Mongabay.co.id

Menangani Sampah Laut dari Pelabuhan

 

Jarum jam menunjuk pukul 10. 00 saat Maya dan suaminya, Widodo merapikan karung, tempat mereka mengumpulkan plastik di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, akhir Juni lalu. Sekira tiga jam menyisir area pelabuhan, plastik seberat 25 kilogram berhasil mereka kumpulkan pagi itu.

“(Sampah) ini nanti langsung disetor ke pengepul. Lumayan hasilnya,” ujar Widodo. Wajahnya terlihat semringah. Dengan harga Rp700 per kilonya, paling tidak ia bisa mengantongi Rp70 ribu dari memunguti plastik dari bekas kemasan ikan kapal-kapal yang baru sandar.

Bagi Widodo, uang segitu sangat berarti untuk tambahan pendapatan. Maklum, dengan dua orang anak yang masih sekolah, penghasilannya sebagai pekerja serabutan tak cukup untuk memenuhi keperluannya. Apalagi, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat.

Sayangnya, kehadiran orang-orang macam Widodo dan istrinya tak cukup membuat kawasan salah satu pelabuhan terbesar di Pantura Jawa ini terlihat bersih. Itu karena plastik-plastik dan sampah lain yang tak bernilai ekonomi dibiarkan berserakan hingga membuat beberapa sudut pelabuhan terlihat kumuh.

 

Jadi Isu Global

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh. Abdi Suhufan mengakui, pengelolaan sampah laut dan pesisir masih menjadi persoalan global yang paling banyak dibicarakan belakangan ini. Tak terkecuali di Indonesia, yang dinilainya sebagai salah satu negara dengan pengelolaan sampah paling buruk.

“Ini yang kemudian menjadi salah satu alasan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 85 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut,” kata Abdi, sapaan akrabnya kepada Mongabay, Juni lalu.

Menurut Abdi, salah satu poin penting dalam beleid tersebut adalah tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) penanganan sampah plastik di laut 2018-2025. Dalam rencana itu, pemerintah menargetkan adanya pengurangan sampah plastik di laut hingga 70 persen pada 2025 mendatang.

baca : Perlukah Pelabuhan Ikut Tangani Sampah Laut?

 

Mural tentang penyadaran akan pentingnya pengelolaan sampah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Abdi mengatakan, persoalan sampah laut tak bisa lepas dari kegiatan penangkapan ikan yang berpusat di pelabuhan. Sebab itu, pengurangan sampah di laut harus dimulai dari perbaikan tata kelola sampah di pelabuhan. Sebagaimana yang telah diujicobakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah dalam setahun terakhir.

Menurut Abdi, ada beberapa pertimbangan dijadikannya PPP Tegalsari sebagai lokasi pilot project. Di antaranya, kondisi pelabuhan yang over capacity, jumlah kapal di atas 30 gross tonnage (GT) yang di atas 1.000 unit, banyak industri pengolahan hasil ikan, tenaga kerja yang hampir 15 ribu orang, serta menjadi barometer Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP).

Sebagai salah satu pusat kegiatan perikanan tangkap, sampah yang dihasilkan PPP Tegalsari cukup banyak. Bahkan, hasil studi yang dilakukan DFW sebelumnya didapati timbunan sampah yang dihasilkan mencapai 2,2 ton per hari. Sebanyak 80 persen di antaranya merupakan sampah organik dan sisanya (20 persen) anorganik.

Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, bila dirinci lebih detail, rata-rata jumlah sampah dari sisa perbekalan kapal yang mencapai 30 kilogram per trip. Terdiri dari 8 kilogram sampah makanan dan bahan memasak seperti penyedap rasa, garam, gula, kecap, sambal, terigu, mie instan, minyak, santan, snack.

Kemudian, 20 kilogram sampah minuman seperti air mineral, kopi, teh dan minuman ringan. Lalu, 1 kilogram sampah perlengkapan pribadi seperti sabun mandi, detergen, shampo, pasta gigi, dan sikat gigi; serta 1 kilogram sampah lainnya seperti kemasan rokok, obat dan tali pengikat.

Abdi bilang, di tengah situasi seperti ini, usaha untuk melakukan pengelolaan sampah terganjal oleh kesadaran nelayan yang masih rendah serta fasilitas dan sarana yang ada juga tidak memadai. Hal ini yang pada akhirnya mendorong DFW bersama multipihak menjadikan Pelabuhan Tegalsari sebagai lokasi percontohan.

baca  juga : Mencari Cara Terbaik untuk Menghentikan Sampah di Laut

 

Mural tentang penyadaran akan pentingnya pengelolaan sampah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dalam praktiknya, upaya itu diawali dengan menabulasi berbagai persoalan terkait pengelolaan sampah di wilayah setempat. Setelah itu, ditindaklanjuti dengan menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan sampah secara integral. Mulai dari sejak sebelum kapal berangkat, saat penangkapan hingga ketika pendaratan.

Abdi menerangkan, pada saat kapal akan berangkat, kru kapal harus memastikan adanya wadah atau tempat menampungan sampah. Sedangkan saat penangkapan di atas laut, para kru kapal melakukan pemilahan sampah plastik, serta menyimpannya.

“Dan saat pendaratan, pihak kapal harus mengisi manifest sampah pada armada kapal perikanan dan menyetorkan sampah yang dibawa kembali ke pelabuhan kepada otoritas pelabuhan setempat,” ungkap Abdi.

Agar SOP ini berjalan efektif, lanjut Abdi penyetoran manifest sampah itu sekaligus didesain sebagai bagian kelengkapan surat tanda bukti lapor kedatangan kapal yang harus dilampirkan. Setelah itu, sampah yang diserahkan selanjutnya dicatat dan ditimbang, sebelum akhirnya dikirim ke lokasi penampungan.

Bukan hanya menyusun SOP. Abdi bilang, selama setahun pelaksanaan, berbagai kegiatan dalam rangka kampanye penyadaran akan pentingnya pengelolaan sampah. Mulai dari pembuatan mural di beberapa sudut pelabuhan, poster, aksi bersih-bersih pelabuhan, workshop, hingga gerakan satu kapal nelayan satu kantong sampah. “Ada juga pembentukan kelompok kerja penanganan kebersihan dan pengelolaan sampah,” ungkap Abdi.

Di sisi lain, pemerintah sendiri menyadari persoalan sampah yang melingkupi kawasan pesisir dan laut Indonesia. Mengutip portal pemerintah, Indonesia.go.id. salah upaya yang dilakukan adalah dengan mengaktifkan kemintraan aksi plastik nasional (national plastic action partnership/NPAP). Pendekatan ini diklaim sebagai yang pertama di dunia.

baca juga : Sampah di Laut Dampak Kegagalan Penanganan di Darat 

 

Mural tentang penyadaran akan pentingnya pengelolaan sampah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, Kurniawan Priyo Anggoro dalam sebuah kegiatan di Semarang, akhir Juni lalu mengatakan, program pelabuhan perikanan bersih di PPP Tegalsari, Kota Tegal itu merupakan kolaborasi antara DKP Jateng dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dengan dukungan Uni Eropa dan Kementerian Federal Jerman.

Proyek percobaan ini bertujuan untuk mengurangi sampah plastik sebagai bahan pencemar di laut berbasis kawasan pelabuhan perikanan. Dalam pelaksanaan proyek percontohan ini, DFW Indonesia melakukan studi potensi sampah plastik yang dibuang ke laut, khususnya kemasan perbekalan makanan, minuman dan perlengkapan pribadi awak kapal dri aktivitas kapal perikanan di PPP Tegalsari.

Hasil studi diperoleh gambaran bahwa potensi sampah dari kegiatan kapal penangkapan ikan cukup besar. Mencapai 30 kilogram untuk setiap kapal di atas 30 GT dengan durasi trip 60 hari dan jumlah awak kapal 25 orang.

“Untuk mencegah kebocoran sampah plastik di laut dari kapal perikanan tangkap, kami kemudian menyusun panduan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan sampah di PPP Tegalsari,” kata Kurniawan. Termasuk juga dengan memuat gerakan satu kapal satu karung sampah.

Selain itu, pihaknya juga mendorong kapal perikanan dilengkapi fasilitas tempat sampah dalam rangka mewujudkan target pengurangan sampah di 2025 mendatang. “Kami juga meminta awak kapal melakukan pemilahan dan memastikan sampah plasltik dan limbah B3 dibawa kembali ke daratan saat berlabuh,” jelas Kurniawan.

Sekretaris DKP Jateng, Dewi Yuliawati mengatakan pihaknya memiliki keterbatasan sumberdaya dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan sampah yang ada. Untuk itu dbutuhkan kolaborasi multipihak melibatkan para pihak yang berkepentingan di sektor perikanan.

baca juga : Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Ilustrasi. Bibir pantai yang dipenuhi berbagai macam sampah di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Direktur Kepelabuhanan Perikanan, Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tris Aris Wibowo, dalam pemaparan materi menyampaikan bahwa perbaikan tata kelola di kawasan pelabuhan perikanan sebagai pusat dari aktivitas perikanan, akan berkontribusi kepada pengurangan sampah plastik di laut sesuai dengan target komitmen pemerintah mengurangi sampah di laut 70 persen di tahun 2025.

Wakil Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, M Syafriadi mengakui rendahnya pemahaman nelayan akan dampak sampah di laut. Karena itu, penting untuk merumuskan strategi edukasi yang efektif kepada para nelayan.

“Karena penanganan sampah laut ini tidak bisa diserahkan hanya kepada satu pihak saja. Baik nelayan atau pihak pelabuhan. Tetapi, harus dengan gotong-royong, kebersamaan dan tanggung jawab dari semua pihak,” ungkapnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto mendukung agar adanya kolaborasi antar instansi di Jawa Tengah. Menurutnya, usaha itu sejalan dengan keinginan KLHK untuk menangani sampah laut yang hari ini menjadi perhatian banyak pihak.

Bahkan, bila perlu dibentuk satuan tugas bersama yang melibatkan KLHK dan DKP untuk menangani sampai laut di wilayahnya. “Dan Kongres Sampah berikutnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Jawa Tengah akan memasukan isu penanganan sampah laut sebagai agenda utama bersama isu yang lain,” terang Widi.

 

Ilustrasi. Tumpukan sampah diantara kapal nelayan di sepanjang pantai Satelit, kecamatan Muncar, Banyuwangi, pada akhir Juni 2019. Selain di pantai, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

800 Spesies Terancam

Di sisi lain, merujuk Indonesia.go.id, buruknya penangan sampah bukan hanya terjadi di Indonesia. Data global menunjukan jumlah sampah plastik mencapai 400 juta ton tiap tahun, sebagaimana laporan Word Economic Forum 2020 lalu.

Masalahnya, sebagian besar sampah tersebut berpotensi merusak lingkungan, termasuk perairan karena tak tertangani dengan baik. Total ada sekitar 150 juta ton sampah plastik yang berada di perairan. Yang mengkhawatirkan, angkanya cenderung meningkat, mencapai 8 juta ton setiap tahun.

Laporan International Coastal Cleanup (ICC) pada 2019 menyebut, sebanyak 97,4 juta ton, sebanyak 10,5 juta ton di antaranya ditemukan di laut. Sembilan dari 10 jenis sampah berasal dari jenis plastik. Seperti sedotan dan pengaduk, peralatan makan, bekas botol minuman, gelas, hingga kantong kemasan.

Hasil studi yang dilakukan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convetion on Biological Diversity) pada 2016 menyebut, sedikit 800 spesies yang ada di perairan berpotensi terancam. Dari jumlah tersebut, 40 persen merupakan mamalia laut dan 44 persen lainnya spesies burung laut.

Laporan Konferensi Laut yang diselenggarakan oleh PBB setahun berikutnya (2017) bahkan mengungkap fakta mencengangkan. Sedikitnya 1 juta burung laut mati akibat limbah plastik yang masuk ke laut. Tak hanya itu. Sebanyak 100 ribu kura-kura serta ikan dalam jumlah besar mati setiap tahunnya akibat sampah yang tak tertangani ini.

 

Kondisi paus sperma sudah dipotong-potong warga ketika tim gabungan tiba. Terdapat sampah plastik basah seberat 5,9 kg dalam organ pencernaan paus malang itu. Foto: Alfi/AKKP Wakatobi/Mongabay Indonesia

 

Ditemukannnya bangkai paus sperma (Physeter macrocephalus) di perairan Wakatobi pada November 2018 silam bisa menjadi bukti betapa sampah plastik mengancam ekosistem laut. Pasalya, pada perut paus itu ditemukan ratusan jenis sampah plastik dengan berat total mencapai 5,9 kilogram.

Secara lebih rinci, beberapa jenis sampah itu di antaranya tali rapia, gelas bekas air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 350 milimeter, dan kantong kemasan. Ada juga sepasang sandal jepit dan beberapa jenis sampah lainnya. (*)

 

Exit mobile version