Mongabay.co.id

Sanksi Korporasi Perusak Lingkungan dalam RKUHP Dinilai Lemah

 

 

 

 

Bahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus berjalan. Kalangan organisasi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan menilai, rancangan aturan ini makin melemahkan upaya penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

Puspa Dewi. Kepala Divisi Kajian Hukum dan Lingkungan Hidup Walhi Eksekutif Nasional mengatakan, draf RKUHP tidak jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Bahkan, dia menilai pasal-pasal di dalamnya justru makin melemahkan sanksi ataupun penegakan hukum lingkungan hidup.

“Kami melihat, pasal dalam RKUHP yang berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup itu justru makin meringankan perusahaan dan penjahat lingkungan. Padahal, kita ketahui begitu banyak pelanggaran hukum oleh perusahaan,” katanya.

Dalam pembahasan RKUHP, pemerintah maupun DPR hanya fokus kepada 14 pasal. Sayangnya, pasal yang berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup tak jadi prioritas.

“Kita melihat, RKUHP ini hanya karpet merah yang makin melanggengkan penjahat-penjahat lingkungan untuk perusakan dan pencemaran lingkungan. Termasuk penguasaan lahan di Indonesia,” katanya.

Data Walhi menyebut 94,5% lahan di Indonesia sudah dikuasai korporasi. Hanya sedikit untuk buat rakyat. Dengan melemahnya ketentuan pidana lingkungan hidup dalam RKUHP, justru akan makin menguntungkan korporasi untuk melakukan kejahatan lingkungan.

Dalam revisi itu, RKUHP lebih lemah dari ketentuan UU 32.2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam UU PPLH sanksi pidana tecantum minimal. Dalam RKUHP, tak ada ketentuan minimal tetapi maksimal Rp3 miliar.

“Ini punya implikasinya apa? Perusahaan bisa saja mendapatkan sanksi sangat rendah karena tidak ada batas minimum. Bisa saja sanksi Rp.1 juta karena saking tidak ada sanksi minimum,” katanya.

 

Pencemaran Sungai Malili terjadi karena jebolnya settling pond perusahaan nikel. Ada UU saja, perusahaan yang mencemari lingkungan hidup banyak terlepas dari sanksi, apalagi sanksi makin lemah? : WALHI Sulsel

 

Dalam RKUHP, korporasi juga bisa memilih apakah mau mendapatkan sanksi pidana atau membayar denda. Hal itu, katanya, masih sangat lemah. Atas dasar itu, tentu makin memudahkan bagi penjahat lingkungan untuk pencemaran dan perusakan lingkungan di Indonesia.

“Padahal kita mengetahui bahwa aktivitas penjahat lingkungan hari ini juga berdampak terhadap masyarakat bahkan juga kriminalisasi meningat.”

Pasal-pasal dalam RKUHP bisa menjerat semua pihak tetapi tidak dengan penjahat lingkungan. Karena itu, dia meminta ketentuan pidana lingkungan hidup dalam RKUHP sebaiknya dikeluarkan karena dalam UU PPLH, sanksi lebih tinggi.

Kalau RKHUP seperti itu, katanya, tidak akan memberikan efek jera kepada para penjahat lingkungan. Kalau tetap pengeahan, katanya, maka kerusakan lingkungan hidup akan makin parah. Krisis ekologis, perampasan ruang-ruang wilayah kelola rakyat, , pencemaran darat, lalut n udara.

“Tidak ada itikad baik negara memihak kondisi lingkungan hidup yang makin parah. Kita perlu meminta ini serius di DPR. Kita meminta ini juga dihilangkan atau dicabut pasal tindak pidana lingkungan hidup di dalam RKUHP.”

Andri Gunawan Wibisono, pakar hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, ketentuan dalam Pasal 46 RKUHP sudah menyebut tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan poengurus atau orang yang bekerja di bawah korporasi.

Jika ketentuan ini sah, maka kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan, misal, yang selama ini banyak menjerat korporasi, sudah pasti tidak bisa dipidana.

“Penyebab kebakaran itu harus ada. Harus dipanggil. Jadi, bukan hanya lewat lahan dibuktikan oleh jaksa bahwa si perusahaaan tidak mempunyai sarana dan prasarana yang tak memadai. Itu nggak cukup. Karena kalau itu sudah lari ke teori lain yaitu pertanggungajwaban organisasi namanya.”

Sebenarnya, teori pertanggungjawaban dalam hukum pidana sudah banyak berkembang. Ada dua cara. Pertama, lewat atribusi lebih mengedepankan pertanggungjawaban individu dalam korporasi. Kedua, berdasarkan organisasi bahwa organisasi itu memiliki kesalahan.

Kalau memakai pendekatan teori pertanggungjawaban atribusi seperti dalam ketentuan RKUHP saat ini, katanya, hakim akan sulit menjerat korporasi. Ketika sebuah korporasi sudah makin besar, keputusan itu bsia diambil oleh siapa saja di dalam organisasinya.

“Di luar negeri bahkan sudah diakui. Bahkan di Australia itu sudah masuk teori pertanggungajawaban berdasarkan corporate culture di dalam KUHP mereka. RKUHP ini baru. Tapi sayangnya model yang diakui adalah model yang sebenarnya di negara-negara asalnya itu sudah mulai ditinggalkan.”

 

Limbah minyak hitam terlihat disekeliling tambak ikan nelayan Bintan. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Hal lain, ketentuan Pasal 37 RKUHP menyebut kalau seseorang dapat bertanggungjawab atas perbuatan pidana orang lain. Menurut dia sangat berbahaya dan tidak tepat.

“Seorang bapak bisa masuk penjara karena tindak pidana anaknya. Bisa jadi seperti itu. Itu sangat keliru secara konsep pidana. Itu hanya berlaku di perdata. Maka saya menduga itu mengadopsi konsep perdata begitu saja ke dalam konsep pidana. Memang ada di negara lain untuk konsep vicarious liability untuk pidana itu ada. Tetapi hanya untuk korporasi. Tidak untuk manusia.”

Hal ini juga diperkuat dengan penjelasan dalam Pasal 48 RKUHP. Disebutkan kalau terjadi tindak pidana korporasi, maka ada dua kemungkinan bisa dipidana korporasi dan pengurus, atau korporasi atau pengurusnya.

“Jadi pengurus itu bisa dipidana sendiri. Jadi yang dipidana itu bukan korporasinya, tetapi pengurusnya saja. Ini juga sebenarnya bertentangan. Tidak boleh terjadi pengurus saja bertanggungjawab atas perbuatan korporasi. Tidak seperti itu.”

Menurut dia, teori vicarious liability tidak berlaku untuk manusia dalam konteks pidana. Dia berlaku untuk korporasi. Tidak boleh seseorang masuk penjara karena perbuatan pidana oleh orang lain. Hal itu termasuk pelanggaran HAM.

Dia bilang, korporasi dan pengurus korporasi adalah dua subjek hukum berbeda. Hingga teori pun berbeda ketika mau meminta pertanggungjawaban.

Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, persoalan RKHUP adalah cerita lama yang berulang. Sejak beberapa tahun lalu, persoalan tidak berubah. Pasal-pasal yang ada banyak bermasalah.

Logika sederhana, kata Dodo, sapaan akrabnya, sanksi pidana itu bisa memberikan efek jera kalau ancaman sanksi harus lebih besar dari keuntungan yang diterima si pelaku kejahatan. Dalam RKUHP, ancaman sanksi dan stuktur pengaturan justru lebih rendah atau tak sebanding dengan daya rusak.

Kalau tak diantisipasi, katanya, akan membuat penegakan hukum lingkungan hidup masuk jurang. Karena akan sulit menjerat ketika harus membuktikan kriteria baku kerusakan. Semenatra secara ilmiah, metodologi dan ilmu pengetahuan, tidak perlu membuktikan kriteria baku kerusakan dalam hal terjadi pencemaran.

 

Kasus karhutla di konsesi perusahaan yang terjadi banyak luput dari jerat hukum padahal tercantum dalam beberapa peraturan UU. Bagaimana kalau sanksi yang ada dalam UU seperti RKUHP mau dilemahkan? Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version