilnya, 103 sampel tinja manusia di Jawa mengandung 20-103 PM/10 gram mikroplastik. Setelah itu menguji polimer, ada 32 jenis polimer mikroplastik yang jadi bahan penyusun sachet multilayer.

Ekspedisi Sungai Indonesia yang dimulai 2021 menemukan sungai tercemar partikel mikroplastik paling berat di Jawa adalah Sungai Brantas, Ciliwung, Bengawan Solo, Citarum, dan Ciujung dengan kisaran kandungan mikroplastik 62-198 PM dalam 100 liter air. Ekspedisi ini akan mendatangi 68 sungai yang dikelola nasional untuk mengambil sampel dan mengukur fisika air dan parameter limbah domestik seperti nitrat dan fosfat.

“Sebagian besar sungai jadi sumber air minum tapi sayangnya sudah terkontaminasi mikroplastik,” lanjutnya. Salah satu upaya mengingatkan pencemaran ini, Ecoton membuat museum sampah plastik di Surabaya dengan berbagai sachet yang mengandung senyawa berbahaya seperti ftalat dan Ethylene Vynyl Alcohol (EVOH).

Kesimpulan brand audit di sungai 9 kota, dengan minimum 500 sampel menyatakan temuan terbanyak adalah produk Unilever. “Perusahaan global yang jadi market leader harus mencegah kebocoran terutama di daerah terpencil,” harapnya. Merek lain adalah Wings, Indofood, dan Danone.

baca juga : Ekspedisi Sungai Nusantara, Ecoton Kirim Pesan Bahaya Pencemaran

 

Sampah yang dibuang sembarangan di tepian sungai atau laut, rawan masuk dan mencemari perairan. Sampah-sampah plastik itu antara lain bisa jadi mikroplastik yang membahayakan. Foto: Ecoton

 

Mochamad Adi Septiono, peneliti Yayasan Nexus3 sedang melanjutkan studi tentang penggunaan bahan kimia berbahaya pada sachet, dilanjutkan bagaimana kondisinya setelah didaur ulang di fasilitas yang memanfaatkan bahan bakar olahan limbah plastik atau RDF. Riset ini meneliti jenis senyawa kimia pada sachet dan risikonya saat didaur ulang atau mencemari lingkungan.

Ada 2 kandungan zat kimia berbahaya yang dicek termasuk senyawa kimia berbahaya, seperti per- and polyfluoroalkyl substances (PFAS). Zat ini ada dalam sachet makanan dan produk sanitasi. Apalagi RDF dalam bentuk pelet dan briket sebagai bahan bakar digunakan di usaha makanan, laundry, PLTU, semen, dan lainnya. Standar nasional atau SNI pelet dan briket sudah ada di sektor energi dan PLTU. Namun untuk usaha kecil belum. Karena itu menurutnya ada risiko kesehatan dan lingkungan bagi bekerja di industri itu.

Rekomendasinya, industri harus menyampaikan ke pengguna produk untuk mengenal senyawa kimia dalam kemasan. Pemerintah melarang penggunaan bahan berbahaya tersebut untuk kemasan terutama yang tergolong POPs. Penggunaan senyawa berbahaya juga dinilai merusak upaya ekonomi sirkular. “Pemerintah harus transparan dalam penyampaian informasi tentang fasilitas pengguna RDF tersebut,” kata Tio, panggilannya.

Sampah sachet yang sudah tertimbun di lingkungan menurutnya harus dibersihkan dan didaur ulang. Namun biayanya tinggi. Kandungan kimia PFAS belum diatur walau berbahaya. Karena itu harus ada pengaturan kandungan kimia yang bisa digunakan.

Pada 2020 pemerintah hendak membangun 34 unit RDF di Indonesia untuk mempercepat pemusnahan sampah plastik. Tio menyebut kondisinya saat ini ada yang masih proses dan sudah lelang. Menurutnya harus diteliti dampak yang ditimbulkan.

baca : Aliansi Global “Break Free From Plastic” Merilis Audit Merek Sampah

 

Hasil dari brand audit yang dilakukan aktivis lingkungan ini mendapatkan ada top tiga perusahaan yang menjadi penyumbang sampah plastik, yaitu Wings Group, Unilever dan Gamble Company. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Masalah Baru dari Daur Ulang

Hermawan Some dari komunitas Nol Sampah Surabaya menambah kegentingan masalah pengelolaan limbah kemasan plastik ini. Ia memaparkan hasil investigasi sejak 2015 di perusahaan daur ulang. Pada 2017 di Jawa Timur ada program daur ulang masif sampah sachet oleh Unilever. Untuk mengumpulkan bahan baku, melibatkan bank sampah dan ditargetkan mampu mengolah 3 ton sachet per hari. Ternyata bermasalah di pengumpulan bahan, dari target 3 ton per hari perlu waktu 1 bulan.

“Perlu pencucian, biaya tambahan besar. Alur pengumpulannya pun dinilai panjang sehingga membuat harga sachet murah,” jelasnya. Ia menunjukkan diagramnya. Dimulai dari pengumpulan rumah tangga, toko, dan dropbox. Kemudian dibeli bank sampah unit, lalu ke bank sampah sektoral, setelah itu ada perusahaan yang mencacah, dikeringkan sebelum didaur ulang.

Masalah lain, sampah sachet ada yang berbahan metalis dan foil, namun sulit dibedakan. Jenis foil tidak bisa didaur ulang. Di sisi lain ada target 3 ton per hari. Selain itu sachet yang dikumpulkan ini dari beragam merek dan merek Unilever malah kurang dari 10%. Terbanyak adalah Wings, Siantar Top, Mayora, Indofood, dan P&G. Ukuran sachet yang kecil menyulitkan pengumpulan, harganya pun murah. Catatan salah satu rumah tangga di bank sampah menunjukkan sachet yang dikumpulkan dalam seminggu sekitar 0,5-2 kg.

Karena rantainya panjang, harga satu kg limbah sachet Rp300 di rumah tangga, lalu bank sampah menjual Rp500/kg, sampai jadi Rp1.500/kg di tingkat pencacahan. Sampah yang terkumpul juga ada foil dan ini akhirnya jadi residu sekitar 40%. Bagaimana nasib residu ini? Sebuah pabrik di Gresik yang mencacah sampah sachet pada September 2018 terbakar dan mengakibatkan sekitar 300 ton plastik terbakar.

Hermawan mengatakan program pengumpulan dihentikan pada 31 Desember 2019. Namun masih ada bank sampah yang beli sachet, tapi saat jual ke bank sampah sektoral sudah tidak bisa. Akhirnya ada yang membakar karena tidak terjual, ditumpuk di gudang, dan ada yang dibuang ke TPA.

menarik dibaca : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Sejumlah warga terlihat memulung di tempat pembuangan sampah (TPA) Kaliori, Banyumas, Jateng, yang kembali dibuka pada pekan lalu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Masalah sachet ini makin panjang, ketika sachet reject atau gagal isi sesuai volumenya, ia menemukan bahwa kemasan ini dibuang dan ada yang menjual. Sachet bisa didaur ulang atau guna ulang seperti kerajinan tapi prosesnya menurutnya tidak ramah lingkungan. Bahkan tak sedikit produk sachet kedaluwarsa yang tak laku banyak dibuang.

Rumitnya mengurai sachet karena lapisannya tak hanya foil dan mentalis, tapi jenis dan kandungan plastiknya pun berbeda. Misal dalam kemasan minuman ada Polivinil klorida (PVC ) yang sangat berbahaya.

“Sachet masalahnya tidak hanya setelah konsumsi, juga sebelumnya saat masa produksi dan distribusi,” ujarnya. Oleh karena itu, produsen disebut harus bertanggung jawab pada sampahnya, dari mengumpulkan sampai mengolahnya.

 

Exit mobile version