Mongabay.co.id

Debu Batubara Dijadikan Bahan Konstruksi Beton, Tidak Berbahaya?

 

 

Debu batubara atau fly ash and bottom ash [FABA] merupakan sisa pembakaran batubara yang masih menjadi persoalan lingkungan.

Profesor Anthoni, Guru Besar Ilmu Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, Surabaya, berhasil menggunakan limbah ini hingga 100 persen, sebagai bahan pembuatan beton.

“Penelitian kami mengembangkan metode quality control cepat bernama rapid indicator,” ujarnya  kepada Mongabay, baru-baru ini.

Fly ash berkualitas, menurut Anthoni, berasal dari pembakaran bersih. Artinya, melalui serangkaian kontrol ketat yang menghasilkan energi sempurna.

“Kadar karbon, bahasa ilmiahnya lost on agnation, semakin sedikit sisa pembakaran, atau tidak ada lagi yang terbakar, itu bagus sekali. Hasil yang diperoleh harus konsisten, kalau bervariasi ada perubahan di mutunya,” paparnya.

Kepala Laboratorium Beton dan Konstruksi UK Petra Surabaya ini, mengatakan pemanfaatan fly ash sebagai material pengganti semen dapat mengurangi permasalahan lingkungan.

Beton dari bahan fly ash menurut Anthoni tidak kalah dengan semen, karena berbahan dasar hampir sama, yaitu terdapat kandungan kapur. Pada semen, kandungan kapur mencapai 60 persen, dengan ditambahkan clay dan silica.

“Batubara diambil di alam, kalau ada kandungan kapur bisa kita pakai. Bila tidak ada, bisa ditambahkan kalsium,” imbuhnya.

Baca: Was-was Abu Batubara Tak Lagi Masuk Limbah Berbahaya

 

Profesor Anthoni, Guru Besar Ilmu Teknik Sipil Universitas Kristen Petra, Surabaya, menunjukkan beton berbahan 100 persen fly ash batubara. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan fly ash untuk bahan beton belum banyak digunakan industri. Rata-rata, 10-30 persen, serta 50-80 persen pada skala kecil untuk penelitian. Sedangkan penggunaan 100 persen, dapat dilakukan dengan menambahkan kalsium atau alkali activator.

Perbedaan daya tekan antara beton berbahan semen dengan fly ash, menurut Anthoni, tidak terlalu bermasalah.

“Amannya 30 persen fly ash. Semakin banyak fly ash akan semakin turun daya tekannya, sehingga perlu perlakuan khusus,” urainya.

Level selanjutnya, dapat menjadi geopolymere concrete. Fly ash direaksikan dengan alkali activator, bahan kimia dengan pH tinggi. Kemudian dicampur pasir dan kerikil yang biasa disebut beton geopolymere.

“Geopolimer sangat tinggi mutunya, 2-3 kali lipat untuk bangunan rumah,” terangnya.

Antoni berharap, PLTU di Indonesia memanfaatkan abu sisa pembakarannya menjadi lebih bernilai, sebagai bahan konstruksi beton. Dari sekitar 10,4 juta ton per tahun limbah fly ash di Indonesia, baru sekitar 1,2 juta ton atau sekitar 10 persen yang dimanfaatkan.

“Bila dibiarkan menjadi material yang mencemari lingkungan,” singkatnya.

Baca juga: Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

 

Proses pembuatan beton dari fly ash batubara. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Harus aman dari bahan kimia

Manager Advokasi dan Kampanye KAWALI Nasional, Fatmata Juliansyah, mengatakan FABA memang dapat dimanfaatkan sebagai material konstruksi, seperti bahan baku semen dan produk lain sebagai sirkular ekonomi. Namun, tidak akan berguna bila berasal dari energi kotor.

Batubara merupakan energi fosil yang pemanfaatannya melalui proses pembakaran mengahasilkan emisi, serta menjadi faktor penyebab krisis iklim.

“Sebaik-baiknya sirkular ekonomi, kalau asalnya dari energi kotor, efeknya buruk juga untuk lingkungan,” ujarnya.

Dampak buruk lain FABA, kata Fatmata, sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia, terutama kesehatan. FABA mengandung unsur kimia berbahaya seperti logam dan timbal, bila terhirup menyebabakan penyakit pernapasan. Bila terkena kulit, menyebabkan gatal-gatal.

“Bila terpapar ke sungai, menyebabkan pencemaran dan ekosistem perairan menurun kualitasnya.”

Pengolahan FABA menjadi konstruksi bahan bangunan, baru dianjurkan untuk jalan tol dan bandara. Untuk pengolahan bahan bangunan perumahan, harus melalui teknik khusus dan diuji secara benar.

“Harus betul-betul diuji untuk perumahan. Harus aman untuk yang menempatinya,” ujarnya.

 

Contoh debu batubara dari sejumlah PLTU di Indonesia. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kawali telah mengkritisi aturan baru yang mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3. Pada 2021 lalu, pemerintah ujar Fatmata, memberikan klarifikasi bahwa yang dikeluarkan dari limbah B3 adalah FABA yang diproses melalui pembakaran dengan suhu tinggi.

“Sedangkan FABA yang dihasilkan dari boiler, masih dikategorikan sebagai limbah B3,” paparnya.

Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, FABA tidak lagi masuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun [B3].

 

Exit mobile version