Mongabay.co.id

Nelayan Teluk Balikpapan, Sudah Terhimpit Makin Terancam Kehadiran IKN Nusantara

 

 

 

 

Masyarakat pesisir Teluk Balikpapan was-was membayangkan ruang hidup mereka yang bakal terkaveling lagi ketika ada Ibu Kota Negara Nusantara. Jumri SP, nelayan Desa Jenebora, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, bilang, saat ini saja sudah kesulitan karena di pesisir sudah banyak industri. Akses mereka tak seleluasa dulu. Tak bisa terbayangkan kalau tambah lagi ada proyek IKN.

Masih terang dalam ingatan Kepala Adat Jenebora-Gersik-Pantai Lango ini bagaimana melaut bisa menangkap 20-30 kg ikan. “Sekarang? Untuk makan saja susah,” katanya.

Semua bermula dari mulai marak aktivitas perusahaan di Teluk Balikpapan pertengahan 90’an. Kondisi ini diperparah dengan ada Kawasan Industri Kariangau (KIK) di Balikpapan Barat, seberang Desa Jenebora, pada 2012.

Perusahaan-perusahaan ini membatasi ruang tangkap para nelayan. “Hanya boleh mendekat maksimal 500 meter dari area perusahaan,” kata Jumri.

Padahal, beberapa wilayah kaya ikan dan udang berada di dekat perusahaan, seperti di wilayah yang kerap disebut Karang Solet oleh masyarakat lokal.

Kini, kawasan ini penuh dengan kapal-kapal besar jenis tongkang untuk minyak hingga pengangkut batubara. Kalau dibandingkan, kapal nelayan tradisional yang mencari ikan pada saat itu nampak seperti Daud di tengah rombongan Goliath.

 

Baca juga: Masyarakat Adat di Tengah Proyek IKN Nusantara

Nelayan Teluk Balikpapan, saat ini kondisi mereka sudah mulai terhimpit. Bagaimana kalau sebagian wilayah pesisir atau perairan akan terbangun saranan penunjang IKN Nusantara? Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Dia menceritakan asal-usul Desa Jenebora. Desa yang dia tinggali ini berubah nama dua kali, mulai dari penggunaan bahasa lokal, sampai bahasa yang mudah diucap pendatang.

“Dulu, desa ini namanya Jonebora, artinya pasir putih. Berubah karena administrasi jadi Jenebura, sekarang karena sudah ada pendatang berubah lagi jadi Jenebora,” katanya kepada Mongabay saat disambangi di kediamannya, akhir Juni lalu.

Di desa ini tinggal beragam masyarakat dari berbagai suku, mulai dari Bugis, Bajo hingga Jawa. Jumri bilang, suku asli di sini Sama Pesisir atau Dayak Pesisir.

Suku ini, katanya, memiliki kemiripan dengan Sama di daratan. “Bahasanya pun kurang lebih sama.”

Bedanya, mereka yang menetap di pesisir memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan. Mereka bergantung dari hasil tangkapan di Teluk Balikpapan.

Kadir juga alami kesulitan tangkap udang saat ini. Nelayan penangkap udang dari Desa Pantai Lango, tiga km di sebelah utara Desa Jenebora ini menyebut hasil tangkapan berkurang banyak, sekitar 70%.

“Kita susah menjaring karena kapal melabuh terus,” katanya sambil memindahkan hasil tangkapan ke luar kapal.

Sore itu, Kadir hanya bisa menangkap empat kg udang yang dijual langsung ke pengepul di Pantai di Jenebora.

Dulu, Kadir bisa hasilkan 20-30 kg udang dalam satu hari. “Penghasilan saya Rp4 jutaan per hari. Sekarang hanya dihargai Rp60.000-Rp63.000 per kilogram,” ucap pria 40 tahun yang sudah jadi nelayan sejak duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar itu.

 

Baca juga: Akankah Masyarakat Pesisir Disingkirkan Pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

Kawasan industri itu, dulu adalah wilayah tangkap nelayan. Saat ini sebagian akses nelayan trandisional sudah terbatas. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Sekarang saja sudah sulit…

Terampasnya ruang hidup masyarakat pesisir di Teluk Balikpapan ini niscaya akan terus terjadi. Mega proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara juga bakal memakan sebagian Teluk Balikpapan.

Bahkan, Lampiran II Undang-undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) menyebut ada dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan. Pertama, Pelabuhan Semayang yang akan jadi pelabuhan umum yang memiliki jalur pelayaran internasional. Kedua, Terminal Kariangan jauh di pedalaman Teluk Balikpapan dan berfungsi sebagai pelabuhan kargo internasional.

Dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan akan meningkatkan aktivitas kapal di perairan ini. Lalu lintas kapal pun berpengaruh terhadap ketersediaan hasil laut.

Kadir menyebut, udang cenderung menyebar dan sulit dijala ketika terganggu getaran kapal ukuran besar. “Kita ini kan merengge (menjala udang) mengikuti arus laut. Nah, getaran kapal ini terlalu kuat dan membuat udang agak timbul dan tidak mau merapat,” katanya.

 

Baca: Nusantara dan Konsep Kota 15 Menit

Anak-anak bermain di laut. Hidup masyarakat persisir Teluk Balikpapan, bergantung dari laut. Foto: Richaldo H/Mongabay Indonesia

 

***

Dari awal pembentukan, IKN Nusantara sudah menghasilkan berbagai tanya. Keputusan pemindahan ibu kota yang memerlukan area seluas 256.000 hektar dengan dana Rp466 triliun itu dinilai bernuansa politis.

Penyusunan instrumen hukum pun terbilang kilat. Catatan Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (Argumen) hitungan bersih penyusunan UU IKN hanya 17 hari. Durasi 47 hari yang disebutkan dalam pemberitaan berbagai media massa disebut mereka turut menghitung 30 hari masa reses.

Masalah keterbukaan ini menimbulkan tanda tanya di masyarakat, bagaimana apa nasib mereka nantinya?

Pertanyaan itu muncul dari hulu ke hilir. Dari kawasan pemerintahan yang memakan luas 56.181 hektar sampai masyarakat dengan ruang hidup masuk dalam kawasan pengembangan IKN seluas 199.962 hektar.

 

Penyingkiran?

Penyingkiran masyarakat imbas kehadiran IKN paling terang adalah di pesisir Teluk Balikpapan. Hal ini bisa terlihat tidak ada alokasi pemukiman dan ruang tangkap nelayan di Teluk Balikpapan dalam Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kalimantan Timur 2021-2041.

Dokumen RZWP3K ini justru mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan. Imbas paling terasa adalah nelayan-nelayan di Teluk Balikpapan harus meluncur jauh hingga Selat Makassar atau Laut Jawa untuk mencari peruntungan.

 

Perajin perahu. Petahu ini yang biasa digunakan bagi nelayan tradisional di Teluk Balikpapan. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Pokja Pesisir, lembaga yang bekerja untuk isu pelestarian dan penegakan hukum lingkungan di pesisir laut Balikpapan, menyebut, pemindahan wilayah tangkap nelayan bukan hal mudah. Perlu adaptasi terhadap karakter gelombang, arus hingga kapal yang mereka gunakan.

“Kalau kapal tidak memadai, itu jadi ancaman besar terhadap keselamatan nelayan,” kata Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, kepada Mongabay.

Dia mengatakan, pemukiman nelayan Desa Jenebora, salah satu pemukiman nelayan yang tak terakomodir dalam dokumen RZWP3K ini. Padahal, perkampungan nelayan ini punya nilai historis tinggi, termasuk kampung nelayan tertua di Balikpapan.

“Jadi, ancaman bagi mereka yang tak memiliki legalitas dan akses untuk melegalkan pemukiman mereka,” kata pria yang akrab disapa Selle ini.

Dokumen RZWP3K Kaltim ini pun mendapat sorotan dari Walhi. Merujuk data Badan Pusat Statistik Kaltim, Walhi menyebut ada 4.126 keluarga nelayan di Penajam Paser Utara dan 6.118 keluarga nelayan di Kota Balikpapan. Mereka ini menggantungkan hidup pada sumber ikan di Teluk Balikpapan.

Victor G Manoppo, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, permukiman nelayan yang sudah ada dan ruang nelayan tradisional yang ada pasti terakomodir dalam perda RZWP3K.

KKP, katanya, mengawal itu melalui pemberian perizinan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). Seperti di zona perikanan tak dapat diberikan PKKPRL untuk kegiatan yang tak mendukung perikanan atau dapat mengancam ruang penghidupan nelayan.

Berdasarkan catatan Walhi, Teluk Balikpapan hanya sebagai pelengkap bahkan obyek eksploitasi dalam pembangunan IKN. Walhi memprediksi, nasib Teluk Balikpapan tak akan berbeda jauh dengan Teluk Jakarta yang penuh cemaran.

 

Aktivitas nelayan tradisional di Teluk Balikpapan. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Yando Zakaria, antropolog juga peneliti di Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat, menilai, wajar masyarakat khawatir kena relokasi imbas karena ada proyek IKN. Dalam beberapa kasus, masyarakat adat selalu menjadi pihak yang dirugikan dan tersingkirkan kalau proyek masuk wilayah mereka.

“Proyek infrastruktur spesifik memang selalu berujung relokasi. Tidak ada kisah sukses dari langkah ini,” katanya.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus bisa menjadikan IKN Nusantara sebagai percontohan proyek yang bisa dilakukan tanpa menyingkirkan masyarakat adat. Apa lagi, proyek IKN sangat fleksibel dan bisa didesain sesuai kebutuhan.

Beda dengan proyek pertambangan yang harus melakukan ekstraksi di satu tempat, maka memindahkan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. “Kalau IKN kan bisa didesain untuk menyesuaikan kondisi existing masyarakat yang sudah ada.”

 

*******

 

Exit mobile version