Mongabay.co.id

Kala Anak Muda Tuntut Aksi Nyata Atasi Krisis Iklim

 

 

 

 

“Jangan diam.” Lawan!” Begitu antara lain yel-yel yang diteriakkan ratusan anak muda yang melakukan long march di Jakarta. Pagi itu, Novi Kurniati pakai atribut baju dari kardus. Foto-foto dampak krisis iklim berjejer di bagian depan dan belakang baju perempuan 21 tahun ini.

Dia seperti pameran foto berjalan dalam aksi Youth20ccuppy: Voice of the Future di Jakarta, belum lama ini bersama sekitar 300 anak muda se-Pulau Jawa. Mereka mendesak pemerintah komitmen mewujudkan keadilan iklim dan menjalankan transisi energi bersih berkeadilan.

“Saya merasakan kekhawatiran masa depan dan lingkungan saya ke depan,” kata Novi kepada Mongabay di sela-sela aksi.

Anak-anak muda ini long march dari Kementerian Pemuda dan Olahraga menuju Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka berasal dari berbagai daerah bermacam-macam latar belakang. Ada yang tinggal di pesisir yang terdampak abrasi maupun banjir pasang air laut sampai yang hidup di sekitar PLTU batubara.

Novi bilang, bagaimana Dusun Winong, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah–tempat tinggalnya makin terdampak iklim masif. Letak di pesisir, dampak kenaikan muka air laut mengancam penduduk yang terus alami abrasi.

 

Aksi anak muda agar serius aksi nyata atasi krisis iklim. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi PLTU batubara menimbulkan pencemaran udara dan air. Bahkan membuat akses masyarakat terbatas dan hilang sumber alam yang menjadi gantungan mata pencaharian mereka.

“Masyarakat anggap sungai itu sebagai kulkas ekonomi. Namun dengan PLTU wilayah tangkapan ditutup,” katanya. Tak jarang, kata Novi banyak warga pindah bukan karena gusuran PLTU tetapi terdampak ekonomi makin sulit dan lingkungan yang kian mengkhawatirkan.

Adhinda Maharani Rahardjo yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon) mengatakan, Desa Citemu, Cirebon, tempatnya tinggal sudah mengalami pencemaran udara dampak pembangkit listrik batubara. “Level udara sudah level berbahaya. Sudah tidak layak huni. Kalau pagi berasa sudah sesak.”

Belum lagi, katanya, nelayan kehilangan mata pencaharian karena air tercemar.

Dia bilang, tak hanya Cirebon dan Indramayu terancam industri yang berisiko, daerah lain juga seperti, Majalengka dan Kuningan. Daerah-daerah itu punya pembangkit listrik panas bumi dan tambang galian.

“Pemerintah saat ini hanya mementingkan kebijakan-kebijakan yang melanggengkan industri yang mengorbankan masyarakat.”

Kebijakan ekonomi berbasis industri ekstraktif, kata Dhinda membuktikan, pemerintah tak memperhatikan masyarakat di tingkat tapak. “Kebijakan ekonomi pemerintah itu jadi industri yang mengancam hidup kita. Setiap hari dipertaruhkan kesehatan kita di kota sendiri. Apakah pemerintah memikirkan hal itu?”

 

Para genera muda menyuarakan krisis iklim dan serisu mengatasinya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Punya peran

Generasi muda paling terdampak dari perusakan lingkungan hidup buntut pembangunan yang eksploitatif. Bencana krisis iklim mengakibatkan krisis pangan, menghambat pertumbuhan ekonomi, krisis kesehatan hingga menelan korban jiwa.

Anak muda perlu ambil peran dan bersuara. “Kalau tidak anak muda (yang bisa bersuara tentang krisis iklim), siapa lagi, no one left behind,” kata Dhinda soal keterlibatan anak muda dalam aksi iklim ini. Dia bilang, anak muda merupakan agen perubahan dan agen pengawasan.

“Kita kan harapan dan tonggak masyarakat untuk masa depan,” katanya.

Mereka bergerak mewujudkan aspirasi masyarakat tapak. Situasi iklim saat ini sudah di krisis. “Jelas-jelas dampak sudah di depan mata. Kami merasakan.”

Anak muda, katanya, punya energi lebih untuk bersuara. Kalau mereka diam, maka masyarakat tapak seperti dia akan terus terintimidasi. “Saya belum tua saja sudah merasakan (dampak), harus tinggal dimana dan masa depan seperti apa. Di Winong saja anak-anak tidak memiliki lapangan untuk bermain.”

Novi menilai justru pemerintah yang melancarkan perusakan alam melalui pembangunan tanpa mempertimbangkan kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak dan lingkungan hidup.

 

Anak-anak muda dari berbagai daerah di Pulau Jawa, yang hidup di daerah yang alami kerusakan lingkungan dan terdampak krisis iklim. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pada 17-24 Juli 2022 terselenggara KTT Youth20, forum anak muda dari seluruh negara anggota G20 di Jakarta dan Bandung. Tujuannya, membahas persoalan krisis iklim dan kerusakan lingkungan untuk rekomendasi aksi kepada pemimpin G20, Presiden Indonesia.

Dikutip dari RRI.co.id, dalam Youth20 itu membahas empat isu prioritas, yakni ketenagakerjaan pemuda, transformasi digital, planet berkelanjutan dan layak huni, serta keberagaman dan inklusi.

Rahayu Saraswati, Wakil Ketua Y20 Indonesia 2022, mengatakan, rekomendasi dari pertemuan ini diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Dia berharap, presiden bisa menyampaikan aspirasi para pemuda ini ke KTT G20 di Bali pada November 2022.

Beberapa poin yang diadopsi dari pertemuan ini antara lain, transformasi sistem pangan dan akselerasi transisi energi. Y20 juga mendesak pemimpin negara G20 membentuk multi-stakeholder digital well-being charter pada 2023. Poin lain, berkaitan dengan ekosistem kewirausahaan sosial dan pendidikan berkualitas dan inklusif.

 

Aksi generasi muda suarakan keresahan krisis iklim makin [parah. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Tengah mengatakan, aksi ini mau merespon dari rangkaian acara Y20 yang tak merepresentasikan masalah sebenarnya. “Pertemuan Youth yang diadakan tak merepresentasikan suara anak muda. Ini anak-anak muda se-Jawa yang terdampak seperti PLTU batubara.”

Kebebasan bersuara anak muda ini, katanya, merupakan salah satu upaya keadilan antar generasi dalam menyuarakan isu iklim. Mereka, katanya, yang akan melanjutkan tongkat estafet 10-20 tahun ke depan dan yang akan merasakan dampak.

Dalam aksi ini, mereka juga membacakan deklarasi bersama sebagai bentuk sikap politik agar Indonesia bebas dari ancaman krisis iklim dan krisis ekologi.

Mereka mendesak, pemerintah menunjukkan komitmen penuh dalam pencegahan krisis iklim, termasuk pengambilan kebijakan berasaskan nilai demokrasi dan partisipatif. Juga, mewujudkan energi bersih berkeadilan dengan mempertahankan kearifan lokal dan berdasarkan kebutuhan masyarakat.

 

Kekhawatiran dampak krisis iklim, para generasi muda ini desak aksi nyata untuk mengatasinya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Tuntutan

Ada 13 poin sudah mereka elaborasi dari aspirasi anak muda di enam provinsi di Jawa. “Poin utama, berbicara terkait krisis iklim karena pengembangan energi masih berbasis energi kotor, kemudian perampasan ruang hidup yang berdampak pada masyarakat dan generasi muda.”

Poin lain, mereka menuntut arah pembangunan ekonomi ke depan berbasis pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Upaya penanggulangan krisis iklim pun lebih transparam dan inklusif.

Kebijakan ekonomi saat ini, kata Fahmi, bukan untuk mensejahterkan masyarakat malah seringkali merebut ruang hidup masyarakat.

“Perlu audit lingkungan hidup terhadap proyek strategis nasional, terutama di kawasan pesisir,” ujar Fahmi.

Tak hanya itu, kebijakan atasi krisis iklim perlu melibatkan masyarakat secara partisipatif, memiliki kesetaraan gender, inklusif dan representatif. Kebijakan pemerintah, katanya, perlu berasaskan nilai-nilai demokrasi dan partisipatif.

Mereka juga meminta, pemerintah mentrnsformasi sistem ekonomi, dari kapitalis ke perekonomian berbasis kedaulatan rakyat hingga mendorong ekonomi kerakyatan.

Dari sisi energi, anak muda meminta pemerintah mewujudkan energi bersih berkeadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan lingkungan, serta hak perempuan.

Tak hanya itu, pembangunan energi bersih juga perlu terwujud pada kebutuhan masyarakat dan kearifan lokal. Bahkan, pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan energi bersih dan berkeadilan bagi genrasi selanjutnya dengan mengoptimalkan sumber energi terbarukan yang tersedia.

Mereka pun mendesak pengawasan efektif, konsisten dan tegas dalam penegakan hukum terhadap korporasi yang merusak dan mencemari lingkungan hidup.

 

Berbagai poster suarakan kegelisahan generasi muda akan ancaman krisis iklim. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

********

 

Exit mobile version