Mongabay.co.id

Berbagai Skenario Meningkatkan Produksi Energi dari Listrik Surya Atap

 

Indonesia sebagai presidensi G20 memiliki beban untuk mengejar target transisi energi bersih karena pencapaiannya berjalan lambat. Berbagai opsi ditawarkan untuk merealisasikan wacana transisi dari energi fosil ini. Di sisi lain, sejumlah peneliti menyayangkan pembatasan pembangkit listrik surya atap 10-15% oleh PLN.

Tiga agenda strategis tahun ini di G20 adalah arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi. Karena energi penyebab emisi tertinggi ada kelompok kerja membahas akses teknologi, energi bersih, dan pendanaan.

Workshop pemulihan ekonomi dengan mempromosikan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap atau solar PV di Nusa Dua, Bali, 9 Agustus 2022, membahas situasi transisi energi Indonesia saat ini dan masalahnya.

Jadhie Judodiniar Ardajat, Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas mengakui dalam jalan pemulihan ekonomi ada polemik inharmonisasi pengembangan PLTS atap antara pemerintah dan PLN menyangkut teknis dan titik harga sehingga terhambat. Ia berharap surya atap bisa kembali bergulir dan berdaya guna.

Menurutnya Bali jadi pertimbangan strategis karena salah satu provinsi yang dinilai mempertahankan keberlanjutan. “Ada keseriusan pemerintah daerah menjaga lingkungan, dan sistem energi bersih,” klaimnya.

Gubernur Bali I Wayan Koster menyayangkan kenapa PLN membatasi produksi energi dari PLTS atap hanya 15%. Menurutnya salah jika PLN akan merugi. “Harus dibandingkan keseluruhan biaya termasuk kesehatan dan ekosistemnya. Kalau bersih, biaya kesehatan menurun. Mungkin PLN masih pikir-pikir, mungkin dipikir rugi. Harusnya tidak ada keraguan menggunakan energi bersih,” sebutnya.

Namun, di Bali sendiri capaian transisi energi juga masih sangat rendah. Jika Bali berhasil diyakini bisa meningkatkan citra pariwisata Bali.

Koster menjelaskan saat ini ada sekitar 9.000 orang kedatangan WNA per hari dengan 23 maskapai. Wisatawan domestik lebih dari 10 ribu orang. Jumlah ini baru setengah dibanding situasi sebelum Covid-19. Sebelum pandemi, turis WNA sekitar 15-18 ribu dan domestik 35 ribu per hari. Akhir tahun diyakini bisa mencapai 80%. Pertumbuhan turis ini juga meningkatkan konsumsi energi listrik.

baca : Menanti Perbaikan Aturan PLTS Atap

 

Gerakan satu juta panel surya atap. Gerakan ini sebenarnya mendapatkan respon positif dari masyarakat, sayangnya, belum ada regulasi mendukung dari pemerintah. Bahkan, ada aturan yang malah menyulitkan. Foto : buletin Kementerian ESDM

 

Kebijakan mandiri energi dengan energi bersih diwacanakan melalui beberapa regulasi. Mulai dari rencana umum ketenagalistrikan, pengadaan kendaraan berbasis baterai untuk kendaraan dinas, dan pemanfaatan PLTS atap. “Respon sangat bagus, jalan tol di atas air harus diisi PLTS,” sebut Koster percaya diri.

Menurutnya ada polusi udara akibat pembangkit listrik tenaga (PLT) batu bara dan asap kendaraan. “Kendaraan dengan BBM harus dikurangi dihentikan, saya tidak mengijinkan PLT berbahan bakar batu bara atau fosil. Sekarang dari solar sudah diganti gas,” Koster berwacana.

Alasannya, kalau menggunakan energi berbasis fosil seperti batu bara dan minyak bumi, tidak bisa dibudidayakan. Jika dikeruk terus pasti habis karena setiap hari digali. “Kalau pikiran jangka panjang, energi bersih jawabannya. Sumbernya angin, air, matahari, gelombang, air terjun, dan lainnya. Air secara teoritis bisa habis, tapi masih lama, tidak seperti batu bara,” lanjutnya.

Ia meyakini rencana mengganti PLT bahan bakar solar menjadi gas akan terpenuhi. PLTU dengan batu bara yang eksisting saat ini di Bali adalah 380 MW. Ia menyebut sudah beralih ke sistem teknologi lebih ramah lingkungan. “Ikan tidak terganggu, air laut suhunya hangat kuku, dan masyarakat tidak komplain lagi,” klaimnya.

Ada juga rencana mengganti PLT dengan bahan bakar solar 115 MW dengan gas. Energi listrik dari PLTU Paiton 300 MW melalui kabel bawah laut akan dijadikan cadangan saat Bali mampu memenuhi kebutuhan energi mandiri.

Kebutuhan listrik Bali sebelum pandemi sekitar 940 MW, turun jadi 600 MW selama pandemi. Pemerintah juga sedang menyiapkan terminal LNG dan akan selesai 2023. Terminal inilah yang sedang diprotes warga sekitarnya karena berlokasi di pesisir dan hutan konservasi mangrove.

Bauran energi bersih di Bali saat ini hanya 0,26% dan ditargetkan jadi 11% pada 2025. Target peta jalan energi hijau pada 2045 adalah bauran energi 84%, dengan penggunaan kendaraan berbasis baterai untuk kendaraan roda dua sebesar 100%, dan roda empat sekitar 50%. “Perkantoran, hotel, mereka semangat (menggunakan PLTS atap) tapi kemudian dibatasi oleh PLN maksimal 15%. Tolong skema bisnis PLN diubah,” pintanya.

baca juga : Rayuan Investasi PLTS Atap

 

Gedung perkantoran yang pasang listrik surya atap di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Daniel Kurniawan, peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan sejumlah pilihan untuk menjawab pelambatan transisi energi bersih ini.

Menurutnya total alokasi belanja fiskal untuk energi bersih saat ini belum signifikan. Walau ada jargon pemulihan ekonomi hijau. Pemulihan ekonomi hijau ini adalah istilah perbaikan langkah fiskal pasca krisis menuju pemulihan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Karakternya antara lain, mudah dikeluarkan, memberi dampak ekonomi, sesuai anggaran pemerintah, dan berkontribusi pada penurunan gas rumah kaca.

Akhir 2021, bauran energi masih dominan dari energi fosil, khususnya batubara sekitar 66%, minyak 11%. Kemudian EBT 13%, yang didominasi 80% PLTA dan sisanya geothermal. Masih di bawah 0,1% untuk PLTS dan PLTB 40 MW di 2021, dominan industri.

PLTS atap dinilai lebih mudah dikembangkan. “Indonesia perlu cepat dekarboniasi bauran energi listriknya,” katanya. Jika ingin memenuhi target iklim, Indonesia harus memenuhi 24% bauran listrik dari surya pada 2030 dengan asumsi biayanya paling rendah.

Tawaran saat ini membuat pengadaan PLTS atap di bangunan pemerintah sebesar 30% dari luas atap dan target daya sebesar 3,6 GW program strategis nasional. Ada juga pilihan pengadaan PLTS atap untuk skala rumah tangga bersubsidi “Surya Nusantara” namun nilai subsidinya sangat tinggi.

Skema lain, memberikan insentif adopsi PLTS atap skala kecil berupa subsidi seperti pemberian cash back atau insentif fiskal lain seperti keringanan pajak bumi bangunan (PBB). Langkah lain memotong perizinan PLTS atap, karena PLN membatasi 10-15% saja. Menurutnya perlu penyertaan modal negara untuk pengembangan energi baru seperti pengembangan pembangkit.

baca juga : Industri Listrik Surya Bisa jadi Solusi Pemulihan Pasca Pandemi

 

Panel surya dipasang di atap gedung industri besar atau gudang. Foto : shutterstock

 

Opsi berikut adalah adopsi PLTS skala besar dengan lelang EBT, saat ini masih sporadis dan informasinya tertutup. Bali disebut bisa jadi contoh pulau surya pertama di Indonesia. Potensi bagus dan langit cerah, optimal memproduksi produksi energi. Menurut hitungan IESR, di Bali bisa 10 GW di bangunan pemukiman saja. Saat ini baru 180 KW dengan 192 pengguna sampai September 2021. Sedangkan regulasi Gubernur meminta pemanfaatan 20% PLTS atap.

Indonesia dinilai belum memprioritaskan pemulihan ekonomi jangka panjang, nilainya kurang dari 1% untuk pembangunan rendah karbon. “Perlu memanfaatkan PLTS atap untuk pemulihan ekonomi,” kata Daniel.

Ida Bagus Setiawan, Kepala Dinas ESDM Bali menyebut kebijakan PLN di Bali, PLTS atap tidak boleh lebih dari 20% kapasitas trafo, karena surya sifatnya intermiten agar tidak membebani PLN. Solusi teknisnya menggunakan baterai. Namun harus ada kajan dari sisi keandalan.

Menurutnya PLN saat ini masih over supply, kalau beli listrik lagi tidak efisien. Kapasitas terpasang energi bersih disebut 10 MW dari 1.200-an MW keseluruhan pembangkit listrik. Berbagai riset memetakan potensi PLTS sangat tinggi. “Jangan hanya jadi showcase G20 tapi juga dukungan kebijakan nasional,” harapnya.

baca juga : Bali Sebenarnya Mudah Capai Target Bauran Energi Surya, Asal…

 

Rangkaian panel surya di Noja Bali Hidroponik, Denpasar, Bali, yang dibentuk seperti bunga matahari sebagai sumber energi penggerak pompa irigasi hidroponik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR juga mengeluhkan pembatasan PLN itu. Menurutnya pembatasan 10-15% tidak memiliki dasar teknis yang kuat, karena awalnya dari rekomendasi konsultan PLN. Dengan alasan keandalan sistem, jika tingkat penetrasi PLTS atap di seluruh pemukiman optimal. Ini terkait keterbatasan trafo.

Dari simulasi di Bali pada 2020, dengan kapasitas eksisting, menurutnya tidak akan mengganggu sistem PLN. Pembatasan PLTS atap ini menurutnya merugikan developer dan UMKM instalator PLTS. Ada 200 anggota asosiasi dari developer besar seperti Medco, Total Solar, dan lainnya. Kemudian ada pemasang instalasi yang berbentuk UKM.

Fabby mengatakan jika hanya 15% saja beroperasi, cukup efisien untuk PLTS skala besar. Tapi untuk skala rumah tangga, misal 2200 KW, jadi hanya bisa mengoptimalkan 1 keping panel. Sedangkan biaya ongkosnya lebih mahal. PLTS atap tujuannya menghemat pemakaian listrik siang hari, namun tetap menggunakan PLN. Dari perhitungan, tata-rata 20-40% energi per bulan bisa disubstitusi.

 

Exit mobile version