Mongabay.co.id

Ini Harapan Parapihak dengan Ranperda Pengelolaan Mangrove Sulsel

 

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan tengah menginisiasi rancangan peraturan daerah (ranperda) terkait pengelolaan mangrove. Inisiasi ini mendapat respons parapihak, khususnya aktivis dan pemerhati mangrove. Diharapkan keberadaan perda ini akan menjadi solusi bagi pengelolaan dan perlindungan mangrove yang sedang mengalami degradasi.

Menurut Rio Ahmad, Direktur Blue Forests, dalam beberapa dekade terakhir kondisi mangrove di Sulsel terus mengalami degradasi. Jika pada tahun 1994 luasan mangrove sebesar 110.000 hektar, maka sekarang ini jumlahnya menyusut hingga hanya tersisa 12.278 hektar. Kondisi yang sama juga terjadi di tingkat nasional.

“Pada banyak literasi, dulu Indonesia pernah punya 5,5 juta hektar sampai 6 juta hektar (hutan mangrove). Dirilis peta mangrove nasional 2021 Indonesia tersisa 3,3 juta hektar,” katanya dalam diskusi publik yang diselenggarakan atas kerjasama Jaring Nusa, Blue Forests, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan Mongabay Indonesia, di Makassar, Senin (15/8/2022).

Menurut Rio, potensi rehabilitasi mangrove di Sulel seluas 133.000 hektar yang tersebar di berbagai daerah. Upaya konservasi telah banyak dilakukan terutama di level komunitas. Meskipun sifatnya sporadis namun hasilnya sudah mulai terlihat, seperti yang dilakukan di Lantebung Makassar dan Kepulauan Tanekeke Takalar.

Ia berharap penyusunan ranperda mangrove ini juga memperhatikan karakteristik setiap daerah yang berbeda-beda, baik dari segi tipografi maupun tata kelola.

baca : Tanam Mangrove di Maros, Luhut Tegaskan Pentingnya Rehabilitasi Mangrove untuk Masa Depan

 

Diskusi tentang ranperda mangrove Sulsel, di Makassar, Senin (15/8/2022), dihadiri parapihak dari instansi, aktivis, mahasiswa dan swasta. Foto : Nirwan Dessibali/YKL Indonesia

 

Hidayat, Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Sulsel menjelaskan dari 12.000 hektar hutan mangrove di Sulsel yang ada saat ini, yang masuk dalam kawasan hutan hanya sebesar 1.700 hektar, baik di dalam kawasan hutan lindung maupun hutan produksi.

Ia berharap dengan adanya perda ini akan bisa mengatasi berbagai persoalan terkait mangrove, termasuk dalam hal konversi lahan ke tambak. Ia juga berharap luasan mangrove yang ada saat ini bisa dipertahankan seiring adanya perda mangrove ini.

“Dengan adanya perda pengelolaan ini kita berharap bagaimana mempertahankan ekosistem mangrove yang ada.”

Siti Masniah Djabir, Kepala Bidang Pengelolaan dan Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, menyambut baik keberadaan ranperda ini dan berharap akan ada banyak masukan sebelum disahkan menjadi perda.

“Dengan adanya ranperda ini, sebelum ditetapkan kita bisa saling memberikan saran atas isi dari ranperda tersebut sehingga ke depan kita menghindari konflik kepentingan terhadap munculnya kebijakan tersebut,” katanya.

Menurut Masniah, salah satu tantangan yang mereka temui di lapangan, ketika terjadi kasus pengrusakan mangrove, adalah ketidaktahuan masyarakat khususnya pelaku pengrusakan terkait aturan pengelolaan mangrove.

“Jadi ada suatu poin di situ bahwa penyuluhan atau sosialisasi tentang aturan mangrove itu sendiri masih harus kita giatkan dan itu menjadi pekerjaan rumah bersama. Banyak kasus di mana pelaku penebang mangrove merasa tidak merasa bersalah ketika menebang mangrove karena menurut mereka nenek moyangnya lah yang menanam mangrove tersebut.”

baca juga : BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah

 

Industri arang dari kayu mangrove berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan dari warung-warung makan di Makassar. Jika dulunya hanya terdapat 4 dapur arang kini jumlahnya sekitar 12 dapur arang, meningkatkan tekanan terhadap mangrove di Tanakeke, Takalar, Sulsel. Foto: Blue Forests

 

Selama ini, tambahnya, penebangan mangrove untuk kayu bakar banyak terjadi di Kabupaten Takalar karena masyarakat beranggapan bahwa membakar ikan dengan menggunakan kayu mangrove rasanya lebih nikmat dibanding kayu-kayu lain.

Selain itu, kerusakan mangrove juga banyak disebabkan oleh pencemaran, baik itu dari sampah atau minyak-minyak yang mengganggu pertumbuhan mangrove.

Hal lain yang menjadi masalah utama dalam pengelolaan mangrove, lanjut Masniah, adalah sering terjadi tumpang tindih, konflik, dan ketidakjelasan antara sektor pusat dan daerah. Dicontohkan pada program strategis nasional berupa pembangunan rel kereta yang melewati kawasan mangrove, sementara undang-undang di bawahnya itu tidak menjadi perhatian lagi ketika itu menjadi kapasitas program strategis nasional.

“Jadi mungkin di perda nanti perlu kita pikirkan untuk menetapkan kira-kira ini lahan mangrove jalur apa, dan kita sandingkan dengan kegiatan strategis nasional sehingga ke depan tidak tumpang tindih.”

Prof. Yusran Yusuf, akademisi dari Universitas Hasanuddin, berharap perda ini nantinya lebih operasional dan tidak terlalu umum untuk memperkuat upaya pelestarian dan pemanfaatan mangrove.

“Perda ini sebenarnya mengisi kekosongan atau menjadi penguat untuk mengoperasionalkannya di lapangan. Sehingga perda ini harus betul-betul operasional. Jangan lagi membutuhkan terlalu banyak forum, istilahnya pendelegasian lagi,” jelasnya.

perlu dibaca : Demi Tambak, Kawasan Mangrove di Pinrang Dibabat Habis

 

Sejumlah nelayan melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir Lantebung, Makassar, Sulsel. Sekitar 20 ribu bibit mangrove yang ditanam hari melengkapi sekitar 80 ribu pohon mangrove yang sudah ditanam sejak 2010 lalu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Mohammad Khomeiny, Public Policy & Regional Government Relations Head of East Indonesia at Gojek, menyambut baik adanya perda ini dan berharap adanya keterlibatan swasta dimasukkan dalam perda sebagai keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove.

“Gojek sendiri telah banyak terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove sebagai bagian dari program keberlanjutan perusahaan,” katanya.

Yusran Nurdin Massa, Enviromental Technical Advisor di Blue Forests, mengatakan bahwa inisiasi perda mangrove dari DPRD Sulsel ini adalah sebuah upaya penting untuk melindungi ekosistem mangrove yang tersisa di Sulsel sekaligus memperbaiki tata kelola dan upaya pemulihan ekosistem mangrove yang rusak.

Menurutnya, sebesar 62 persen kerusakan mangrove di Sulsel dalam tiga dekade terakhir ini disebabkan oleh alihfungsi lahan menjadi tambak, sehingga upaya pemulihan dan perbaikan tata kelola mangrove tak bisa dilepaskan dari perbaikan tata kelola tambak.

Ia menilai dalam ranperda nantinya harusnya secara tegas memasukkan poin moratorium alih fungsi lahan untuk peruntukan lain agar bisa mengendalikan dan menghentikan kerusakan mangrove yang tersisa.

“Kita sulit untuk mengatur penghentian penebangan karena di beberapa tempat karena masyarakat sangat bergantung pada kayu mangrove sebagai pendukung mata pencaharian atau malah sumber penghidupan utama. Seperti di Kepulauan Tanakeke yang sebagian besar masyarakatnya sangat bergantung pada kebutuhan kayu untuk patok rumput laut, kayu bakar dan pembuatan arang. Kasus seperti ini perlu didekati spesifik dan diatur tata kelolanya dengan baik.”

Yusran mengatakan optimasi fungsi kawasan baik itu sebagai hutan lindung, hutan produksi dan area penggunaan lain (APL) perlu dilakukan dengan mengatur apa yang boleh dan tidak boleh di masing-masing kawasan.

“Ada kawasan yang berfungsi untuk perlindungan semata dengan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan ada yang terbuka untuk pemanfaatan.”

baca juga : Mengenang Aziil Anwar, Pengubah Karang Tandus Majene jadi Hutan Mangrove

 

Gojek Indonesia terlibat dalam rehabilitasi mangrove di Lantebung Makassar. Keterlibatan parapihak termasuk swasta dinilai penting dalam perbaikan kawasan mangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dr. Amal akademisi yang menjadi ketua tim penyusunan naskah akademik dan ranperda, menyatakan upaya untuk penyusunan naskah akademik ini telah dilakukan sejak 2012 silam, yang berawal dari penelitian yang dilakukannya dari tahun 2011-2012 tentang tantangan dan peluang pengelolaan hutan mangrove di 10 kabupaten di Sulsel.

“Ketika penelitian-penelitian ini disampaikan ke dewan, ternyata disambut baik bagaimana penelitian-penelitian tersebut bisa disatukan menjadi aturan terkait pengelolaan dan pengembangan hutan mangrove di Sulsel,” jelasnya.

Menurutnya, mangrove di Sulsel memang menghadapi banyak tantangan, seperti konversi lahan menjadi lahan lain untuk tambak, jalan dan pelabuhan. Termasuk ketika adanya tren penggunaan dana desa yang digunakan untuk ekowisata mangrove.

“Kita lihat di Pangkep, Barru, Luwu. Sepanjang pesisir saya sudah telusuri rupanya dana-dana desa itu kebanyakan diarahkan ke ekowisata mangrove. Apa yang terjadi? Ya rusaklah ekosistem mangrove. Pengelolaan mangrove jika tidak berwawasan lingkungan maka akan menyebabkan degradasi manfaat ekologis dan ekonomis.”

Ia selanjutnya berharap berbagai masukan dari parapihak dapat memperkaya ranperda ini, termasuk dalam hal zonasi.

“Nanti diupayakan supaya ada zonasi-zonasi mangrove di Sulawesi selatan, di mana sebenarnya kawasan budidaya, kawasan konservasi, dan kawasan rehabilitasi.”

 

Exit mobile version