Mongabay.co.id

Memahami Perilaku Gajah Tunggal yang Sering Jadi Korban Konflik

 

 

Tulisan ini bagian keempat dari lima artikel yang diterbitkan untuk memperingati Hari Gajah Sedunia. Silakan baca tulisan pertama, kedua dan ketiga.

**

 

Sering kali gajah jantan remaja [Elephas maximus sumatranus] berkonflik dengan manusia. Dia keluar dari koridor kelompoknya dan sering masuk kebun maupun permukiman masyarakat, yang lokasinya berbatasan atau masuk habitat gajah.

Masyarakat, khususnya pendatang, menilai gajah tersebut tersesat, sehingga harus dikembalikan ke kelompoknya. Akibatnya, terjadi konflik ketika sang gajah menolak atau melawan saat digiring.

Hal tersebut dialami gajah jantan remaja yang diberi nama “Tobat” dengan masyarakat di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan. Pada 2020 lalu, Tobat dihalau masyarakat, yang sebagian besar transmigran dari tahun 1982. Tobat menolak pergi. Akibatnya, seorang anggota TNI [Tentara Nasional Indonesia] tewas ketika ingin mendokumentasikan Tobat, yang masuk kebun sawit milik seorang warga.

Sejak peristiwa tersebut, Tobat tidak pernah muncul atau terlihat lagi di perkebunan warga di Air Sugihan. “Tobat tidak pernah terlihat lagi di sini,” kata Wisnu, warga Desa Banyubiru, Air Sugihan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [05/07/2022].

Akibat pemahaman yang tidak benar tersebut, tidak sedikit gajah jantan remaja yang keluar dari kelompoknya di Pulau Sumatera, ditangkap atau tewas berkonflik dengan warga, sehingga populasi gajah jantan berkurang.

“Sebenarnya, gajah jantan remaja [kisaran usia 8-10 tahun] keluar dari kelompoknya merupakan hukum atau aturan gajah. Dia mencari pasangan dari kawanan gajah lainnya, karena dilarang kawin dengan saudaranya. Pergerakannya di luar koridor kelompoknya. Ini yang disebut gajah tunggal. Gajah tunggal itu artinya gajah jantan, bisa sendirian atau beberapa individu. Gajah tunggal itu soliter,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa] kepada Mongabay Indonesia, di Palembang, Kamis [07/06/2022] lalu.

 

Satu individu gajah tunggal terlihat lelah di wilayah Desa Suka Mulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, karena dikejar dan dihalau warga, Rabu [06/07/2022]. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Pada suatu wilayah, gajah tunggal akan berebut pengaruh, caranya bertarung dengan gajah tunggal lain, untuk menentukan siapa paling kuat. Yang menang, akan menjadi  gajah dominan, yakni gajah yang paling dihormati [raja] sekaligus ditakuti. Sedangkan yang kalah akan jadi pengawal atau mencari daerah lain yang tidak ada gajah jantan.

Di alam, sering kali ditemukan gajah tunggal berjalan bersamaan. Paling banyak empat individu. Tapi yang paling sering ditemukan gajah tunggal, satu individu.

“Artinya, gajah tunggal tidak hidup dalam kelompok. Gajah tunggal dewasa baru akan mencari kelompok gajah betina jika ada kebutuhan untuk kawin atau datang masa must [birahi].”

Menghadapi gajah tunggal ini, kata Syamsuardi, kita cukup menggiringnya menjauh dari permukiman atau perkebunan.

“Caranya, mendorong ke arah yang akan dituju gajah, masuk ke habitat atau koridor jelajah. Bukan sebaliknya, seperti mengembalikan ke kelompoknya, yang sering dilakukan masyarakat. Hal ini dikarenakan warga memahami gajah tersebut tersesat atau tertinggal dari kelompoknya,” kata Syamsuardi.

“Jika berhadapan dengan gajah tunggal dalam masa must, sebaiknya sangat hati-hati. Tindakan menjauh dan membiarkannya jauh lebih aman. Sebab pada akhirnya dia akan pergi.”

Ciri-ciri gajah tunggal yang baru keluar dari kelompoknya, yakni gajah jantan yang sudah meliliki gading lebih dari 30 sentimeter.

 

Perlakukan gajah dengan niat baik, maka dia akan bersikap baik pada kita, manusia. Kata Syamsuardi, Ketua PJHS. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Gagal memahami

Pada Rabu [06/07/2022], Mongabay Indonesia mengikuti masyarakat yang menghalau satu individu gajah tunggal yang masuk perkebunan sawit di Desa Jadimulya, Air Sugihan. Gajah itu menuju arah barat. Tapi ada warga yang menginginkan gajah itu kembali ke arah datangnya [timur].

Pada awalnya penggiringan lancar, dengan menggunakan meriam. Dia bergerak  alami. Tapi ketika berada di kebun warga di Desa Suka Mulya, sejumlah warga menghadangnya dengan bunyi-bunyian, teriakan, dan suara knalpot sepeda motor. Tujuannya agar kembali ke arah barat.

Gajah itu menjadi panik. Bingung. Kelelahan. Seorang warga menyalakan sejumlah mercon untuk mengusir gajah. Gajah itu pun pergi. Dia mengalami disorientasi. Dia berkeliling masuk sejumlah kebun warga di sejumlah desa di Air Sugihan.

“Dia tidak mungkin kembali ke kelompoknya. Dia tetap mencari jalur lain. Dia mencari kelompok lain untuk mendapatkan pasangan. Apa yang dilakukan warga tidak benar. Sebab dapat menimbulkan konflik. Gajah yang stres, kelelahan, dan disorientasi dapat membahayakan warga. Yang benar itu, ya, menggiring ke arah yang akan dituju gajah. Merupakan hal yang harus diterima jika gajah masuk perkebunan warga atau perusahaan, sebab selama ratusan tahun wilayah itu habitatnya,” kata Syamsuardi.

“Yang dapat dilakukan terhadap gajah tunggal ini, yakni meminimalisir dampak atau kerugian. Dan, harus dipahami mereka yang menetap atau membuat kebun di sekitar habitat gajah akan terus menghadapi hadirnya gajah tunggal. Ini proses alami gajah jantan,” lanjutnya.

“Perlakukan gajah dengan niat baik, maka dia akan bersikap baik pada kita, manusia,” kata Syamsuardi.

 

Warga berkumpul mendatangi gajah tunggal yang masuk Desa Suka Mulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Setelah kejatuhan Kedatuan Sriwijaya, selama beberapa abad Air Sugihan berubah menjadi rimba atau hutan belantara rawa gambut. Selama ratusan tahun, menjadi habitat gajah dan harimau sumatera.

Namun pada 1970-an akhir dan 1980-an awal, Air Sugihan menjadi lokasi HPH [Hak Pengusahaan Hutan] dan ribuan transmigran dari Pulau Jawa. Dikarenakan lokasi permukiman dan perkebunan transmigran berada di habitat atau koridor gajah, terjadilah konflik antara gajah dengan manusia.

Pemerintahan Orde Baru kemudian menjalankan Operasi Ganesha, yang tujuannya memindahkan gajah dari lokasi transmigran ke lokasi lainnya. Untuk beberapa bulan gajah menjauh, tapi setahun kemudian sebagian besar gajah kembali ke lokasi transmigran atau mengikuti koridornya.

 

Hampir setiap tahun, lahir anak gajah liar. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Gajah kelompok

Gajah grup atau gajah berkelompok dipimpin gajah betina dewasa. Gajah kelompok ini terdiri gajah betina tua, dewasa, dan anak anak, termasuk gajah jantan yang usianya di bawah delapan tahun.

Gajah grup memiliki jalur tradisional relatif tetap, yang biasa disebut jalur utama.

“Namun, gajah juga memiliki jalur tambahan atau ‘jalur tikus’, yang dipakai saat jalur utama ada hambatan,” kata Syamsuardi.

Saat ini, sangat sulit diprediksi [waktu] kedatangan gajah grup pada suatu lokasi. Sebab, cepat atau lamban sangat tergantung seberapa banyak halangan atau rintangan bagi gajah grup untuk terus bergerak mengikuti jalur tradisionalnya.

Tetapi, meskipun banyak rintangan atau halangan,  gajah grup tetap bergerak maju mengikuti jalur utamanya.

Bagi gajah grup sangatlah penting jika jalur utamanya tidak digeser atau diubah. Ketua gajah grup akan mempertahankan jalur tradisionalnya karena pada jalur tersebut tersedia kebutuhan kelompok, seperti pakan, mineral, air, serta jalur tersebut dapat dilewati anggotanya, baik gajah tua, muda, maupun bayi.

Gajah memiliki agenda rutin, minimal sekali setahun, berkumpul pada lokasi yang sudah mereka sepakati. Yang berkumpul ini berbagai gajah grup, serta gajah tunggal.

“Contohnya pada kantong gajah Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan. Gajah yang berkumpul lebih dari 48 individu. Artinya, hampir semua gajah yang ada dalam kantong ini berkumpul. Setelah itu mereka bubar, dan bergerak mengikuti keluarganya, sedangkan gajah tunggal kembali berpetualang menjahui kelompok atau keluarganya,” tandasnya.

 

Exit mobile version