Mongabay.co.id

Bisakah Kita Menyelamatkan Harimau Sumatera ?

Harimau sumatera terpantau kamera jebak/trap di Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto: Fauna & Flora International/TNKS

 

 

Rangkaian peringatan Global Tiger Day 2022 di Bengkulu pada Rabu, 20 Juli 2022, patut diapresiasi. Pada acara itu, dihadirkan mantan 15 pemburu harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] yang berasal dari Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan. Mereka mendeklarasikan berhenti total melakukan perburuan. Bahkan, berjanji akan menjadi penjaga populasi harimau yang ada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS].

Deklarasi bertobatnya pemburu tersebut diinisiasi Yayasan Lingkar Inisiatif, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada konservasi, khususnya penyelamatan harimau sumatera.

Menurut Iswadi, Direktur Lingkar Inisiatif, gagasan untuk mengumpulkan mantan pemburu harimau sumatera sudah dirintis dua tahun lalu.

“Pertemuan intensif dan proses pembinaan rutin menjadi kunci kesadaran para pemburu untuk berhenti dari aktivitas negatif mereka,” ujarnya, pada webinar “Perlindungan Harimau Sumatera dengan Pendekatan Norma dan Agama” pada Rabu [20/07/2022].

Baca: Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan

 

Harimau sumatera terpantau kamera jebak/trap di Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto: Fauna & Flora International/TNKS

 

Mawi adalah peserta yang ikut deklarasi pertobatan. Lelaki dari Desa Muara Tiku, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan itu, sudah 47 tahun menjadi pemburu.

Seingat dia, pertama berburu harimau saat berusia 14 tahun, sekitar 1974. Alasannya, faktor ekonomi. Ia menikah muda, harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Mawi tidak punya pekerjaan tetap, tidak bisa bertani, serta tidak memiliki ladang dan kebun untuk digarap.

Mawi bukan pemburu pembawa senapan. Dia berbekal pisau, sling baja, korek api, jas hujan, dan cairan spiritus. Saat berburu, Mawi tinggal di hutan selama beberapa pekan. Mawi tipikal pemburu pantang pulang jika tak mendapatkan harimau.

Perburuan terakhirnya pada 2018. Saat itu, dia mendapatkan seekor harimau dewasa.

“Kita lakukan pendekatan humanis. Seluruh pemburu yang bertobat ini akan aktif dalam pelestarian populasi harimau, nantinya. Pendekatan humanis ternyata bisa dilakukan di atas paradigma pendekatan hukum,” kata Iswadi.

Lingkar Inisiatif juga sudah bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia [MUI], sejak 2017, untuk melakukan pendekatan terhadap para pemburu dari segi agama. MUI Kabupaten Lebong, Bengkulu, meminta khatib dan imam masjid menyerukan larangan perburuan dan perdagangan harimau sumatera. Dengan pendekatan agama, para pemburu diharapkan lebih cepat tobat dibandingkan dengan diancam kurungan penjara.

Di Sumatera, sebagian besar masyarakat memiliki keterikatan emosional dengan harimau. Mereka menyebut harimau dengan panggilan Nenek, Inyiak, Datuk, hingga Puyang. Penghormatan ini seharusnya menjadi jalan untuk menjaga kelestarian habitat dan populasi harimau sumatera yang berstatus terancam punah.

Baca: Home for All: Manusia Harus Berbagi Ruang Hidup dengan Harimau Sumatera

 

Harimau sumatera yang statusnya Kritis. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Berpacu dengan kepunahan

Erni Suyanti, Ketua Forum HarimauKita, menjelaskan saat ini jumlah estimasi seluruh harimau sumatera sekitar 568 individu.

“Tiga puluh lima jumlah minimal yang dapat sintas di satu bentang alam,” terangnya, di acara yang sama.

Sebuah studi simulasi viabilitas harimau sumatera melalui analisis kesintasan populasi [Population Viability Analysis] oleh Forum HarimauKita pada 2016, diketahui lanskap harimau yang masih memiliki populasi harimau hanya 23 bentang alam.

Dari bentang alam ini dibuat tiga kategori daya tampung. Pertama, daya lingkungan besar yang berada di bentang alam Bukit Barisan terbentang dari Aceh hingga Lampung. Kedua, daya lingkungan sedang yang berada di bentang alam Sumatera Tengah. Ketiga, daya lingkungan kecil, yaitu bentang alam kecil dan rawa gambut yang berada di bagian timur Sumatera.

Baca juga: Harimau Sumatera Mangsa Ternak Warga di Bengkulu, Habitat Terganggu?

 

Berbagai jenis dan ukuran jerat yang dipasang pemburu ini ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser. Sasarannya harimau, gajah, dan rusa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Population Viability Analysis adalah proses dan seperangkat alat kuantitatif yang bertujuan memerkirakan probabilitas bahwa populasi, atau kumpulan populasi, akan bertahan selama beberapa waktu tertentu dalam lingkungan tertentu.

Ancaman utama harimau sumatera adalah deforestasi, perburuan dan konflik. Jika deforestasi dan perburuan tetap terjadi seperti saat ini, maka 100 tahun ke depan populasi harimau di bentang alam kecil memiliki peluang kepunahan 100 persen.

Pada bentang alam sedang, ancaman kepunahan sebesar 83 persen. Hanya populasi harimau di bentang alam besar yang mampu bertahan dengan kepunahan rata-rata 31 persen.

Namun, jika ancaman itu dihilangkan, peluang kepunahan pada salah satu lanskap sedang dan semua lanskap besar dapat berkurang. Contohnya, Lanskap Batang Hari dan Bukit Barisan Selatan.

Lalu selain menghentikan ancaman, apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesintasan?

Jawabannya adalah dengan menjalankan mekanisme dispersal alami, yaitu melalui mekanisme koridor antar-bentang alam yang mendukung perpindahan populasi secara alami.

Berikutnya, melalui translokasi, tentu dengan populasi besar sebagai sumbernya [alami dan holding facility]. Paling penting adalah melalui perlindungan terhadap populasi kecil untuk dapat menjadi sumber keragaman genetik.

 

Exit mobile version