- Sampah masih menjadi persoalan utama di Indonesia. Volume yang dihasilkan setiap hari masih lebih tinggi dibandingkan dengan upaya menguranginya.
- Sampah rumah tangga serta industri merupakan penyumbang terbesar sampah domestik, yang di dalamnya terdapat sisa tekstil atau pakaian.
- Pemuda di Desa Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, melalui “Toko Kita”, menggalang pakaian bekas di masyarakat. Pakaian layak pakai yang dijamin bersih itu dijual kembali kepada yang membutuhkan. Sistem pembayarannya sesuai kemampuan alias seikhlasnya.
- Menurut The Sustainable Fashion Forum, pada 2030 konsumsi pakaian dunia diperkirakan meningkat hingga 63 persen, dari 62 juta menjadi 102 juta ton. Industri mode secara global juga menyumbang sekitar 10 persen dari total emisi karbon dunia, serta 20 persen dari limbah air dunia.
Sampah masih menjadi persoalan utama di negeri ini. Volume yang dihasilkan setiap hari masih lebih tinggi dibandingkan dengan upaya menguranginya. Sampah rumah tangga serta industri merupakan penyumbang terbesar sampah domestik, yang di dalamnya terdapat pula sisa tekstil atau pakaian.
Kondisi sampah tekstil yang menjadi ancaman lingkungan, ternyata menggerakkan pemuda di Desa Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Melalui “Toko Kita”, mereka yang tergabung dalam lembaga sosial Damar menggalang pakaian bekas di masyarakat. Pakaian layak pakai itu kemudian dijual kembali kepada yang membutuhkan dengan sistem pembayaran seikhlasnya.
Anggota tim proyek Toko Kita, Eva Putriya Hasanah mengatakan, kebanyakan pakaian bekas layak pakai yang disumbangkan itu dalam kondisi baik. Tim ada yang bertugas menyeleksi, untuk memastikan kelayakan yaitu bersih, tidak rusak, hingga warna yang masih cerah.
“Toko ini didedikasikan untuk masyarakat yang ingin membeli pakaian bagus, berkualitas, bersih, dengan cara bayar seikhlasnya. Ini juga membantu masyarakat di tengah pandemi corona [COVID-19],” katanya baru-baru ini.
Baca: Merawat Bumi dengan Pakaian Ramah Lingkungan
Semua jenis pakaian yang dijual, mulai kebaya, broklat, baju perempuan, kaos laki-laki, dan juga baju anak-anak, tidak diberi label harga. Masyarakat bisa membayar sesuai kemampuan.
Gerakan ini kata Eva, mengajak masyarakat untuk peduli sesama. Menurut dia, setiap orang pasti memiliki pakaian tidak terpakai yang hanya disimpan. Nah, akan lebih bermanfaat bila disumbangkan melalui Toko Kita. Tidak hanya di gerai di Desa Dawarblandong, Toko Kita juga melayani pembeli dengan mobil yang berkeliling, serta melalui media sosial.
“Ini juga merespon isu-isu lingkungan terkait sampah tekstil, agar masyarakat teredukasi. Sampah tekstil berakibat buruk bagi lingkungan bila dibuang sembarangan,” tuturnya.
Baca: Ribuan Pakaian Bekas dari Malaysia Kotori Pulau Konservasi Sangalaki
Kami ingin mengkampanyekan, ini loh tren baru yang bisa kita gunakan. “Masyarakat tidak perlu takut menggakan baju second hand. Banyak pakaian bekas yang sebenarnya disepelekan, padahal diinginkan orang lain,” terang Eva.
Data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2018 menunjukkan, timbunan sampah di Indonesia mencapai 65,79 ton. Rinciannya yang terdiri berbagai jenis, termasuk sampah tekstil.
Menurut The Sustainable Fashion Forum, pada 2030 konsumsi pakaian dunia diperkirakan meningkat hingga 63 persen, dari 62 juta menjadi 102 juta ton. Industri mode secara global juga menyumbang sekitar 10 persen dari total emisi karbon dunia, serta 20 persen dari limbah air dunia.
Baca: Komunitas di Lombok Ini Perangi Sampah dengan Daur Ulang
Potensi mencemari lingkungan
Hanie Ismail dari Komunitas Nol Sampah Surabaya mengatakan, tidak hanya plastik, pakaian bekas memiliki potensi sangat besar menjadi sampah yang mencemari lingkungan.
Masyarakat harus mengetahui, keberadaan pakaian mulai proses pembuatannya telah berdampak bagi kelestarian lingkungan. Mulai bahan pembuat serta pewarnaan, sudah mencemari lingkungan. Limbah tekstil yang tidak diolah dengan baik, membuat lingkungan semakin teremar.
“Kita tahu, pakaian sedikit banyaknya mengandung plastik, lama kelamaan akan menimbulkan mikroplastik di alam,” katanya.
Hanie menyoroti pola konsumtif masyarakat yang suka berbelanja pakaian tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan memanfaatkannya. Terlebih, dunia fashion yang terus berkembang, memungkinkan pakaian diproduksi dalam jumlah besar dan berbagai mode.
“Ada mode baru kita beli, yang lama ditumpuk di lemari. Bila tidak terpakai atau tidak suka, biasanya dibuang dan ini kemudian yang menjadi sampah,” ujarnya.
Baca juga: Ono Gaf, Seniman Sukses Pengolah Besi Bekas
Hanie mengajak masyarakat bijak memilih dan menggunakan pakaian. Harus dipikirkan, untuk apa dan saat tidak dipakai berakhir di mana. “Beli sesuai kebutuhan, pilih yang bisa digunakan jangka waktu lama,” imbuhnya.
Pengajar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum mengatakan, pakaian yang menjadi sampah tekstil dan mencemari lingkungan, bergantung pada bahan baku dan proses pembuatannya. Terurai ataupun tidak di alam, bahan yang terkandung di pakaian berpotensi menurunkan kualitas tanah, air dan udara.
“Sulit terurai bila bahan serat kain sintetis seperti material Polyester dan Hyget, yang bahannya dari minyak bumi dan plastik,” kata Anita.
Dari proses pembuatannya, beberapa tekstil sering memakai pewarna sintetis yang seringkali mengandung logam berat seperti Chromium. Bahan ini dapat mencemari tanah, air dan udara.
Dari penelitian yang pernah dilakukannya, Anita bersama rekan-rekannya menemukan, logam Chromium banyak ditemukan dalam limbah cair industri batik. Logam berat ini pun akan mudah ditemukan di industri pembuatan pakaian secara umum, yang bila tidak dioleh dengan baik dan benar dapat membahayakan kesehatan manusia di sekitarnya.
“Dapat mengakibatkan beberapa efek kesehatan yang bersifat kronis,” pungkas Anita.