- Film dokumenter berjudul Home for All berhasil menyabet juara 1 kategori Living With Wildlife, International Wildlife Film Festival 2021.
- Festival ini dilaksanakan di Missoula, Minnesota, Amerika Serikat, tanggal 17 April – 15 Mei 2021.
- Home for All diproduksi oleh Forum HarimauKita, lembaga independen yang fokus menjaga kelestarian harimau sumatera di Indonesia. Film ini berkisah tentang interaksi positif masyarakat dengan harimau sumatera dalam konteks berbagi ruang hidup.
- Harimau sumatra berstatus Kritis [Critically Endangered]. Satwa liar ini dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Namanya Latif. Seorang petani dari Talang Sebelas, Desa Rajabasa, Pesisir Barat, Lampung. Sekitar 300 meter dari kebunnya, ada jalan simpang tiga menuju desa. Simpang itu kerap dilintasi harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae].
Desa lelaki paruh baya itu memang berada di sekitar habitat harimau, yaitu di pinggiran Taman Bukit Barisan Selatan [TNBBS]. Namun Latif tak takut, ia percaya harimau tidak menganggu manusia selagi masih ada hutan sebagai habitatnya dan tempat mencari makan.
Dengan adanya harimau, Latif malah senang, sebab si kucing besar itu akan menjaga ladangnya dari gangguan babi hutan.
Rumah Latif pun pernah dimasuki harimau. “Si belang itu memangsa anjing pemburu yang menginap di rumah.”
Di lain waktu, malam hari, kambing peliharaan Latif terlihat resah. Anehnya kambing itu, hanya menghentakkan kaki saja. Latif curiga. “Saya langsung mengintip dari rumah. Saya senter kandang itu, benar saja ada harimau di sana.”
Setelah disenter harimau pun pergi.
Baca: Masa Depan Harimau Sumatera di Tangan Kita
Home for All
Wasis Setya Wardhana mengisahkan hidup Latif itu dalam film Home for all. Sebuah film yang diproduksi oleh Forum HarimauKita, sebuah lembaga independen yang fokus menjaga kelestarian harimau di Indonesia.
“Latif adalah contoh masyarakat yang memiliki interaksi positif dengan harimau sumatera dalam konteks berbagi ruang hidup,” kata sutradara lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Soedirman itu, Ahad [13/6/2021].
Bagi Wasis, kesadaran Latif itu karena ia mempunyai pengetahuan tentang harimau yang cukup baik. Pengetahuan itu ia dapat lantaran kerap bertemu dengan harimau.
“Kami mengakali pembagian fase waktu untuk manusia dan harimau. Jadi jam edar harimau itu jam 5 sore hingga jam 5 pagi,” terang Latif dalam film Home for All.
“Supaya tidak ada interaksi dengan manusia, jam edarnya kan tinggal menyesuaikan. Warga tinggal membikin kesepakatan, pokoknya kalau pulang dari ladang sebelum jam 5 sore,” lanjutnya.
Selain itu, lanjut Latif, masyarakat sekitar hutan juga mengamati waktu maraknya harimau datang ke desa, ketika musim panen padi. Sebab, pada musim panen itu, babi hutan pada datang.
Sesungguhnya hama babi ini bisa dihalau masyarakat dengan menggunakan jaring, namun masyarakat sadar bahwa jaring ini juga akan berpeluang besar menjerat harimau.
“Akhirnya kami menggunakan pecing, yaitu darah atau rambut babi hutan yang dipasang di bambu kemudian ditancap di sekeliling sawah.”
Cara ini efektif membuat babi takut mendekat. Dengan tidak mendekatnya babi, otomatis harimau juga tidak datang.
Baca: Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?
Simbol optimisme
Wasis juga menjelaskan, para tokoh yang dihadirkan dalam film ini menjadi simbol optimisme, bahwa konsep berbagi ruang hidup bersama harimau sumatera adalah solusi dalam upaya pelestarian satwa kharimastik ini.
“Pesan optimis dan positif dalam memaknai interaksi manusia dengan satwa, khususnya harimau sumatera, dalam film ini juga menawarkan perspektif baru kepada masayrakat. Ini tentunya di tengah terpaan pemberitaan tentang harimau sumatera yang lebih didominasi pada interaksi negatif [konflik] dan distorsi informasi tentang satwa dilindungi tersebut,” ujarnya.
Produser film Home for All, Fahrul Amama menambahkan, cerita film ini bukan tentang habitat harimau saja, tetapi juga kehidupan masyarakat di sekitar hutan, yang sama-sama bergantung dengan sumber daya hutan.
“Karena hidup di bentang alam yang sama, manusia dan harimau kemudian berinteraksi, baik dalam interaksi positif maupun negatif,” kata Fahrul.
Perebutan ruang dan sumber daya antara manusia dan harimau menimbulkan interaksi negatif yang kita sebut konflik.
Di sisi lain, masih ada masyarakat tradisional di Sumatera yang menaruh respek terhadap harimau dan menempatkan harimau sumatera sebagai makhluk ilahiah. Mereka mau berbagi ruang hidup dalam bentang alam yang dijadikan rumah bersama, dan melakukan mitigasi konflik maupun beradaptasi agar bisa hidup berdampingan dengan prinsip koeksistensi.
Realita inilah yang ingin diangkat oleh Forum HarimauKita dalam sebuah film, sebagai tayangan yang diharapkan dapat memancing diskusi maupun dialog. Terutama, upaya berbagi ruang antara manusia dan harimau sumatera.
“Film ini juga ingin menyampaikan kisah tentang harimau sumatera dengan perspektif yang agak beda. Dari sudut pandang yang bisa melihat sisi lain harimau sumatera, serta memberi ruang bagi masyarakat di sekitar kawasan untuk menyuarakan pendapatnya.”
Selama ini kalangan pegiat pelestarian harimau sumatera lebih banyak mengungkap aspek ekologi dan konservasi. Tentang bagaimana kondisi populasi dan distribusinya, perkembangbiakannya, perilaku, serta tekanan dan ancaman terhadap kelestariannya.
Sementara, kalangan media lebih banyak mengangkat aspek negatif dari konflik manusia dengan harimau. Terkadang, pemberitaan tentang konflik manusia dengan harimau kurang berimbang, karena aspek aktual dan dramatis yang lebih banyak dieksploitasi.
Sementara, aspek faktual serta informasi mengenai latar belakang konflik dan bagaimana interaksi antara manusia dengan harimau tidak banyak ditelaah lebih dalam.
Dalam konteks budaya, beberapa daerah di Sumatera menganggap harimau adalah datuk atau nenek moyang. Dipercaya, kehadiran harimau adalah bentuk keseimbangan alam, petanda positif terhadap manusia.
Dalam film ini, kepercayaan itu direpresentasikan melalui masyarakat Desa Talang Beringin, Seluma, Bengkulu, yang menganggap harimau subagai puyang [leluhur, datuk] yang harus dihormati. Tidak boleh diganggu keberadaannya.
“Ini adalah kearifan lokal yang bisa menjadi modal dasar dalam mengembangkan praktik-praktik berbagi ruang hidup bersama harimau sumatera.”
Baca: Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang
Juara festival film internasional
Kabar baiknya, film dokumenter ini berhasil menyabet juara 1 kategori Living With Wildlife, International Wildlife Film Festival 2021. Festival ini dilaksanakan di Missoula, Minnesota, Amerika Serikat, tanggal 17 April – 15 Mei 2021.
Karya film ini menyingkirkan 300 peserta dari berbagai negara yang mengikuti kompetisi tersebut.
“Pengambilan gambar film ini dimulai tahun 2019. Hingga akhirnya selesai, menjadi film Home for All, awal 2021,” kata Fahrul.
Ketua Forum HarimauKita, Ahmad Faisal menjelaskan, melalui film ini pihaknya ingin menyampaikan kepada masyarakat yang tinggal dekat habitat satwa seperti harimau, harus mulai belajar untuk hidup berdampingan. Dengan begitu, konflik manusia dengan satwa dapat dihindari.
“Masyarakat jangan panik,” katanya.
Menurut dia, harimau sebenarnya cenderung menghindari aktivitas besar yang tidak nyaman. Hal yang harus dilakukan masyarakat adalah penyesuaian seperti tidak beraktivitas setelah matahari terbenam. Ini dikarenakan hewan predator itu mulai aktif setelah senja dan akan mencari mangsa di sekitar wilayah jelajahnya.
Masyarakat juga harus membiasakan diri untuk berpergian secara kelompok jika berada di dekat area jelajah harimau.
Semoga, kedepannya masyarakat dapat hidup berdampingan dengan satwa liar tersebut. “Tentu tidak hanya harimau, tapi juga satwa lainnya seperti gajah, orangutan, dan sebagainya.”
Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi
Habitat
Dalam Jurnal Biodiversitas, Volume 9, Nomor 3, Juli 2008, berjudul “Keberadaan Harimau Sumatera [Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929] dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera” karya Yoan Dinata dan Jito Sugardjito, diketahui predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5-6 kg daging. Sebagian besar [75%] merupakan hewan mangsa dari golongan rusa, babi hutan, dan lainnya.
“Daerah jelajah harimau sumatera jantan diketahui hingga 110 km persegi dan betinanya mempunyai kisaran jelajah antara 50-70 km persegi. Daerah-daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara individu harimau,” tulis Yoan Dinata dan Jito Sugardjito.
Namun masalahnya, alih fungsi kawasan hutan secara besar-besaran menyebabkan hilangnya habitat hutan atau terpotongnya blok kawasan hutan.
“Kompetisi ruang dan sumber pakan antara manusia dan harimau telah mendorong masyarakat untuk memusuhi dan membunuh satwa ini. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara dramatis di Asia.”
Secara frekuensi perjumpaan, hewan mangsa antara setiap tipe habitat hutan secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Meskipun, cenderung lebih banyak dijumpai pada dataran rendah.
Tanda-tanda bekas kehadiran harimau sumatera dapat dijumpai merata di semua habitat hutan dataran rendah, perbukitan, dan pegunungan. “Jarak dari tempat permukiman adalah faktor terpenting yang mempengaruhi frekuensi perjumpaan hewan mangsa.”
Daerah yang jauh dari permukiman mempunyai frekuensi perjumpaan hewan mangsa yang tinggi. Letak habitat hutan yang berdekatan dengan alur sungai, habitat hutan yang aman dari perburuan binatang dan bebas dari penebangan pohon merupakan lokasi yang sering terdapat tanda-tanda bekas kehadiran harimau.
Namun saat ini populasi harimau semakin terancam oleh perburuan dan perdagangan ilegal. Jerat menjadi momok mengerikan bagi sang raja rimba.
Harimau sumatera merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Berdasarkan IUCN, hewan yang hidup soliter ini berstatus Kritis [Critically Endangered]. Terganggunya populasi harimau sumatera di alam akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem karena satwa ini merupakan predator penting dalam rantai makanan.