Mongabay.co.id

Punari Pilih Pungut Sampah Dibanding Melaut

 

Beberapa perahu berjejer di sisi timur Pantai Payangan, Dusun Payangan, Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur, akhir Juni lalu. Ragam sampah ranting kayu, sachet, gelas dan botol plastik bekas dan popok sekali pakai berserakan di pantai itu.

Pria berumur berjalan santai di dekat perahu paling ujung utara. Sesekali membungkuk mengambil sampah yang berserakan. Sesekali menumpuknya di dekat salah satu perahu. Dialah Punari, mantan nelayan setempat berusia 70 tahun.

Ngontrol perahu punya anak. Khawatir tiba-tiba terseret ombak. Tapi sambil lalu mungut botol bekas buat dijual,” tuturnya.

Punari berhenti jadi nelayan sejak 12 belasan tahun terakhir dan sesekali memilih untuk memungut sampah botol plastik bekas agar tetap produktif. Dalam dua hari, bisa mengumpulkan dua karung botol dan gelas plastik kemasan bekas. Dia bisa mendapat Rp20 ribu dari satu karung.

“Saya sudah sepuh, jadi gak dikasih melaut dan disuruh istirahat oleh anak. Tapi, saya masih sehat. Masih bisa cari barang bekas atau kerja ringan. Lumayan dapat uang. Dengan begini, setidaknya mengurangi beban kepada anak di rumah. Tidak enak juga kalau tergantung sama anak, mereka juga punya tanggung jawab keluarga,” ujarnya.

baca : Liputan Banyuwangi : Sampah Muncar yang Tak Kunjung Terselesaikan (1)

 

Punari, salah satu mantan nelayan yang memungut sampah daur ulang di Pesisir Payangan, Sumberrejo, Ambulu, Jember, Jatim. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Sampah-sampah di area itu, katanya, merupakan sampah bawaan dari hulu sungai Ambulu. Sampah yang dibuang di hulu, bermuara di pesisir Payangan. Dia bilang, tidak ada petugas yang membersihkannya.

Nurul Hidayat, Kasi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember mengatakan, semua sampah yang bermuara di pesisir Jember, mulai di daerah Kencong, Besini, Getem sampai di Pesisir Payangan, Ambulu itu merupakan sampah bawaan dari hulu atau sampah kiriman yang dibuang sembarangan. Sedang semua hulu sungainya berada di pegunungan.

Dia mengakui sampah di pesisir Jember memang masih minim penanganan. Berdasarkan sensus 2020, penduduk Jember berjumlah 2.536.729 jiwa. Kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta penduduk, dapat dikategorikan sebagai kota besar. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No.6/2022 tentang Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, setiap orang di kota besar menghasilkan 0,7 kg per hari.

“Atas dasar itu, maka rumus estimasi timbulan sampah adalah jumlah penduduk dikali 0,7 kg perhari dalam permen LHK itu. Maka 0,7 kg x 2.536.729 jiwa. Hasilnya, volume sampah di Jember mencapai sekitar 1.775 ton per hari,” jelasnya, Selasa (12/07/2022).

Sayanganya, DLH hanya mampu menangani 315 ton per hari. 180 ton dari jumlah itu berada TPA Pakusari. Sisanya di TPA Ambulu, Kencong dan Tanggul. Artinya, 1.460 ton sisanya kemana-mana. Diantaranya yang dibuang sembarang di daratan dan ke sungai, yang berakhir di pesisir Payangan termasuk sampah kiriman.

“Saat ini, DLH mencatat ada 34 TPS di Jember. Salah satunya yang dekat Payangan yakni di Desa Tegalsari dan satu TPA di Ambulu. Harusnya, sampah di TPS Tegalsari yang dihasilkan masyarakat Tegalsari, Sabrang, Ambulu dan sekitarnya diangkut ke TPA Ambulu,” ujarnya.

Sedangkan pengelolaan TPA Rambipuji dihentikan selama 3-4 tahun terakhir karena ditutup paksa oleh masyarakat akibat jalan rusak. “Masyarakat mendesak jalan diperbaiki, baru bisa digunakan lagi. Tapi urusan jalan ada dinasnya tersendiri. Jadi DLH tidak bisa berbuat banyak soal itu,” katanya.

baca juga : Kurangi Sampah Pakaian, Komunitas di Mojokerto Jual Baju Bekas Berkualitas

 

Ragam sampah berserakan di sisi timur pantai Payangan, Jember, Jatim. Mulai dari ranting kayu, plastik sekali pakai, sampai popok bekas sekali pakai. Foto : Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia

 

Sementara anggaran DLH untuk pengelolaan sampah pada 2022 hanya Rp12 milyar. Menurutnya, anggaran itu hanya cukup untuk program rutin berupa perawatan dan bahan bakar truk pengangkut dan gaji 507 petugas kebersihan.

“Kalau sampah mau tertangani 100 persen, maka angaran perlu ditambah. Kegiatan rutin kami hanya kumpul, angkut, buang. Sedang untuk wilayah pesisir luput tidak ada penanganan. Karena fasilitas dan tenaga terbatas. Saat ini, fasilitas truk armada hanya 28 buah,” katanya.

Menurutnya, pengelolaan sampah dengan hanya sistem kumpul angkut buang ini bukan solusi yang final. Karena TPA akhirnya akan overload. Maka perlu dibuatkan konsep lain, yakni bank sampah di semua desa.

Ada 34 bank sampah mandiri yang dikelola Bumdes pada 2018 di Jember. Saat ini ada sekitar 60 lebih bank sampah yang terkoordinasi dengan pemerintah sejak 2021.

“Sebelum saya di DLH, pada 2020, mencoba bangun Forum Komunikasi Jember Bebas Sampah beranggotakan pegiat bank sampah yang saat itu tidak terfasilitasi oleh pemerintah saat itu. Tujuannya, saling support diantara anggota dan mendiskusikan persoalan sampah,” ungkapnya.

Konsep satu desa satu bank sampah, pernah dibahas dalam Raperda pada Oktober 2021, tetapi belum ada kelanjutannya. Dia menilai, bank sampah sangat berkaitan dengan konsep ekonomi sikular dan menjadi salah satu solusi yang tepat. Karena selain sebagai salah satu upaya masyarakat dalam menangani persoalan sampah, bank sampah memiliki konsep yang baik. Di mana sampah tidak hanya kumpul angkut buang. Melainkan kumpul, pilah, terolah, baru residunya dibuang, sehingga mengurangi beban sampah di TPA.

Soal sampah di pesisir, katanya, kalau ada yang mengelola pantainya untuk wisata, maka pengeloa wisata harus mengelolanya secara mandiri. Artinya, semisal pengelola punya kendaraan, maka sampah dari wisatwan bisa diangkut ke TPA. Tetapi yang terpenting adala kesadaran semua pihak. Karena setiap orang bertanggungjawab akan sampah yang dihasilkan. Percuma tersedia fasiltas dan SDM kalau masyarakat tetap abai akan sampahnya.

“Kami bukan tidak mau optimal menangani sampah di Jember temasuk pesisir, tapi fasilitas dan SDM kami terbatas. Namun demikian, penanganan dan fasilitas memadai akan terus diupayakan. Tapi lagi-lagi, kalau anggaran cukup. Kami juga terus lakukan pendekatan kepada masyarakat baik tersistem melalui kegiatan formal bahkan melalui ragam medium atau non kegiatan formal. Seperti di media sosial. Paling tidak, akan menyampaikan informasi terkait kebijakan soal sampah ini,”

Saat Idul Adha kemarin, katanya, Pemkab Jember menganjurkan warganya minim plastik. Salah satunya, setiap pembagian daging kurban dengan wadah ramah lingkungan. Seperti daun atau besek dari bambu.

baca juga : Tinggalkan Plastik, Gunakan Wadah Ramah Lingkungan untuk Daging Kurban

 

Besek, sebagai pembungkus daging kurban, menggantikan plastik kresek. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

“Terlepas bicara penanganan sampah yang harus dilakukan oleh DLH, maka pemerintah desa bisa juga mempertimbankan pengelolaan sampah di desanya masing-masing. Baik di wilayah pesisir maupun non pesisir. Dananya dari mana? Ya bisa pakai dana desa, bukan ADD. Itu kan boleh. Soal berapa persennya, ya tinggal lihat aturannya,” jelasnya.

Sedangkan Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Diet Kantong Plastik mengatakan, kegiatan memungut sampah termasuk kegiatan yang cukup berat, apalagi untuk seseorang yang sudah sepuh seperti Punari. Apalagi ini dilakukan secara informal, tidak ada dukungan peralatan apapun yang diberikan untuk membuat pekerjaannya lebih ringan.

“Aktivitas memungut sampah seperti yang dilakukan Punari tidak bisa dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi sirkular. Alasan paling mendasar karena ini dilakukan dalam keadaan terpaksa karena dia tidak memiliki pilihan lain dan tidak tersistem,” katanya.

Dalam ekonomi sirkular yang sebenarnya, jelas Tiza, ada alur atau konsep khusus dalam prosesnya. Mulai dari proses produksi sampai pembuangannya. Dalam konsep ini, pengumpulan hingga daur ulangnya itu by design, bukan karena terpaksa.

Ada pekerjaan formal, penghasilan yang menentu atau pembeli yang pasti, tersedia bank sampah yang mendorong orang membawa sampahnya langsung ke bank sampah daripada membuangnya ke alam. Sehingga orang-orang seperti Punari bisa bekerja dengan lebih layak di bank sampah atau tempat pemrosesan.

 

Exit mobile version