Mongabay.co.id

BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah

 

 

 

Memulihkan kawasan atau hutan mangrove yang rusak bukan pekerjaan mudah. Tak hanya presentase keberhasilan kecil, tetapi perlu pendanaan besar untuk ekosistem pesisir ini.

Catatan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), keberhasilan penanaman mangrove mereka pada 2021 hanya 70%-80%. Angka itu pun baru dari hasil evaluasi 13.400 hektar lahan yang mereka tanam, BRGM telah menanam sekitar 34.911 hektar tahun itu.

“Memang keberhasilan rehabilitasi mangrove itu sangat rendah,” kata Satyawan Pudyatmoko, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM dalam media briefing bertajuk Strategi Restorasi Gambut dan Percepatan Rehabilitasi Mangrove 2022 di Jakarta, Selasa (19/7/22).

Dari literatur, katanya, keberhasilan rehabilitasi mangrove bahkan biasa hanya 25%. Itu pun melewati analisis tahun kedua dan ketiga.

Karena itu, rasio keberhasilan penanaman BRGM ini akan diuji lagi tahun berikutnya. “Kan kita harus analisis tidak hanya yang di tahun pertama saja,” katanya.

Faktor utama yang memengaruhi keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah kondisi alam. Tinggi ombak dan abrasi laut menjadi penentu hidup bibit mangrove yang ditanam.

Untuk itulah, rasio keberhasilan penanaman di beberapa tempat dengan ombak dan abrasi yang tinggi hampir 0%. “Jadi di lokasi seperti itu perlu APO (alat pemecah ombak) terlebih dahulu. Kalau langsung tanam ya pasti hilang.”

Dia bilang, banyak penanaman di pantai timur Sumatera rusak karena kondisi alam. Meskipun demikian, upaya rehabilitasi mangrove tak boleh menyerah untuk mengimbangi tingkat deforestasi yang terus terjadi di lahan basah ini.

Per tahun, deforestasi di lahan mangrove mencapai 26.000 hektar. Sebelum ada percepatan, rehabilitasi mangrove selama ini mampu menekan angka deforestasi jadi 12.000 hektar.

“Harapannya, dengan ada BRGM bisa membuat deforestasi itu negatif,” katanya.

 

Muara Badak dulunya merupakan daerah yang penuh mangrove. Foto: [Drone] Yovanda

Pendanaan besar

Tantangan lain dari rehabilitasi mangrove adalah biaya besar. Satyawan menyebut, setidaknya perlu Rp20 juta-Rp25 juta untuk merehabilitasi satu hektar kawasan. BRGM diberikan mandat merehabilitasi 600.000 hektar mangrove di sembilan provinsi sampai 2024.

Pada awal pembentukan, BRGM setidaknya perlu Rp18,4 triliun untuk persiapan, prakondisi, perencanaan dan pembangunan data base rehabilitasi mangrove. Angka ini lebih besar kalau menghitung biaya pemeliharaan, pendampingan dan penguatan ekonomi masyarakat sekitar RP5,8 triliun per tahun.

Sejauh ini, BRGM masih mengandalkan alokasi anggaran dari pemerintah yang tidak akan kuat menopang kebutuhan ini. Untuk 2021, sumber pendanaan dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Walau dari dana ini, BRGM berhasil menanam hampir 35.000 hektar, namun belum ada penyulaman dan pemeliharaan. Sejatinya, dalam setiap upaya rehabilitasi ada langkah penanaman, penyulaman, lalu pemeliharaan tahun pertama hingga ketiga.

“Karena pakai dana PEN, fokus memang pemulihan ekonomi nasional yang masyarakat harus dapat cash cepat,” ucap Satyawan.

Namun, katanya, alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022 untuk rehabilitasi mangrove memungkinkan untuk pemeliharaan. Langkah ini, katanya, akan melihat lagi mangrove di kawasan mana yang mati, kalau memungkinkan akan ditambah lagi dengan bibit-bibit baru sampai 20.000 hektar.

Alokasi APBN juga memungkinkan BRGM untuk penanaman sampai 11.000 hektar tahun ini. Paling cepat, penanaman pada Agustus.

“Tidak boleh akhir tahun karena biasa gelombang besar. Mungkin Agustus, September atau Oktober.”

Terkait pendanaan, setidaknya ada empat sumber pendanaan lain selain APBN yang dinilai bisa membantu percepatan rehabilitasi 600 hektar mangrove sampai 2024. Dana itu dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), dan memanfaatkan mekanisme rehabilitasi daerah aliran sungai oleh para pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan. Juga, bantuan dari swasta hingga pendanaan luar negeri.

Khusus pendanaan luar negeri, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) menjadi pihak yang mencarikan dana itu.

 

Foto udara kondisi mangrove di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang Jawa Barat, Kamis (30/6/2022) lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kus Prisetiahadi, Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kemenko Marinves menjabarkan beberapa kerjasama yang sudah dan akan terjalin untuk pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia.

Pertama, dengan Uni Emirat Arab yang penandatangan memorandum of understanding (MoU) pada Februari lalu. “MoU susulan untuk joint project arrangement pada mangrove development juga sudah pada 1 Juli 2022,” katanya.

MoU antara kedua negara ini akan mendukung pengembangan MBZ International Mangrove Research Center (MBZIMRC) dan Mengrove Alliance for Climate (MAC).

Menurut rencana, Bangka Belitung akan menjadi lokasi kerjasama dengan total usulan seluas 10.000 hektar.

Kedua, akan kerjasama antara Indonesia dengan Arab Saudi untuk merehabilitasi mangrove. Indonesia mengajukan usulan dana US$800 juta untuk merehabilitasi 150.000 hektar mangrove di sembilan lokasi prioritas BRGM. Daerah-daerah itu di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

“Kami sudah mengusulkan, dan mereka saat ini sepertinya sedang mempelajari.”

Ketiga, telah penandatangan MoU antara Indonesia dengan Singapura dalam mendukung perubahan iklim dan keberlanjutan pada 21 Maret lalu. Kerjasama ini akan mengembangkan riset blue carbon sebagai solusi mitigasi perubahan iklim.

“Indonesia akan mengusulkan beberapa alternatif lokasi untuk pilot project.”

Keempat, World Bank dan pemerintah Indonesia akan menjalin kerjasam dalam proyek mangrove for coastal resilience (M4CR) yang berfokus pada program rehabilitasi mangrove, konservasi dan pengembangan masyarakat pesisir. Proyek ini, akan dilakukan di Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dengan bantuan loan US$400 juta dan hibah US$19 juta.

Terakhir, Indonesia akan terjalin kerjasama bagi pengembangan blue carbon dengan Korea Selatan. Kedua negara ini telah melaksanakan seminar Blue Carbon Expert 20 Juni lalu.

“Kita butuh smart grant seperti ini. Ada campuran dari pemerintah, filantrofi, private sector hingga investor,” kata Kus.

 

Mangrove di batam, malah dirusak untuk pembangunan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

***

Di Indonesia, pengelolaan mangrove ditangani oleh banyak instansi. Satyawan mengatakan, kajian World Bank menemukan ada 20 institusi yang mengelola mangrove di Indonesia.

Tumpang tindih kebijakan kerap terjadi. Yang terbaru, program revitalisasi tambak oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) dinilai kontraproduktif dengan rehabilitasi mangrove.

Selama ini, tambak dinilai biang keladi alih fungsi kawasan mangrove. BRGM mencatat dari 700.000 hektar kawasan mangrove hilang, 631.000 menjadi tambak. Ia terjadi baik di dalam kawasan hutan maupun area penggunaan lain.

Untuk meminimalisasi tumpang tindih, BRGM memperkenalkan pendekatan pengelolaan berbasis lanskap dalam konsep kesatuan lanskap mangrove (KLM).

Secara definisi, KLM merupakan unit pengelolaan mangrove yang secara spasial ditentukan substrat, sistem lahan dan kondisi sesuai untuk habitat mangrove beserta sistem sosial ekonomi yang berinteraksi erat dengan ekosistem mangrove dan batas yurisdiksi.

Untuk luasan, KLM ditentukan batas ikonik berupa sungai besar, laut dan, atau kenampakan geomorfologi. Sejauh ini, sudah ada 130 KLM diusulkan BRGM.

Sama seperti istilah kesatuan hidrologis gambut (KHG), KLM ini akan menentukan zonasi dari tiap lanskap. Zonasi itu terbagi menjadi zona budidaya bisa menjadi tambak dan ekowisata, serta zona lindung.

Zona lindung dibagi menjadi empat, yaitu, fringe lindung atau mangrove yang menghadap laut lepas, dan basin lindung atau mangrove di dalam rawa. Juga, riverine lindung atau mangrove di tepi sungai dan jalur hijau mangrove yang merupakan kawasan pesisir yang menjadi habitat alami mangrove.

“Kami ingin tiap stakeholders di dalam lanskap mangrove saling bersinergi, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain,” kata Satyawan.

Kus menyebut konsep ini sedang dibahas di tingkat nasional. Nantinya, dengan KLM rehabilitasi tak lagi berfokus pada area yang ditanam, tetapi satu lanskap.

“Nanti rehabilitasi tidak hanya pada luasan yang ditanami, juga satu kesatuan yang dikonservasi dan kegiatan lain dalam satu lanskap.”

Dia katakan, dengan banyak instansi mengelola mangrove maka sedang dibangun dashboard khusus yang bisa menampilkan informasi rehabilitasi dari tiap kementerian dan lembaga. Dengan demikian, baik BRGM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan KKP akan memasukan aksi rehabilitasi mereka.

Berdasarkan catatan, kombinasi data rehabilitasi ketiga K/L itu pada 2021 mencapai 60.000 hektar.

 

Butuh satu minggu memadamkan api yang berkobar di gambut Rawa Tripa ini.

 

Bagaimana restorasi gambut?

Untuk restorasi gambut, BRGM telah melakukan berbagai aspek yang membuat ekosistem gambut seluas 300.346 hektar tetap basah pada 2021. Langkah yang dilakukan antara lain membangun 110 sumur bor, 774 sekat kanal, 910 hektar revegetasi dan 279 paket revitalisasi di tujuh provinsi.

Pada 2022, BRGM akan membangun 80 sumur, 440 sekat kanal hingga revegetasi di lahan gambut seluas 347 hektar. “Kami juga akan memberikan 158 paket revitalisasi,” kata Agus Yasin, Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi BRGM.

KLHK mencatat dari 24 juta hektar lahan gambut di Indonesia, 65,45% atau 15 juta hektar berstatus rusak ringan. Gambut berstatus masih baik atau tidak rusak ada 4 juta hektar, kategori rusak sedang 3 juta hektar dan rusak berat 1 juta hektar serta 200.000 rusak sangat berat.

“Angka ini menjadi penetapan prioritas pemulihan ekosistem gambut pemerintah,” kata Sigit Reliantoro, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK.

Pemerintah, tahun lalu juga mulai mengintegrasikan indeks kualitas ekosistem gambut (IEKG) dalam Indeks Kualitas Lahan. Dalam IEKG, setiap daerah yang memiliki ekosistem gambut dinilai berdasarkan dampak kebakaran dan kanal di ekosistem gambut itu.

Dari hasil analisis IEKG, terdapat sembilan provinsi memenuhi target kualitas ekosistem lahan gambut yakni, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat.

Provinsi yang dinilai tak memenuhi target 10 daerah, yaitu Aceh, Bengkulu, Kepulauan Riau, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

“Data masih satu tahun, jadi belum kelihatan tren naik atau turun. Mungkin tahun ini atau tahun depan akan dapat terlihat kinerja mereka dan data lebih lengkap lagi.”

 

 

 

 

Exit mobile version