Mongabay.co.id

Refleksi COVID-19: ‘One Health’, Cara-cara Akhiri dan Cegah Wabah Berikutnya

Mencegah pandemi berikutnya, gambar oleh Photo by Gabriella Clare Marino on Unsplash

 

Hampir tiga tahun dunia hidup bersama Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), sejak kali pertama muncul di Kota Wuhan, Tiongkok, akhir Desember 2019, kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia menjadi pandemi. Artikel ini akan menguraikan situasi terkini dari penularan (epidemiological update) pandemi COVID-19, dan menegaskan kunci mengakhirinya, tak lain tak bukan dengan mencegah penularan dari manusia penderita ke manusia non-penderita.

Dalam tulisan ini juga ingin menunjukkan perlu mencegah kehadiran wabah penyakit yang ditularkan dari binatang ke manusia atau sebaliknya (zoonosis) berikutnya. Memahami asal-mula suatu penyakit dan keadaan yang menyebabkan wabah COVID-19 meletus merupakan studi etiologi penting mencegah kemunculan wabah berikutnya. Meski peristiwa sudah lewat, asal mula dari kemunculan wabah masih menarik dan penting diteliti.

 

Baca juga: Kultural Baru Hadapi Kemelut Pandemi COVID-19

Petugas medis dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka,NTT sedang mengambil sampel swab dari pelaku perjalanan yang menjalani karantina. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Situasi terkini COVID-19

Sudah menjadi pengetahuan umum kalau COVID-19 bisa berakhir bila tak ada lagi penularan, sementara virus terus bermutasi.

Masalah ilmiah yang menentukan cara pengendalian wabah saat ini adalah mempelajari mutasi yang terjadi. Saat ini, galur atau spesies SARS CoV2 yang melanda dunia sebagian besar adalah Omicron galur BA.5 yang sangat mudah menular.

Perkembangan situasi penularan terakhir dari situs resmi WHO 2022 “Weekly epidemiological update on COVID-19 – 27 Juli 2022 menyebutkan, ditemukan 50% Omicron BA.5 yang terus bermutasi, mengakibatkan penularan terus berlangsung.

WHO menyatakan, dalam satu minggu terakhir di dunia ada 6.6 juta penderita baru COVID-19. Walaupun angka itu jauh dari keadaan sebenarnya karena keterbatasan akurasi dan kecepatan pelaporan.

Titik panas ada di Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Penularan ini dipengaruhi perilaku, misal, mengabaikan memakai masker, menjaga jarak, sambil berkerumun.

Kecenderungan kematian global juga meningkat sejak lima minggu terakhir. Dalam satu minggu saja laporan kematian global mencapai 12.689 orang, dengan data terus meningkat karena ada kelambatan pelaporan. Kematian tertinggi dari Amerika Serikat, Brazil, Italia, Spanyol dan Perancis.

Dalam penjelasan WHO melalui media diantara yang meninggal adalah mereka yang belum mendapat vaksinasi: 50% dari Amerika, 30% dari Eropa. Hotspot ada di 50 negara, 35 negara mengalami kenaikan lebih 100%, tiga negara lebih dari 1.000%. Kebanyakan karena belum vaksin, mereka yang berumur lebih dari 60 tahun, status vaksinasi COVID belum lengkap, atau ada komorbiditas.

Penularan COVID-19 oleh Omicron B A 5, masih bisa terjadi walaupun orang sudah mendapat vaksinasi. Perlindungan vaksin COVID-19 adalah mencegah sakit berat, perawatan rumah sakit dan kematian. Setelah mendapat vaksinasi dua kali, badan bereaksi dengan membentuk kekebalan. Perlu diingat, kekebalan yang terbentuk tergantung keadaan kesehatan perorangan.

Pada orang yang memiliki gangguan imunitas, memiliki komorbiditas dan orang lanjut usia, kemampuan badan membentuk kekebalanpun terbatas hingga bisa lebih mudah tertular.

Sumber: Modifikasi dari R. Wallace et al (2015) “The dawn of Structural One Health: A new science tracking disease emergence along circuits of capital”, Social Science and Medicine (2015) 129 68-77

 

Pengobatan dan pencegahan penularan

Gejala klinis COVID-19 akibat infeksi galur Omicron pada umumnya flu, lelah, lesu. Batuk dan pilek lebih sering terjadi. Gejala kehilangan rasa, seperti yang diakibatkan infeksi galur Delta, kurang banyak terjadi.

Gejala “long COVID”, yaitu setelah tiga bulan infeksi sudah berlalu, gejala tetap ada, lebih sedikit terjadi pada penderita galur Omicron BA.5. Gejala infeksi Omicron galur BA 2.75 tidak seberat yang dikhawatirkan.

Pengobatan yang diterapkan di Indonesia saat ini adalah obat antivirus Favipiravir, obat-obat mengatasi gejala serta vitamin. Pengobatan ini manjur dan pada umumnya penderita tidak memerlukan perawatan rumah sakit.

Tantangannya, pendapat umum bahwa “COVID-19 sudah tidak ada”, sementara kenyataan secara agregat terjadi kenaikan kasus.

Pemerintah dan masyarakat perlu terus mengusahakan penurunan risiko penularan, dan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, mewaspadai dan memeriksa peningkatan kasus-kasus baru, atau infeksi ulang bagi yang pernah terpapar. Kedua, maksimalkan vaksinasi COVID. Vaksinasi dasar dua dosis melindungi dari sakit berat, dan booster meningkatkan perlindungan itu. Mereka yang memiliki penyakit lain, yang disebut komorbid, pastikan agar mendapat vaksinasi booster.

Ketiga, kampanye gunakan masker dengan kualitas baik (misal N/KN95) juga kalau di luar ruangan. Walaupun memang di luar ruangan lebih aman, tetapi kalau berkumpul perlu pakai masker, juga amati gejala beberapa hari setelahnya.

Keempat, gencarkan rapid test COVID sebelum datang ke acara kumpul kumpul, dan test ulang tiga sampai lima hari setelahnya.

Kelima, informasikan tempat-tempat pelayanan kesehatan, termasuk yang dapat diakses pemegang kartu BPJS. Sebaiknya, masing-masing keluarga punya tabungan untuk menghadapi situasi kalau salah satu anggota keluarga tertular dan harus isoman sambil berobat, atau hospitalisasi, dan istirahat dari kegiatan usaha produktif.

 

Bumi yang saat ini diselimuti virus corona. Ilustrasi: Miroslava Chrienova/Pixabay/Free for commercial use. No attribution required

 

Asal-usul COVID-19

Jeffrey D. Sachs, profesor dan Director of the Center for Sustainable Development dari Columbia University (USA) menulis bersama Neil L. Harrison, “Did US Biotechnology Help to Create COVID-19?”, Project Syndicate May 27, 2022. Mereka berargumen, laboratorium Amerika Serikat ikut menciptakan kondisi untuk meletusnya wabah yang menjadi pandemi COVID-19.

Virus SARS CoV-2 diyakini berasal dari kebocoran proses-proses labolatorium. Argumen ini perlu ditelusuri lebih lanjut, namun mereka menyayangkan, otoritas Pemerintah Amerika Serikat tidak memberi akses kemudahan bahkan membatasi penyelenggaraan penelitian tentang andil yang mungkin dimainkan oleh laboratorium itu. Padahal, kalau benar virus Corona berasal dari laboratorium, maka Pemerintah Amerika Serikat hampir pasti bersalah.

Menandingi argumen itu, ada publikasi dua penelitian terbaru yang terbit pada 26 Juli 2022 di majalah yang berwibawa Science.

Keduanya menguatkan argumen kalau virus penyebab COVID-19 berasal dari binatang yang terinfeksi dari kelelawar. Binatang yang tertular virus itu bisa rakun, anjing, atau binatang lain yang dijual di pasar binatang liar lalu menular ke manusia. Disimpulkan kalau kasus awal ada di sekitar pasar seafood Huanan di Wuhan Tiongkok. Dua publikasi penelitian baru itu menguatkan argumen bahwa SARS-CoV-2 disebabkan penularan dari biantang (zoonosis). Ia juga menguatkan penelitian-penelitian yang sudah dikemukakan kembali dalam buku Rachman dan Nelwan (2021) Krisis dan Kemelut Pandemi COVID-19.

Dalam Michael Worobey et al (2022) “The Huanan Seafood Wholesale Market in Wuhan was the early epicenter of the COVID-19 pandemic” Science 10.1126/science.abp 8715 (2022) dijelaskan, kasus COVID-19 paling awal diketahui dari Desember 2019, termasuk yang tak memiliki hubungan langsung yang dilaporkan, secara geografis berpusat di pasar ini. Naskah itu menunjukkan, mamalia hidup yang rentan terhadap SARS-CoV-2 dijual di pasar pada akhir 2019 dan, di dalam pasar, sampel lingkungan positif SARS-CoV-2 secara spasial dikaitkan dengan manusia yang menjual mamalia hidup itu (vendornya).

Meskipun tidak ada cukup bukti menentukan mana peristiwa hulunya, dan keadaan yang tepat tetap tidak jelas, mereka menunjukkan, bahwa, kemunculan SARS-CoV-2 terjadi melalui perdagangan satwa liar hidup di Tiongkok. Juga menunjukkan, pasar Huanan adalah pusat penyebaran COVID- 19 pandemi.

Lalu, Jonathan Pekar et al “The molecular epidemiology of multiple zoonotic origins of SARS-CoV-2” Science10.1126/science.abp8337 (2022) mendasarkan diri pada analisa genom yang menyatakan ada dua limpahan dari binatang ke manusia.

Yang paling awal November 2019 dan beberapa hari atau minggu setelahnya. Peneliti membuat analisa statistik, yang menyimpulkan kemungkinan ada wabah di antara binatang yang dijual di pasar Huanan itu, orang terinfeksi berkali kali setelah itu wabah muncul pada Desember 2019.

Naskah itu menganalisis keragaman genomik sindrom pernapasan akut parah akibat SARS-CoV-2 di awal pandemi penyakit COVID-19. Bahwa keragaman genom SARS-CoV-2 sebelum Februari 2020 kemungkinan hanya terdiri dari dua garis keturunan virus yang berbeda, dilambangkan dengan A dan B. Dengan metode rooting filodinamik, ditambah simulasi epidemi, peneliti mengungkapkan garis keturunan ini adalah hasil dari setidaknya dua lintas spesies yang terpisah peristiwa penularan ke manusia.

Penularan zoonosis pertama kemungkinan melibatkan virus garis keturunan B sekitar 18 November 2019 (23 Oktober–8 Desember). Sedangkan, pengenalan garis keturunan A secara terpisah kemungkinan terjadi dalam beberapa minggu setelah peristiwa ini.

Temuan ini menunjukkan, kecil kemungkinan SARS-CoV-2 beredar luas pada manusia sebelum November 2019, dan menentukan jendela sempit antara ketika SARS-CoV-2 pertama kali menyerang manusia dan ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan.

 

 

Masyarakat risiko

Pandemi COVID-19 ini bukan sekadar kejadian temporer dan kembali ke “situasi normal.” Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan lama menjadi usang dalam sekejap, dan berubah. Kapitalisme yang menciptakan mobilitas dan kesenjangan spasial, sosial, dan ekonomi, selain merupakan pencipta kondisi penyebaran penyakit jadi pandemi, juga memperburuk efek dari pandemi COVID-19 itu sendiri.

Di abad ke-21 ini, belum pernah ada skala, cakupan dan durasi perubahan dalam kehidupan umat manusia yang sebanding dengan yang dibuat COVID-19 ini. Kita perlu belajar dari pandemi-pandemi yang terjadi di masa lampau, temasuk flu Spanyol 1918-1920 seabad lalu.

COVID-19 adalah hasil risiko ekologis, yang sesungguhnya diperkirakan para ahli dan tidak terlihat oleh banyak pejabat pemerintah dan elite lain. Risiko dimengerti sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik, mental dan sosial yang disebabkan proses-proses teknologi, hingga perluasan sistem produksi kapitalisme untuk akumulasi modal. Sesungguhnya, kita hidup di masa penuh risiko, dan seringkali risiko ini belum terlihat. Istilah masyarakat risiko (risk society) diteorisasi dan dipopulerkan oleh  ilmuan sosial terkemuka Jerman, Ulrick Beck (1992) Risk Society: Towards a New Modernity. Juga, ilmuan sosial Inggris, Anthony Giddens (1999) “Risk and Responsibility”, dengan maksud memperlihatkan situasi masyarakat, berkaitan dengan transisi dari industri modern ke era baru yang dibedakan suatu modalitas baru: bahaya teknologi.

Masyarakat risiko tidak hanya didefinisikan oleh distribusi barang dan kekayaan, tetapi lebih oleh distribusi risiko dan “bahaya buruk” (polusi, kontaminasi, dan produk sampingan lain dari produksi). Ini hasil tak diniatkan dari teknologi yang, karena diproduksi oleh masyarakat, dianggap dapat dicegah dan dimitigasi. Kontras dengan yang dipahami sebagai bencana alam.

Meskipun demikian, kedua jenis bahaya itu memiliki dampak yang dapat diperhebat atau dimitigasi oleh sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Risiko dan bahaya-bahaya buruk itu merupakan hasil konstruksi sosial.

Masyarakat risiko ini ditandai oleh, pertama, skala dan potensi bencana meningkat semakin menghebat. Kedua, memudarnya kepercayaan pada para ahli dan sains untuk bisa memprediksi dan melindungi manusia dari bahaya teknologi ini. Ketiga, ada kompetisi klaim dari para ahli yang makin sengit dan erosi konsensus ahli mengenai kompetensi pengelolaan bahaya lingkungan dari teknologi, disamping ketidakpastian dari ilmu itu sendiri dalam memprediksi terjadinya bencana.

Keempat, keamanan ontologis kita tentang keselamatan di dunia telah porak-poranda, dimana kelembagaan dari negara kesejahteraan, berbagai jaminan perlindungan asuransi swasta, dan lainnya, dipertanyakan kemampuannya dalam melindungi manusia modern dalam jangka panjang.

 

Deforestasi mengubah komunitas satwa liar dan memodifikasi interaksi manusia-satwa liar, seringkali meningkatkan potensi keluarnya patogen itu dan menulari manusia.. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

‘One health’

Supaya bisa melihat risiko-risiko ekologis berjangkitnya wabah-wabah baru ini, perlu pendekatan interdisipliner, one health yang mampu menghubungkan antara masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan kedokteran hewan, kedokteran manusia, dan kesehatan lingkungan.

Selanjutnya, structural one health mampu menghubungkan kondisi-kondisi struktural bagaimana sirkuit modal dari usaha agrobisnis oleh korporasi-korporasi peternakan unggas telah menyebabkan deforestasi dan perubahan ruang hidup manusia, binatang, dan alam pada skala lanskap. Lihat Rob Wallace et al 2020 “COVID-19 and Circuits of Capital. New York to China and Back” Monthly Review 72, no. 1 (May 2020): 1–15.

Mayoritas penyakit infeksi baru, sesungguhnya berasal dari zoonosis, seperti apa yang ditunjukkan oleh Kate E. Jones, Nikkita G. Patel, Marc A. Levy, Adam Storeygard, Deborah Balk, John L. Gittleman, and Peter Daszak (2008) “Global trends in emerging infectious diseases”, Nature 451:990-994.

Kita perlu menyelidiki apa yang menjadi faktor pendorong keluarnya jasad renik penyebab zoonosis dari habitat utama, lalu beralih ke, dan antarmanusia. Suatu model matematik sedang dikembangkan untuk menunjukkan bagaimana perubahan tata guna lahan yang membentuk perbedaan habitat hidup binatang yang berbeda, secara relatif membentuk pula risiko keluarnya jasad renik patogen.

 

Ketika lahan terdeforestasi kembali menjadi hutan, perbedaan komposisi spesies antara hutan primer dan hutan sekunder dapat mengubah lintasan risiko keluarnya mikroba patogen zoonosis. Foto: Pixabay/Public Domain/Sippakorn

 

Deforestasi mengubah komunitas satwa liar dan memodifikasi interaksi manusia-satwa liar, seringkali meningkatkan potensi keluarnya patogen itu dan menulari manusia. Sebaliknya, ketika lahan terdeforestasi kembali menjadi hutan, perbedaan komposisi spesies antara hutan primer dan hutan sekunder dapat mengubah lintasan risiko keluarnya mikroba patogen zoonosis.   John E. Virson et al (2022) “Land reversion and zoonotic spillover risk”, menggunakan model matematik untuk menunjukkan bahwa risiko keluarnya patogen zoonosis itu ternyata lebih tinggi di lahan terdeforestasi daripada hutan lebat.

Jadi, dengan menggunakan pendekatan structural one health ini, membuat kita perlu meneliti dan memikirkan kembali kerentanan-kerentanan dan risiko-risiko sosial, ekologi dan epidemiologis yang dihadapi beragam kelompok warga atau masyarakat sebagai akibat dari struktur sosial, spasial dan struktural yang berubah dari waktu ke waktu. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan keanekaragaman geografis, sumber daya hayati, dan kebudayaan.

Memperhatikan perjalanan pandemi COVID-19 ini, suatu periode krisis global dan telah pernah melalui titik puncak kritisnya di Indonesia masih terus mengusahakan tidak terjadi lagi kembali ke titik puncak itu.

Di tengah kesedihan mendalam, yang patut kita rayakan adalah suatu kebangkitan kembali etika tolong-menolong, merawat dan solidaritas di kalangan masyarakat luas yang beragam. Ini seperti ditunjukkan Giorgos Kallis et al (2020) The Case for Degrowth. Bahwa, bertindak kolektif melawan krisis semacam itu membutuhkan kombinasi dari pengorbanan dan solidaritas, antara kepentingan diri sendiri dan kolektif, dan antara intervensi pemerintah dan kesukarelaan rakyat melakukan hal yang benar.

Setelah pandemi menurun, jalan sulit rekonstruksi ekonomi dimulai, dinamisme kebersamaan dan kepedulian yang bangkit kembali ini sesungguhnya akan menjadi penentu yang vital.

Impuls positif di antara individu dan jaringan akar rumput perlu tetapi tak cukup untuk perubahan yang berkelanjutan. Kita tetap membutuhkan negara-negara untuk menyediakan jaminan keamanan dan perawatan kesehatan, melindungi lingkungan hidup, dan menyediakan jaring pengaman ekonomi. (***)

 

 

*Penulis: Ilsa Nelwan, dr, MPH, epidemiolog, mantan advisor sistem kesehatan di kantor WHO Asia Tenggara. Noer Fauzi Rachman PhD adalah adalah psikolog, dosen psikologi komunitas dan psikologi lingkungan dari Universitas Padjadjaran. Keduanya menulis buku Krisis dan Kemelut Pandemi COVID-19 diterbitkan Direktorat Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, dan Masyarakat Adat (KMA), Dirjen Kebudayaan RI, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, 2021.

 

Exit mobile version