Mongabay.co.id

Jaga Hutan untuk Kemandirian Pangan, Seperti Apa?

 

 

 

 

Negeri ini punya sumber pangan berlimpah. Kedaulatan atau kemandirian pangan bisa dilakukan dengan antara lain menjaga hutan. Merawat hutan sama dengan menjaga sumber pangan lokal lestari, seperti apa?

Dicky Senda, punya komunitas warga di Nusa Tenggara Timur. Komunitas itu melakukan kerja-kerja pengarsipan dan pendokumentasian terkait pengetahuan-pengetahuan adat Mollo. Para generasi muda dan orang tua adat terlibat aktif menjalankan pekerjaan itu. Mereka juga lakukan hal-hal yang berhubungan dengan pangan, pertanian, dan masalah ekologi.

Komunitas Lakoat Kujawat ini juga memadukan antara sastra dan gastronomi. Mereka bikin buku resep pangan lokal yang diberi narasi-narasi lokal, cerita-cerita rakyat, fabel, atau kisah personal masyarakat adat Mollo terkait pangan di tempat mereka.

Dicky bilang, pangan lokal punya karakter sendiri, punya daya adaptasi terhadap tanah di suatu wilayah tertentu.

“(Pangan lokal) bukan sekadar makanan untuk mengenyangkan perut juga masuk ke ranah peradaban, budaya,” kata Co-Founder Lakoat.Kujawat , beberapa waktu lalu dalam diskusi daring.

Dia contohkan di Mollo, tak ada sawah, tak ada budaya menanam padi, tetapi punya sumber pangan lain seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, dan biji-bijian seperti jagung dan sorgum.

Tanaman-tanaman pangan itu cocok dengan tanah dan jadi bagian peradaban dan budaya di sana, serta cocok dengan perut orang Mollo.

Sayangnya, kebijakan pangan pemerintah berbeda dengan menyeragamkan makanan pokok untuk semua orang di Indonesia dengan beras.

“Kita lihat dari Sabang sampai Merauke semua makan nasi, misal, jadi banyak kebijakan itu justru mengubah posisi pangan lokal.”

 

Umbi gadung, salah satu sumber pangan yang Orang Rimba, dapat peroleh di hutan tersisa. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Krisis pangan dan malnutrisi di Mollo, Nusa Tenggara Timur (NTT), benar-benar terjadi, karena ada kebijakan penyeragaman pangan pokok ke beras atau makanan cepat saji, instan. Juga pemberian benih-benih tanaman pangan yang tak adaptif tanah di sana. Kondisi ini, katanya, jadi awal mula krisis pangan dan isu ketahanan pangan di NTT.

Dicky dan komunitasnya menemukan hubungan erat antara identitas orang Mollo dengan hutan. Hutan sebagai sumber pangan dan hutan sebagai ruang ritual. Mereka mencoba membangkitkan kembali identitas itu dengan model gastronomi tour.

Gastronomi tour adalah sebuah model ekowisata yang jadikan hutan sebagai bagian dari aktivitas warga. Kegiatan itu kembali menemukan resep-resep pangan lokal yang sempat hilang, seperti cara mengolah beberapa jenis kacang lokal atau umbi-umbian.

Demikian juga jamur di hutan, berkat program ini banyak warga mengetahui jenis-jenis yang bisa dimakan. Hal itu terjadi karena pengetahuan warga tentang jamur terputus.

Ketika kegiatan mereka diapresiasi orang luar Mollo, memicu kepedulian komunitas terhadap hutan.

“Banyak anak muda sadar, ada kacang-kacang lokal yang harus dimasak belasan kali untuk mengeluarkan racun atau lain-lain. Tapi kemudian bisa jadi pangan enak dan menarik,” kata Dicky.

Selama ini, pangan lokal di NTT selalu jadi kelas dua. Warga NTT malu bila menyuguhkan makanan lokal pada tamu dari luar Mollo (Kase). Misal ada tamu dari Jakarta, mereka akan pergi ke kios membeli biskuit, mie instan, dan lain-lain yang mereka anggap makanan orang kota.

Ada periode yang panjang rasa inferioritas itu tumbuh, ditunjang kebijakan-kebijakan yang menomor satukan beras. Makan nasi itu standar sejahtera. Makan nasi itu standar hidup mapan dan segala macam. Orang dengan garis kemiskinan, harus memenuhi standar-standar baru yang datang dari luar,” kata Dicky.

Perasaan inferior itu perlahan mulai terkikis karena ada apresiasi orang luar kalau makanan lokal bergizi dan disukai.

 

Pohon aren di hutan sedang disadap tandan buahnya untuk diambil air niranya sebagai bahan utama pembuatan gula. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Farwiza Farhan, pelestari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, juga punya cerita serupa. Perempuan di sekitarnya pernah nyatakan kalau malu memberi suguhan sayur, pecel, labu, ikan, atau sambal khas sana. Mereka pun beli brokoli, kentang, tetapi tak tahu cara memasaknya.

Itu benar-benar merefleksikan, kadang-kadang ada perspektif yang seolah-olah yang dari luar itu lebih baik. Kita pun me-western-kan diri sendiri,” kata Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) itu.

Terlepas dari itu, katanya, hutan dan manusia punya interaksi teramat dekat. Hanya, interaksi dengan hutan selama ini lebih ke melihat hutan sebagai sumber daya yang bisa diambil, tanah bisa diubah, kayu bisa untuk menyokong berbagai fungsi kehidupan, hasil lain bisa diambil.

Yang sering dilupakan, katanya, hutan memberikan jasa lingkungan, mulai dari memberikan air bersih, udara segar, sampai sumber pangan dan obat-obatan secara langsung maupun tidak.

Farwiza bilang, harus kembali ke akar, belajar kepada masyarakat adat yang punya pengalaman dan bijak dalam memperlakukan alam.

“Hutan itu lebih dari sekadar satwa-satwa langka yang kita sayang, yang kita suka, yang kita suka jadikan display. Hutan itu punya jasa sangat besar untuk kehidupan manusia. Kadang-kadang kita tidak melihat itu.”

Endud Badrudin, Ketua Yayasan Paramuda Cendekia Indonesia, makin menemukan kecintaan terhadap alam saat mengikuti kegiatan food forest desain (FFD) 2021 yang diselenggarakan Mother Jungle. Yayasannya fokus pada pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan.

Saat itu, muncul pertanyaan besar Endud, hutan subur tanpa dirawat tetapi ketika manusia masuk jadi rusak. Berawal dari pertanyaan itu, dia mencari jawaban akhirnya kecintaan pada hutan makin tumbuh dan menganggap hutan sebagai sesuatu yang luar biasa.

“Ketika saya ikut food forest desain yang dilaksanakan oleh Mother Jungle itu memberikan asupan gizi luar biasa bagi kami di lembaga.”

Kendati tanaman pangan yang dikelola masih terbatas, dia sudah bisa memanen pisang, lemon, singkong, ubi jalar, hampir setiap minggu, bahkan kelebihan sekadar konsumsi sendiri.

Dengan mengelola hutan, kata Endud, bukan hanya pangan terjaga tetapi kearifan lokal. Bahkan, terkadang kearifan lokal itu lebih ramah terhadap lingkungan seperti penggunaan abu (pupuk organik) di tengah gempuran pupuk kimia yang membuat tanah kurang subur karena terkontaminasi.

 

Suku Mairasi, di wilayah Kensi, Kecamatan Teluk Arguni Atas, Kabupaten Kaimana, Papua Barat sedang mengolah batang sagu untuk diambil sagunya. Foto : Shutterstock

 

Hutan pangan

Sanne van Oort, Direktur dan Pendiri Mother Jungle, mengatakan, pandemi COVID-19 mengubah cara pandang terhadap keberadaan pangan. Dia berharap, program desain hutan pangan bisa jadi solusi masalah pangan di Indonesia.

“Ada banyak sekali permasalahan pangan seperti kelaparan, limbah makanan, rantai pasok pangan, kerawanan pangan, dan malnutrisi,” katanya.

Program desain hutan pangan (food forest design) bertujuan memberikan langkah, panduan, dan praktik terbaik menyempurnakan atau meluncurkan bisnis regeneratif. Juga pendidikan bidang hutan pangan kepada wirausahawan, tenaga pendidik, profesional serta pakar regeneratif.

Program terbagi dua, pertama, pengenalan hutan pangan dan aspek-aspek penting di dalamnya. Kedua, peserta akan mendapatkan bimbingan dari para mentor untuk mengimplementasikan proyek hutan pangan secara langsung. Program ini berlangsung April sampai Juli 2022.

 

*********

Exit mobile version