Mongabay.co.id

Biaya Restorasi Pesisir Jauh Lebih Mahal dibanding Menjaga Eksisting

 

Sejumlah pihak dari berbagai negara berbagi pengalaman manajemen kebijakan karbon biru atau blue carbon yang kini makin sering dibahas. Berbagai skema dikembangkan karena meyakini besarnya potensi karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir mangrove dan padang lamun.

Skema pembiayaan dan keuntungan dari kredit karbon, carbon offset, dan lainnya ini pun makin diperluas. Namun, biaya restorasi habitat yang sudah rusak dinilai jauh lebih mahal dibanding biaya menjaga kondisi eksisting dalam kondisi baik saat ini. Karena itu diharapkan tidak hanya fokus pada pembiayaan restorasi.

Demikian salah satu bahasan dalam seminar “Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital” di Nusa Dua Convention Centre, Bali, (08/08/2022) yang dihelat daring (online) dan luring (offline).

Country Director for Indonesia Asian Development Bank (ADB) Jiro Tominaga mengatakan banyak solusi berbasis laut untuk mitigasi krisis iklim. Salah satu yang terpenting adalah konservasi ekosistem pesisir mangrove dan padang lamun. ADB berinvestasi dan memobilisasi anggotanya untuk carbon trader yang diluncurkan di COP26 2021 Glasgow. Melalui Blue Sea Finance Hub, ADB akan melebarkan skup program. “Fokus kami mangrove dan padang lamun yang menawarkan pertukaran kredit karbon,” katanya.

Ada juga Blue Carbon Foundation yang memperkirakan harga perdagangan karbon dan peluang ekonomi lainnya. Namun banyak tantangannya seperti peraturan bidang pesisir dan pelibatan masyarakat lokal.

Pemerintah global akan membantu pada pengurangan risiko finansial. Misalnya reformasi infrastruktur keuangan agar makin banyak tertarik di skema-skema perdagangan karbon ini.

Kepala Perencanaan Sumberdaya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto memaparkan potensi ekonomi biru dari ekosistem pesisir di Indonesia. Ada sekitar 3,3 juta hektar mangrove, sedangkan penelitian padang lamun masih terbatas. Potensi penyimpanan karbon diperkirakan 3,3 giga ton atau 13% karbon biru dunia. Di sisi lain ada kerugian dari emisi deforestasi.

“Perlu dokumen kebijakan sebagai dasar hukum dan payung manajemen blue carbon di Indonesia,” sebutnya. Hal ini membutuhkan banyak pendanaan dari pinjaman dan hibah serta sumber keuangan lain yang inovatif. Misalnya menjual kredit karbon untuk membiayai sektor perikanan, energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan ekowisata. Ia berharap para pihak bisa mempelajari manajemen karbon biru yang makin berkembang.

baca : Begini Tantangan dan Strategi Pengelolaan Karbon Biru di Indonesia

 

Aksi pemerintah Indonesia terkait blue carbon. Sumber : ICCTF

 

Tony Wage, Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) mengatakan karbon yang tersimpan di pesisir atau laut dan berperan penting mengurangi gas rumah kaca.

Sedangkan Counsellor Development Effectiveness and Sustainability, DFAT, Kedutaan Australia di Jakarta Simon Ernst membagi pengalaman negaranya dalam manajemen karbon biru ini. Target pengurangan emisi sekitar 43%, kebijakan ini mencakup karbon yang bisa disimpan di pesisir Australia.

Australia juga mengembangkan kebijakan penting untuk konservasi laut. Menurutnya Australia salah satu negara pertama yang membuat laporan terkait kawasan pesisir meliputi mangrove, rawa, dan padang lamun serta mengembangkan metodelogi karbon biru. Sejak laporan pertama pemerintahnya berusaha menambah stok karbon (carbon stock) dan kebijakan carbon offset.

Ada juga dana pengurangan emisi yang merupakan skema sukarela untuk organisasi dan individu mengadopsi praktik baru. Blue Carbon Project, memperkenalkan modifikasi dengan kredit karbon, bisa dijual ke pemerintah dan swasta. Pihaknya mengembangkan metode baru untuk laporan ini pada 13 daerah pesisir di Australia. Selain itu memastikan konsistensi pelaporan emisi dan kebijakan perlindungan lingkungan nasional untuk karbon biru. Misalnya area tersebut memiliki spesies terancam.

“Memperhatikan kompleksitas agar sumber daya karbon biru terlindungi. Namun ada kesenjangan terkait praktik dan kebijakan karbon biru saat ini,” ujar Simon. Hal lainnya, memberi peluang sektor pendanaan karena perlu investor swasta untuk offset emisi mereka. Saat ini sudah ada panduan karbon biru bisa membantu sesuai panduan ICCTF dan UNFCC.

baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Kawasan hutan mangrove Sofifi, Maluku Utara, yang menawan dilihat dari udara. Foto : Opan Jacky

 

Deputy Country Director, Agence Française de Développement (AFD) Sophie Chappellet memaparkan pengalaman mendanai 14 proyek karbon biru di China, Kamboja, Vietnam, Indonesia, dan Fiji-Samoa-Timor Leste. Mulai dari sistem monitoring ekosistem sampai peningkatan kapasitas nelayan. Misalnya inisiatif Kiwa Project mulai Maret 2020 di Fiji, Samoa, dan Timor Leste dengan tujuan restorasi dan pengelolaan ekosistem untuk melindungi pesisir. Untuk mangrove di Indonesia berdasar studi Bank Dunia, diperkirakan nilai jasa ekosistemnya USD 15 ribu/ha/tahun.

“Sangat potensial menyimpan karbon dalam bentuk biomassa secara organik di tanah, mangrove menangkap karbon dan meregenerasi sumberdaya alam sekitarnya,” ujarnya. Penyerapan karbon melalui pasar karbon sukarela, dengan nilai global mencapai satu miliar USD. Tiap perusahaan dan perseorangan bisa offset emisi gas rumah kacanya dengan mendanai penangkapan dan penyimpanan karbon. Ini disebut co-benefit. Organisasi sertifikasi berperan menilai dan menentukan jumlah kontribusi karbonnya.

Ia mencontohkan di China, pada 2021, menghasilkan kredit karbon dari sebuah restorasi mangrove yang sudah disertifikasi. Program ini disebut ranah yang perlu dijelajahi karena memiliki potensi ekonomi dan pendanaan yang dulunya mayoritas hibah.

Tantangannya, dampak program ini optimal jika didesain jangka panjang. Saat ini kebanyakan jangka pendek kurang dari 7 tahun. Penilaian juga tidak mudah karena ekosistemnya berbeda, standar estimasi dan harga karbon di pasar volunter masih cukup rendah, dan perlu studi lanjutan. Untuk memastikan proyek ini memberi keuntungan bagi masyarakat lokal.

Tantangan lain adalah identifikasi skema pendanaan inovatif, dialog dan kolaborasi para pihak, dan berbagi praktik baik. “Saya yakin potensi karbon biru bisa membantu perekonomian Indonesia,” lanjut Sophie.

baca juga : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan

 

Warga antusias tanam mangrove bersama Presiden Jokowi di Batam. Foto: Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia

 

Prof Shaw K. Chen peneliti University of Rhode Island, Amerika Serikat berbagi pengalaman negaranya. Warisan Presiden Joe Biden salah satunya kebijakan perubahan iklim. Pada November 2021 ada UU terkait investasi, infrastruktur, dan pekerjaan membahas pengurangan emisi karbon dan infrastrukturnya. Ada berbagai proyek konservasi pesisir, riset ilmiah identifikasi area terbuka dan solusi berbasis alam. Biden juga menerbitkan perintah Presiden pada 2022 untuk membangun kekuatan dan solusi. Sebagian pendanaan juga dari pihak swasta. Hal ini dinilai kemenangan besar karena pemerintah tak bisa terus menerus mendanai seluruh inisiatif.

Parlemen juga membuat UU untuk menjaga planet yang mendorong ekosistem karbon biru. Kisah sukses di California, pada 2020 Gubernur Gavin Newsom menandaatangani kebijakan yang menargetkan konservasi sedikitnya 30% pesisir sampai 2030. Pada 2021, komisi perubahan iklim Oregon mengadopsi proposal potensi hutan, lahan basah, dan pertanian untuk pengurangan gas rumah kaca. Ada juga kebijakan pendanaan berdasar pasar di 11 negara bagian memiliki Regional Greenhouse Gas Initiative (RGGI).

Tantangannya, meningkatkan ketahanan dan solusi alternatif. Strateginya membuat agenda riset implementasi, serta bantu kolaborasi aktivis lingkungan dan advokat terkait kebijakan hukum.

Di sisi lain, Amerika sudah banyak kehilangan lahan basah pesisir dan banyak proyek yang tidak sesuai. Penyimpanan karbon pun masih cukup sulit dan mencegah kebocoran karbon sangat penting. “Studi ekosistem menyatakan komunitas di garis depan, menghasilkan pendekatan lebih maju dan bertahan lama,” sebutnya.

baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Sejumlah nelayan pulang dari melaut dan harus melewati hamparan lumpur di sekitar Pesisir Desa Batu Belubang yang sudah kehilangan mangrovenya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Perencanaan untuk Pesisir dan Sumber Daya Alam Bappenas Gellwynn Jusuf mengingatkan jika biaya memperbaiki kerusakan atau restorasi pesisir ini mahal, sampai USD 9000 per hektar. Jika merujuk data kerusakan 1996-2016 ada sekitar 600 ribu hektar hutan mangrove perlu direstorasi memerlukan biaya sekitar 5,4 miliar USD. “Melindungi (ekosistem) karbon biru lebih rendah dibanding merestorasi,” sebutnya. Nilai ekologinya pun sangat tinggi, rawa asin, mangrove, dan padang lamun. Potensinya sampai 2050, berdasar riset, menyimpan karbon sangat tinggi sekitar 0,4-1,2 giga metrik CO2.

Indonesia sudah memiliki Perpres No.98/2021 tentang penerapan nilai ekonomi karbon. Nilai investasi perdagangan karbon global diperkirakan bernilai lebih dari 700 miliar euro, dengan berbagai skema.

Menurutnya perlu baseline untuk mengukur stok karbon dan penyerapan karbon. Karena sering terjadi penghitungan ganda. Restorasi penyerapan karbon inilah berbiaya tinggi. Pasar karbon sukarela pun tidak mudah, perlu sinergi tiga pihak pemerintah, institusi pembiayaan, dan perusahaan.

Perusahaan yang terlibat tidak harus bergerak di bidang kelautan misal perusahaan teknologi informasi Apple yang terlibat konservasi habitat mangrove. Hal penting lain, perlunya kolaborasi dengan LSM lokal, jika ingin pasar karbon  sukses. Pasar karbon biru di Indonesia dinilai masih pada inisiasi, belum tahap berkembang.

baca juga : Siasat Mempertahankan Ekosistem Terumbu Karang Melalui Ekonomi Biru

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Data kerusakan ekosistem karbon biru

Target penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% secara nasional, dan 41% secara global hingga tahun 2030. Ekosistem pesisir diyakini solusi penurunannya.

Luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465-875.957 Ha, dan mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektar. Begitu pun dengan mangrove Indonesia seluas 3,3 juta Ha terbesar di dunia, dan mampu menyimpan karbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya.

Namun, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia tahun 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8% per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021. Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha (19,28%) berada pada kondisi kritis.

Ekosistem karbon biru ini diharapkan bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution). melalui kegiatan pengintegrasian ekosistem karbon biru ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia.

 

Exit mobile version