Mongabay.co.id

Masyarakat Adat di Tengah Proyek IKN Nusantara

 

 

 

 

 

Panas mentari tak mengendorkan semangat belasan perempuan menari di Titik Nol IKN Nusantara, di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dengan iringan musik, mereka menunjukkan kebolehan gerak tari dihujani tepukan riuh penonton pada penghujung Juni lalu.

Belasan laki-laki dan perempuan berbaju hitam corak kuning-emas langsung membentuk barisan. Sambil mengepalkan tangan mereka kompak berteriak “Nusantara, Yes!”

Dalam rombongan terlihat Sibukdin, Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Sepaku, dan Kepala Adat Suku Balik, Kelurahan Pemaluan, Jubain. Dua tokoh masyarakat adat Suku Balik ini bilang diundang untuk mengikuti acara tari-tarian untuk ritual menyambut IKN.

Dari Titik Nol, rombongan terlihat berpindah-pindah, mulai dari landasan helikopter, hingga Bentang Panjang Jembatan Pulau Balang, berjarak lebih 40 kilometer ke arah selatan titik nol. Di jembatan itu, akan jadi jalan tol penghubung Balikpapan dengan IKN ini, para penari menunjukkan aksi sama.

Meskipun ada dua tokoh Masyarakat Adat Suku Balik, atraksi ini tak sepenuhnya mendapat dukungan dari suku yang berada dalam lingkaran kawasan inti pemerintahan IKN ini.

Yati Dahlia, pegiat tari-tarian Suku Balik, mengatakan, aksi ahad itu guna mencari perhatian pemerintah.

“Sementara mereka itu bukan orang Balik,” katanya.

Ajakan kepada Sibukdin dan Jubain ikut dalam rombongan para penari, kata Dahlia, agar seolah Suku Balik menanti kehadiran IKN.

 

Baca juga: Akankah Masyarakat Pesisir Disingkirkan Pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

Kawasan yang masuk daerah pengembangan IKN NUsantara. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Dengan menggandeng Suku Balik, beberapa pihak yang mengaku memiliki hak atas tanah di kawasan IKN seperti memiliki posisi lebih kuat.

Suku Balik, katanya, merupakan masyarakat adat yang sudah menetap sebelum Indonesia merdeka.

“Banyak yang berusaha mendekati dan mengklaim kami bagian dari mereka atau sebaliknya supaya mereka diakui juga dan dapat jatah di IKN ini,” kata Dahlia.

Tetua Adat Suku Balik, Sibukdin dan Jubain, nyatakan hanya ikut rombongan para penari karena diminta sebagai perwakilan Suku Balik. “Saya di sini mengawal anggota saya saja,” kata Sibukdin kala itu.

Masyarakat Balik hidup di wilayah itu sejak turun menurun, tetapi hingga kini belum ada pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, termasuk soal lahan dari negara. Belum ada peraturan daerah atau surat keputusan dari pemerintah daerah maupun pusat.

Kondisi ini jelas rawan bagi Komunitas Balik terlebih di tengah wilayat adat mereka masuk dalam proyek IKN Nusantara.

Dahlia pernah mengajukan sertifikat untuk dua asetnya rumah dan lahan perkebunan. “Tapi Dinas Agraria dan Tata Ruang minta satu sertifikat Rp45 juta, jadi total Rp90 juta. Dari mana kami dapat uang sebanyak itu?”

Mongabay berupaya konfirmasi, Chandra, Kepala Kantor BPN Penajam Paser Utara, sejak 10 Agustus. Baru Rabu (17/8/22), Chandra merespon. Dia menampik ada ’tarif’’ selangit buat ngurus sertifikat tanah.

Dia bilang, Suku Balik mendapatkan perlakuan ama seperti masyarakat umum. “Mengurus ke siapa? Kalau di kantor kami mengurus sertifikat pasti pakai loket,” katanya.

Sebaiknya, kata Chandra, Dahlia datang langsung ke Kantor BPN dan melaporkan persoalan ini. Karena bisa saja yang meminta bayaran itu oknum yang mengatasnamakan BPN PPU.

Dia tekankan, pengurusan sertifikat lahan di BPN berlaku bagi masyarakat yang berada bukan di kawasan hutan alias dengan status lahan di area pengguna lain. Kalau masih dalam kawasan hutan, katanya, harus ada pelepasan hutan terlebih dahulu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Yando Zakaria, antropolog juga dari Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat mengatakan, hukum di Indonesia mewajibkan masyarakat adat diakui dalam bentuk perda atau surat keputusan supaya mereka bisa memperjuangkan hak ketika ada proyek yang masuk ke wilayahnya, termasuk IKN Nusantara.

Ketiadaan legalitas bisa menjadi alat untuk tak mengindahkan masyarakat adat dalam mekanisme atau proses masuknya proyek ini, antara lain, soal lahan Balik yang bakal terkena IKN.

 

Baca: Nusantara dan Konsep Kota 15 Menit

Presiden Joko Widodo, bersama jajaran menteri kala berada di titik nol IKN Nusantara. Foto: dari Facebook Presiden Joko Widodo

 

***

Presiden Joko Widodo beberapa kali bertemu dengan tokoh adat di Kalimantan Timur untuk membicarakan proyek IKN Nusantara. Proyek akbar yang memerlukan Rp466 triliun ini disebut mendapat dukungan dari para tokoh adat di sana.

Dari laman Sekretariat Kabinet mencatat, pertemuan terakhir saat berkemah di Titik Nol IKN, 14 Maret lalu. Kala itu, para tokoh meminta, pembangunan tak hanya berfokus pada infrastruktur juga sumber daya manusia.

Suasana harmonis yang digambarkan dalam pemberitaan mengenai pertemuan-pertemuan itu tampak belum menggambarkan kondisi lapangan.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, tokoh yang diundang tak bisa disebut representasi masyarakat adat di wilayah IKN Nusantara.

“Yang bertemu dengan presiden bukan representasi masyarakat di IKN,” kata Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN, kepada Mongabay, belum lama ini.

Catatan AMAN di awal tahun lalu menyebut, ada 21 komunitas adat di wilayah rencana pembangunan IKN. Ada 19 komunitas adat di Penajam Paser Utara, sisanya di Kutai Kartanegara.

Identifikasi mereka menunjukkan ada 11 komunitas adat di dalam zona inti pembangunan IKN. Kondisi ini  menunjukkan kalau lokasi  IKN Nusantara bukanlah tanah kosong.

Dari identifikasi AMAN, kata Abdon, Suku Balik di Kelurahan Sepaku dan Pemaluan, paling terdampak. Dua wilayah ini berada paling dekat dengan titik nol dan masuk dalam poligon rencana kawasan inti pemerintahan. Namun, katanya, masyarakat adat di sana tak pernah dilibatkan termasuk dalam penyusunan Undang-undang IKN atau saat presiden mengajak bicara para tokoh adat.

“Mereka adalah orang yang paling dilupakan, padahal rumahnya dekat (titik nol),” kata Abdon.

 

Dokumen: Buku Saku IKN Nusantara

Titik Nol di IKN Nusantara. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

***

Tanaman sawit usia senja berbaris lebih dari 7 kilometer di jalan utama PT Triteknik Kalimantan Abadi (TKA). Hampir tak ada aktivitas di perkebunan ini, kecuali mobil umum lalu lalang sepanjang jalan perusahaan. Beberapa titik sedang perbaikan dengan beton.

Hak guna usaha (HGU) perusahaan ini sudah habis tahun ini. Perbaikan jalan itu lebih untuk mengakomodir kebutuhan sarana sebagai penghubung Jembatan Pulau Balang dengan titik nol IKN Nusantara.

Walau belum ada kepastian kapan perusahaan akan cabut, tetapi beberapa patok lahan sudah marak di lokasi ini. Di beberapa titik terlihat patok berdiri sebagai penanda penguasaan lahan.

Di satu bagian lahan ada membentang spanduk berukuran 100×50 cm dengan topangan empat batang kayu sebagai pigura.

Spanduk itu bertuliskan lahan itu milik kelompok ‘Kain Samma Jonebura’, masyarakat adat pesisir. Dengan luas lahan 128 hektar.

Di titik lain ada juga berdiri pondok kayu berkelir cokelat. Ada spanduk berukuran 80 x 60 cm di rumah panggung berlatar kuning. Tersebut lahan itu merupakan Tanah Juriyat, merupakan Wasiat 4 Dato Nene dan keturunannya.

Jumri SP, Kepala Adat wilayah Jenebora, Gersik hingga Pantai Lango menyebut klaim itu sebagai upaya masyarakat mengambil kembali hak mereka. Izin perusahaan dia bilang masuk dalam lahan masyarakat tanpa ada konsultasi sebelumnya.

“Kami sempat mau urus surat tanah tapi katanya dinas tidak bisa karena sudah masuk HGU perusahaan,” kata Jumri.

Setelah HGU perusahaan ini berakhir, katanya, bahkan, ada lembaga-lembaga adat bermunculan dan klaim lahan eks perkebunan sawit TKA. Padahal, katanya, mereka tak memiliki hak di lokasi itu dan hanya bermodalkan surat keterangan dari lembaga adat masing-masing.

“Mereka kami ajak ketemu tapi tidak pernah mau,” kata Jumri.

Abetnego Tarigan, Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut, ada perbedaan pandangan soal masyarakat adat.

Beberapa orang, katanya, menganggap masyarakat adat merupakan representasi kerajaan-kerajaan masa lalu. Padahal, masyarakat adat itu merupakan pihak yang menggantungkan hidup pada tanah dan memanfaatkannya.

“Kalau kerajaan masa lalu itu kan, hanya pemerintahan di masa lalu. Apalagi, kalau tidak ada pengakuan seperti Yogyakarta yang ada payung hukumnya.”

Yando Zakaria mengatakan, secara akademik, ada perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat tradisional, termasuk di lokasi IKN. Masyarakat adat, katanya, adalah komunitas yang mengurus hidup mereka secara bersama-sama dalam teritorial tertentu.

 

Baca juga: IKN Nusantara, Bagaimana Pastikan Ramah Alam dan ¬indungi Hak Masyarakat Adat?

Penandaan lahan di bekas konsesi di sekitar proyek IKN NUsantara. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Pada dasarnya, masyarakat adat memiliki satu teori kehidupan bersama hingga ada satu hukum yang mengatur mereka bersama-sama. “Sedangkan kalau masyarakat tradisional tidak begitu, merek bisa hidup dengan adat, tapi itu tidak digunakan untuk entitas yang mengurus diri sendiri,” katanya.

Untuk mencontohkan beda keduanya, Yando merujuk pada orang Minangkabau yang disebut sebagai masyarakat tradisional. Sedang masyarakat adat di Minangkabau adalah nagari atau yang disebut kaum atau suku.

Selain itu, orang Jawa, Dayak, Bali dan lain-lain disebut sebagai masyarakat tradisional. Masyarakat adat, katanya, bisa terlihat dari entitas yang memiliki adat dan ketergantungan mereka terhadap tanah di satu wilayah.

Mengidentifikasi kedua entitas ini di lokasi IKN, kata Yando, penting karena berkaitan dengan hak atas tanah masyarakat adat. “Yang punya hak atas tanah adalah masyarakat hukum adat, bukan masyarakat tradisional.”

Secara teori, katanya, ada lima hal yang bisa jadi acuan untuk mengetahui keberadaan masyarakat di IKN, yaitu wilayah, orang, struktur adat, benda adat dan hukum adat.

Kelima komponen ini, katanya, harus dikaji betul oleh pemerintah. Namun, katanya, untuk wilayah dan tanah, ada pengecualian.

Untuk tanah komunal, katanya, bisa seperti di Suku Balik adalah tanah komunal privat yang sudah menjadi milik pribadi. Hal ini bisa terjadi ketika organisasi adat sudah tidak ada.

Untuk wilayah, tidak menutup kemungkinan teritorialnya adalah desa yang sudah berdiri. “Jadi, hukum adatnya berlaku di dalam desa, seperti di Kalimantan Selatan. Itu cara mereka merespons dunia luar.”

Dalam mengidentifikasi masyarakat adat dengan lima komponen itu, kata Yando, akan memudahkan pemerintah menyelsaikan masalah di kawasan IKN. Menurut dia, tidak perlu perda atau surat keputusan dalam kasus IKN, hingga pengakuan bisa secara de facto.

Abetnego mengatakan, pemerintah tengah mengidentifikasi masyarakat di kawasan IKN tetapi, lebih baik masyarakat yang sudah menggantungkan hidup dengan tanah di sana diakui sebagai masyarakat lokal, bukan adat.

Hal itu, katanya, akan lebih mudah dalam memberikan pembuktian berupa lokasi kebun yang sudah tergarap daripada harus sesuai de jure yang memerlukan perda atau surat keputusan pengakuan masyarakat adat.

“Akan lebih gampang (diakui sebagai masyarakat lokal), karena bisa dilihat pola pembukaan lahan dan aktivitas dari satelit dan kajian agraria,” kata Abetnego.

Untuk membuat kerja pemerintah lebih mudah sebagaimana yang disebut Yando, ada instrumen Peraturan Presiden Nomor 65/2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN Nusantara.

Dengan merujuk perpres ini, penyelesaian tanah adat di IKN tidak perlu lagi merujuk pada Peraturan Menteri ATR Nomor 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

“Sesederhana itu. Itu pun kalau pemerintah mau,” katanya.

Dalam hal ini, maka yang berwenang adalah Badan Otorita. Sayangnya, hingga berita ini turun tidak ada respons dari Badan Otorita.

Sesuai Mongabay sudah memberikan daftar pertanyaan kepada Sidik Pramono, Koordinator Tim Informasi dan Komunikasi Tim Transisi IKN. Ketika diminta lebih lanjut, tak ada satupun jawaban dia respons, termasuk penyelesaian tanah masyarakat adat di kawasan IKN.

Seperti Suku Balik, hingga kini tak ada kejelasan perlindungan tanah adat. Kata Sibukdin, mereka akan tetap mempertahankan wilayah yang sudah menjadi tempat hidup mereka turun menurun.

“Kami akan terus bertahan di sini. Ini wilayah kami. Kamilah orang asli sini, Suku Balik. Walau kami dipaksa pindah, kami tidak pergi. Kami tidak mau terusir dari wilayah sendiri.”

 

 

 

*******

 

Exit mobile version