Mongabay.co.id

Perubahan “Rupa” Sungai Rangkui yang Menjauh dari Masyarakat

 

 

Dalam ingatan masyarakat Kota Pangkalpinang, Sungai Rangkui yang berhulu di Perbukitan Mangkol [Bangka Tengah], airnya jernih. Berbagai spesies ikan air tawar, seperti kelik puteh, pala pinang, dan betutu, mudah ditemukan di sungai yang panjangnya sekitar 7,36 kilometer. Bagaimana kondisi sungai yang melintasi Kota Pangkalpinang pada saat ini?

Berubah. Tidak ada lagi gelak tawa anak-anak bermain air atau para tetua adat yang bermain dambus di pinggiran sungai. Semuanya tergantikan deru suara mesin tambang timah di hulu dan hilir sungai. Airnya keruh, ikan-ikan kian menjauh.

Perubahan yang terjadi pada Sungai Rangkui ini disajikan sebelas perupa muda dalam pameran seni yang diselenggarakan Vanka Exhibiton dengan tema “Melebur Dalam Rupa” di Move Up Café, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 22-24 Juli 2022.

“Sungai Rangkui yang dulunya sangat dekat, kini menjauh dari kehidupan masyarakat Kota Pangkalpinang,” kata Rivaldo Saputra, kurator pameran, sekaligus mahasiswa ISI [Institut Seni Indonesia] Yogyakarta, Jurusan Tata Kelola Seni, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [27/07/2022].

Baca: Kelik Sulung, “Penghuni” Rawa Gambut Kepulauan Bangka Belitung

 

Sungai Rangkui yang dulunya terhubung dengan Sungai Baturusa sebagai jalur transportasi kapal untuk mengangkut hasil bumi Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pameran ini coba membawa pengunjung mengikuti proses perubahan rupa Sungai Rangkui. Dimulai dari 14 lukisan. Awalnya, pengunjung disuguhkan sebuah lukisan dengan media kanvas dan kopi berukuran 50 x 50 sentimeter. Karya Feriawan ini membingkai bagaimana perasan gurak [bahagia luar biasa] empat anak kecil bermain di tepian Sungai Rangkui.

“Sungai Rangkui dahulu merupakan ruang bermain yang seru bagi anak-anak di Pangkalpinang. Perubahan zaman, perubahan kesenangan dan keseruan,” tulisnya dalam deksripsi lukisan.

Selanjutnya, disuguhkan lukisan barisan perahu yang sempat menjadi sarana transportasi utama di Sungai Rangkui. Ada rupa garis berkelok yang ingin menggambarkan bahwa Sungai Rangkui dulu memiliki 21 anak sungai, seperti Aik Ati, Aik Kujut, dan Aik Tiung.

“Semua alirannya dulunya dimanfaatkan masyarakat untuk mandi, mencuci, hingga sumber air minum, karena kondisinya terjaga. Jauh berbeda dengan sekarang, hampir semua anak Sungai Rangkui menghilang karena pembangunan permukiman,” kata Wahyu Okfiandi, dalam karyanya Meander [kelokan].

Baca: Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka

 

Kelik puteh, diidentifikasi sebagai spesies Clarias batrachus albino. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Akhmad Elvian, sejarawan Kota Pangkalpinang, mengatakan, berdasarkan peta  tofografi 1928, Pemerintah Hindia Belanda membuat aliran Sungai Rangkui menjadi lurus, mulai dari Pintu Air Trem [arah hilir] hingga Pintu Air Tebet [arah hulu]. Pinggiran sungai diberi dinding batu di kanan dan kirinya, berfungsi sebagai kanal pengendali banjir dan air genangan.

“Namun, lanskap sungai yang dibuat lurus, malah berakibat fatal, ditambah kondisi hulu dan hilir yang kini rusak. Sungai memang harus berkelok, bukannya lurus, agar air dari hulu dan hilir bisa tertahan, tidak mengalir langsung menuju muara,” katanya, dalam pembukaan pameran.

Selain fungsi ekologi, dulunya Sungai Rangkui menjadi rumah mentilin, rusa sambar, buaya, serta beragam jenis ikan. Gambaran utopis ini dilukiskan Ahdan Sayid Hikam, dalam karya  berjudul “The Origin Of Rangkui”.

“Ini memori kolektif terkait kerinduan masyarakat Kota Pangkalpinang akan Sungai Rangkui,” kata Ahdan.

Ketika melihat lukisan karya Abdi Rumpoko, perubahan mood mulai terasa, ada sosok anak pegangan ban karet, tetapi raut wajahnya tak sebahagia empat anak sebelumnya. Disebelahnya ada karya abstrak David Fernandez berjudul “Raib”, seolah menjadi puncak chaos dari rangkaian pameran Sungai Rangkui.

Di bagian penutup, terdapat karya berjudul “egosistem”, menampakkan empat spesies ikan yang mulai hilang di Sungai Rangkui.

“Kehancuran habitat bagi sejumlah spesies, dapat menjadi puncak kerusakan di sekitar Sungai Rangkui,” kata David Fernandez.

Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Lukisan berjudul “The Origin Of Rangkui”, coba menggambarkan Sungai Rangkui sebagai rumah bergam satwa air. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya Sungai Rangkui

Saat masa kolonial Belanda, Sungai Rangkui yang terhubung dengan Sungai Baturusa, bermuara ke Laut China Selatan, menjadi jalur transportasi kapal-kapal yang mengangkut hasil bumi dari berbagai wilayah Pulau Bangka, seperti cengkih, lada, hingga timah.

“Sungai Rangkui menjadi saksi. Bahkan, praktik ekstraksi hasil bumi Pulau Bangka masih berlanjut hingga hari ini,” kata David, selaku ketua pelaksana.

Berdasarkan dokumen IKPLHD [Informasi Kinerja Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, tercatat lebih 2.000 sungai di wilayah ini, dengan total panjang 10.514,19 kilometer. Di sisi lain, kandungan timah dan kaolin banyak ditemukan di endapan batuan granit, sehingga daerah sekitar sungai banyak dimanfaatkan sebagai usaha pertambangan.

Dokumen yang sama menyatakan, pada 2019, sekitar 55 persen sungai melebihi baku mutu TSS [Total Suspended Solid] dan 78 persen sungai melebihi baku mutu BOD [Biochemical Oxygen Demand]. Namun pada tahun 2020, parameter TSS melebihi baku mutu hanya terjadi pada tiga lokasi saja atau 11,1 persen, dan tidak ada lokasi yang melebihi baku mutu BOD.

“Kegagalan self purification ini mengidikasikan bahwa sepanjang arus badan air dari hulu ke hilir terus terjadi penambahan beban pencemar TSS dan BOD,” tulis dokumen tersebut.

Sebagai informasi, TSS adalah padatan tersuspensi di badan air sungai, di Bangka Belitung, TSS banyak berasal dari limbah atau tailing aktivitas pertambangan timah. Sementara BOD adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik di air.

Baca juga: Sungai Upang dan Masa Depan Konservasi Pulau Bangka

 

Davind Fernandez saat melakukan pertunjukan teater di Kota Pangkalpinang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Rawan bencana

Hasil analisis BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] dalam dokumen IKPLHD Tahun 2021, menjelaskan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masuk kelas tinggi bahaya banjir. Total, 127.214 hektar lahan terancam banjir, seperti Kabupaten Bangka, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Belitung, dan Kota Pangkalpinang, sedangkan Kabupaten Belitung dan Bangka Barat kategari sedang.

Banyaknya usaha pertambangan yang tidak didukung upaya perbaikan lingkungan, disinyalir menjadi salah satu penyebab banjir.

“Partikel lumpur hasil tambang yang terbawa aliran menyebabkan drainase dan sungai-sungai menjadi dangkal. Jika terus terjadi, daya tampung sungai semakin berkurang dan saat hujan lebat dapat terjadi banjir,” tulis dokumen tersebut.

David Fernandez mengatakan, kedepannya harus ada lebih banyak kegiatan seni yang mengangkat isu lingkungan.

“Harapannya, memicu kepekaan generasi muda terhadap krisis lingkungan yang terjadi di Bangka Belitung,” paparnya.

 

Exit mobile version