Mongabay.co.id

Menjaga Gajah Sumatera Tersisa di Padang Sugihan

 

 

Tulisan ini bagian ketiga dari lima artikel yang diterbitkan untuk memperingati Hari Gajah Sedunia. Silakan baca tulisan pertama dan kedua.

**

 

Gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] yang hidup di lanskap Padang Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, selama 40 tahun terakhir, menghadapi berbagai tindakan ekstraktif manusia. Mulai dari Operasi Ganesha, aktivitas HPH [Hak Pengusahaan Hutan], transmigran, perkebunan skala besar, hingga kebakaran lahan dan hutan. Bagaimana kondisinya saat ini?

“Gajah di Padang Sugihan kondisinya sehat, dalam setahun ini bertambah dua atau tiga individu. Tubuhnya selain gemuk [2-3 ton], juga yang dewasa tingginya kisaran 2,5-2,7 meter,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa] kepada Mongabay Indonesia, di Desa Jadimulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Selasa [05/06/2022] lalu.

Jika dibandingkan saat Operasi Ganesha tahun 1982, “Kondisi fisik gajahnya kurang lebih sama. Ini perbandingan dari foto dan video Operasi Ganesha dengan penglihatan saya pada kawanan gajah di kantong Sugihan-Simpang Heran selama dua tahun terakhir,” kata Syamsuardi yang sebelumnya aktif di WWF [World Wide Fund for Nature] selama 25 tahun.

“Ini menandakan Padang Sugihan merupakan lanskap yang masih memiliki banyak pakan dan wilayah jelajah cukup bagi gajah liar,” ujarnya.

Lanskap Padang Sugihan luasnya sekitar 600-an ribu hektar, merupakan habitat gajah sumatera  terbesar di Sumatera Selatan. Populasinya mencapai 127 individu. Lanskap ini terdiri HTI [Hutan Tanaman Industri] berupa kebun akasia, hutan rawa gambut, perkebunan sawit, dan pertanian masyarakat.

Terdapat empat kantong gajah di lanskap Padang Sugihan, yakni kantong Cengal, Penyambungan, Sebokor, dan Sugihan-Simpang Heran.

Sugihan-Simpang Heran merupakan kantong terbesar di Padang Sugihan. Populasi gajahnya kisaran 48 individu.

“Berdasarkan kesepakatan pelaku usaha, masyarakat, organisasi konservasi, dan pemerintah, koridor gajah di lanskap Padang Sugihan luasnya mencapai 232.338,71 hektar,” kata Syamsuardi.

 

Sebuah pondok warga yang dirusak gajah di Desa Jadimulya, Air Sugihan, OKI, Sumsel. Hampir setiap tahun gajah menyerang lahan pertanian dan pondok warga di desa ini. Foto: [Drone] Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Namun yang menjadi persoalan, hingga saat ini, masih adanya konflik manusia dengan gajah, ketika sejumlah individu gajah masuk ke lahan pertanian yang dikelola warga empat desa; Desa Jadimulya, Desa Banyu Biru, Desa Simpang Heran, dan Desa Bukit Batu. Areal pertanian ini merupakan kawasan lahan kehidupan dari konsesi HTI Sinar Mas.

Terakhir, Senin [04/06/2022] malam, kawanan gajah makan tanaman pisang dan merusak sebuah pondok milik warga di Desa Jadimulya.

Bahkan, pada tahun 2020, seorang anggota TNI [Tentara Nasional Indonesia] tewas ketika ingin mendokumentasikan satu individu gajah tunggal [laki-laki] yang masuk kebun sawit milik seorang warga.

“Hampir setiap tahun, kawanan gajah datang ke sawah kami,” kata Marsidi, Kepala Desa Jadimulya, kepada Mongabay Indonesia.

 

Hampir setiap tahun kawanan gajah masuk ke Desa Jadimulya. Apakah warga tahu jika desa mereka dulunya merupakan habitat gajah? Foto: [Drone] Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Tidak paham

Hampir semua warga di Air Sugihan merupakan pendatang dari Jawa yang ikut transmigran pada 1980-an awal.

Mereka hadir di lanskap yang merupakan ruang hidup satwa yang sebelumnya tidak mereka pahami, seperti harimau dan gajah sumatera. Sejak awal menetap, mereka pun berkonflik dengan kedua satwa tersebut.

“Saat itu kami memang tidak paham soal gajah maupun harimau. Kami tidak memiliki pengetahuan bagaimana menghadapi kedua satwa tersebut,” kata Marsidi.

Samsudi, yang menetap di Desa Jadimulya sejak 1984, mengungkapkan saat kali pertama menetap di Air Sugihan, tidak memahami bagaimana menghadapi gajah dan harimau. “Saya tahu tentang gajah maupun harimau, tapi saya tidak tahu bagaimana menghadapinya,” katanya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, tidak ditemukan catatan atau dokumen terkait pendidikan terhadap para transmigran untuk memahami gajah dan harimau Sumatra.

Operasi Ganesha pada 1982 yang melibatkan tentara, memberikan pengetahuan kepada para transmigran bahwa gajah adalah hama bagi pertanian dan perkebunan.

 

Hampir setiap tahun, lahir anak gajah liar. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Bukan musuh

Syamsuardi menjelaskan, penyebab konflik manusia dengan gajah dikarenakan manusia tidak memahami gajah, sehingga dianggap musuh.

“Sementara, gajah tidak memandang manusia sebagai musuh. Jika gajah memandang manusia sebagai musuh, mungkin sudah lama diserang,” katanya, usai bersama sejumlah warga menggiring kawanan gajah keluar dari perkebunan warga di Desa Jadimulya pada Selasa [05/06/2022] malam.

Dijelaskannya, masyarakat Melayu yang menetap di sekitar habitat atau kantong gajah di Pulau Sumatera selama ratusan tahun, tidak pernah berkonflik dengan gajah dikarenakan gajah sebagai sosok yang dihormati. Diibaratkan orang tua. “Misalnya di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.”

“Jadi, penting sekali masyarakat Melayu maupun pendatang untuk mengembalikan pemahaman bahwa gajah bukanlah musuh. Tapi adalah saudara, sehingga hidup berdampingan, dan ikhlas berbagi ruang,” katanya.

“Setahun lalu, kawanan gajah masuk kebun. Kami coba menghalaunya. Berbagai cara dilakukan, mulai berteriak hingga menggunakan mercon. Kami lakukan itu selama beberapa hari. Kami pun kelelahan. Lalu, kami semalaman melakukan doa bersama. Syukur, besok pagi kawanan gajah pergi,” kata Supriyanto, warga Desa Simpang Heran.

“Kami percaya cara halus [lembut] seperti yang dilakukan orang Melayu cukup efektif dibandingkan dengan cara kasar. Jadi berdoa itu belajar dari cara itu [orang Melayu],” lanjutnya.

 

Satu kelompok gajah di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Mengusir gajah

Tapi, guna membangun hubungan harmonis manusia dengan gajah saat ini, tidak sebatas pemahaman bahwa gajah bukan musuh manusia. “Sebab kondisinya pada situasi konflik,” kata Syamsuardi, usai menggiring.

“Masyarakat yang hidup di sekitar habitat gajah, membutuhkan pengetahuan terkait mitigasi konflik, misalnya cara menggiring gajah keluar dari lahan pertanian warga,” lanjutnya.

“Kita harus punya jarak aman, seandainya gajah mengejar masih dapat menghindar, atau di sekeliling kita telah ada pengaman seperti kanal dan sebagainya. Karena, kecepatan gajah berjalan dan berlari melebihi kecepatan manusia di medan yang sama.”

Selanjutnya, hati-hati melakukan pengusiran gajah jantan yang sedang must [sedang birahi], karena sering berperilaku mengamuk atau kegilaan. Lebih baik menghindar. Tanda-tanda adanya cairan yang keluar dari kelenjar yang terletak, antara mata dan telinga. Perilaku ini terjadi setiap 3-5 bulan selama 1-4 minggu.

Hati-hati juga mengusir gajah yang membawa anak kecil, pergerakannya akan lambat dan cenderung agesif karena melindungi anak. Pengusiran yang dilakukan benar-benar pelan, tanpa memaksa mereka cepat pergi. Juga, pastikan tingkah laku gajah tidak agresif pada saat pengusiran, karena kalau agresif sebaiknya pengusiran dihindari.

Jangan melakukan pengusiran dengan melukai, karena gajah-gajah yang terluka cenderung agresif, stres, dan menyerang manusia. Gajah yang terluka dan sakit, pergerakannya lambat, sehingga kelompoknya juga bergerak lambat atau menunggu sampai gajah tersebut sehat.

Pada waktu pengusiran jangan membuat gajah terkejut, mendadak.

“Kecuali kita punya areal lokasi mengamankan diri. Biasanya, gajah yang terkejut akan berlari tidak tentu arah, bisa menuju para pengusir dan ini sangat membahayakan,” ujar Syamsuardi.

 

Exit mobile version