Mongabay.co.id

Akhir Perburuan Sang Taipan Sawit, Surya Darmadi

Surya Darmadi

 

 

 

Mobil hitam berhenti di depan lobi Gedung Adhyaksa di bilangan Jakarta Selatan, siang itu. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan, lalu keluar beberapa petugas dan membuka pintu belakang. Dari dalam keluar lelaki berkemeja putih dengan masker hijau, yang langsung dikawal ketat masuk gedung, pada 15 Agustus lalu. Itulah, Surya Darmadi, pemilik PT Duta Palma Grup.

Kejaksaan Agung berhasil memulangkan Surya Darmadi, setelah menghilang selama delapan tahun lebih. Hari itu, tim kejaksaan menjemput taipan sawit ini itu di Bandara Soekarno-Hatta.

Satu minggu sebelumnya, Surya sempat berkirim surat ke Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Dia meminta maaf, belum bisa menghadap Kasubdit Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang dijadwalkan, 11 Agustus. Dia berjanji menghadiri panggilan Kejagung pada Agustus ini juga.

Surya terbang dari Taiwan. Sehari, sebelum tiba di Indonesia, Kuasa Hukumnya, Juniver Girsang, menyatakan, kliennya siap menghadapi proses hukum.

Dalam siaran pers yang diterima Mongabay, belum lama ini, Juniver sekaligus membantah tuduhan terhadap Surya yang disebut melarikan diri.

“Kehadiran Surya Darmadi secara fisik guna meluruskan opini yang tidak proporsional dan tidak berbasis fakta yang selama ini berkembang di publik. Beliau siap mengikuti semua proses hukum, walaupun saat ini dalam perawatan dokter,” kata Juniver dalam beberapa poin siaran pers pada 14 Agustus.

Surya Darmadi alias Apeng ditahan selama 20 hari di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Pada 1 Agustus 2022, Kejagung menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana korupsi dan pencucian uang, bersama Bupati Indragiri Hulu 1999-2008, Raja Thamsir Rachman.

Estimasi jaksa, negara rugi Rp 78 triliun dampak perambahan kawasan hutan jadi perkebunan sawit. Saat ini, total kerugian keuangan dan perekonomian negara sekitar Rp104,1 triliun. Kejaksaan tak hanya gunakan instrumen kerugian negara tetapi berupaya membuktikan kerugian perekonomian hingga nilai bertambah dari sebelumnya, 78 triliun.

“Kegiatan PT Duta Palma Grup mengakibatkan; kerugian negara, hilangnya hak-hak masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu yang sebelumnya memperoleh manfaat dari hasil hutan untuk meningkatkan perekonomian, serta ekosistem hutan rusak,” kata Burhanuddin, melalui siaran pers yang diterima Mongabay, baru-baru ini.

Duta Palma Grup, melalui anak usahanya, PT Banyu Bening Utama, PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Kencana Amal Tani dan PT Seberida Subur menguasai 37.095 hektar perkebunan sawit tanpa izin. Penyidikan mulai, Mei lalu. Kini lahan itu dititipkan ke PTPN V untuk dikelola, sementara. Diperkirakan, penghasilan dari perkebunan ini mencapai Rp600 miliar per bulan.

 

Baca juga: Annas Maamun, Penjara 6 Tahun dan Lolos Kasus Duta Palma, Ada Apa?

Lahan konsesi sawit duta Palma di Riau, yang berkonflik dengan masyarakat. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam kasus ini, Kejagung menggeledah hingga menyita sejumlah aset perusahaan, baik kebun maupun bangunan yang tersebar di Indragiri Hulu sampai Jakarta. Kejagung juga memblokir seluruh rekening operasional perusahaan. Penyidik memperkirakan nilai aset disita sekitar Rp10 triliun untuk keperluan pengembalian kerugian negara tadi.

Belakangan, Duta Palma Grup melayangkan gugatan praperadilan di PN Pekanbaru. Sidang perdana dibuka hakim tunggal, Salomo Ginting, 1 Agustus 2022, bersamaan dengan hari pengumuman tersangka Surya oleh Kejagung. Sidang ditunda satu bulan, karena termohon, Kejagung, tidak hadir.

Melalui kuasa hukumnya, Teuka Raja Rajuandar dan Dewi Gita Indri Anjani, Duta Palma Grup meminta pengadilan membatalkan rangkaian penyidikan, penyitaan dan penggeledahan Kejagung. Persidangan akan buka kembali 5 September.

 

Tersangka KPK

Jauh hari, Surya Darmadi, sebenarnya sudah terseret dalam pusaran kasus suap alih fungsi hutan di Riau pada 2014. Konglomerat sawit itu menyuruh anak buahnya, Suheri Terta, Legal Manager Perizinan dan Dokumentasi Duta Palma Grup, menyuap mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, melalui orang dekatnya, Gulat Medali Emas Manurung.

Korupsi itu berangkat dari pidato Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, pada hari jadi Riau ke 57. Saat penyerahan SK 673 tentang kawasan hutan Riau, dia membuka kesempatan pada pemerintah daerah, selama dua minggu, untuk mengajukan perubahan.

Membaca informasi itu di media, Surya bersama Suheri Terta, pun mendatangi Dinas Perkebunan Riau dan beberapa kali bertemu Kepala Dinas Zulher. Tujuannya, hendak bertemu Annas untuk mengajukan permohonan, supaya areal perusahaan keluar dari kawasan hutan dalam revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Riau.

Gulat menjadi penghubung Surya dan Annas. Untuk memuluskan keinginannya, Surya menjanjikan Rp8 miliar untuk Annas plus Rp750 juta fee buat Gulat. Uang itu baru diserahkan Rp3 miliar di rumah dinas gubernur, Jalan Diponegoro, Pekanbaru. Sisanya, bila Annas sudah mengakomodir seluruh permohonan.

Annas dan Gulat kemudian tertangkap tangan KPK pada 25 September 2014, saat serah terima uang: 156.000 Dolar Singapura dan Rp500 juta di Kompleks Grand Cibubur, Jakarta Timur.

 

Baca juga: Korupsi Hutan jadi Kebun Sawit, Gulat Kena 3 Tahun Penjara

Annas Maamun, Gubernur Riau non aktif, yang menjadi terdakwa suap alihfungsi kawasan hutan divonis enam tahun penjaga dan denda Rp200 juta. Hanya dua dakwaan terbukti, menurut majelis hakim. Dia terbebas dari kasus suap yang melibatkan PT Duta Palma. Foto: Lovina

 

Mahkamah Agung menghukum Annas tujuh tahun penjara. Presiden Joko Widodo kemudian memberikan grasi, setahun jelang hukuman berakhir.

Setelah bebas pada 21 September 2020, Annas kembali dipenjara satu tahun dalam kasus korupsi RAPBDP 2014 dan RAPBD 2015. Ini kasus yang sudah lama menunggunya. Ketika tertangkap tangan, Annas hanya tujuh bulan menjabat Gubernur Riau. Sekarang, tinggal beberapa bulan lagi, dia akan kembali bebas.

Sedang Gulat dihukum tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 23 Februari 2015. Setelah bebas, dia jadi Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Sebelum tersandung kasus, dia dosen salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru.

KPK baru mengembangkan perkara ini, selang lima tahun, sejak peristiwa operasi tangkap tangan. Pada April 2019, Surya Darmadi, Suheri Terta dan PT Palma Satu ditetapkan tersangka. Suheri Terta sempat bebas di PN Pekanbaru, tetapi Mahkamah Agung menyatakan bersalah dan dihukum tiga tahun penjara pada 30 Maret 2021. Kini, dia menunggu putusan peninjauan kembali.

Dalam perkara Suheri Terta, selain Palma Satu, Surya juga hendak mengusulkan perusahaan lain—yang kini disegel Kejagung—dalam usulan perubahan kawasan hutan Riau. Namun, sejak jadi tersangka, Surya kabur ke luar negeri dan KPK memasukkan dalam daftar pencarian orang.

Kelanjutan dari kasus Palma Satu juga tak kunjung jelas.

Setelah Kejagung bergerak hingga berhasil menyeret Surya ke Indonesia, KPK muncul lagi dalam hiruk pikuk kasus ini. Mereka menyatakan telah berkoordinasi antar sesama penegak hukum, untuk ambil bagian melanjutkan tunggakan perkara di institusinya.

 

PT Duta Palma membuka hutan rakyat tanpa legalitas jelas. Kasusnya kini ditangani DPRD Indragiri Hulu, Riau. Foto: Aji Wihardandi

 

Beberapa catatan

Jeffri Sianturi, Koordinator Umum Senarai, mengatakan, KPK mestinya menggunakan cara Kejagung dengan memblokir aliran keuangan perusahaan Surya. Andai langkah itu dilakukan, jauh hari, bos sawit yang menguasai lahan di Riau itu pasti sudah lama menyerahkan diri karena takut miskin.

Jeffri juga membandingkan kerja KPK yang cukup lamban menuntaskan korupsi sumber daya alam di Riau, khusus perusakan hutan oleh perusahaan Duta Palma Grup.

“Ada apa dengan KPK? Kejagung hanya butuh waktu setengah bulan memaksa Surya Darmadi muncul di hadapan publik. KPK bertahun-tahun mencari keberadaannya.”

Senarai, merupakan organisasi masyarakat sipil di Riau yang aktif memantau peradilan korupsi dan lingkungan hidup. Mereka meliput langsung persidangan Annas di PN Bandung, Gulat di PN Jakarta dan Suheri di PN Pekanbaru. Mulai dakwaan hingga putusan. Tak ada satu agenda sidang pun yang terlewat. Semua terdokumentasi.

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mendukung langkah penegakan hukum Kejagung. Pasalnya, hasil pengecekan lapangan, sejak awal Juni 2022, Walhi Riau mencatat sejumlah masalah di areal PT Banyu Bening Utama (BBU), salah satu perusahaan yang jadi obyek penindakan.

Antara lain, Koperasi Cenaku Lestari di Desa Kuala Cenaku, meminta perusahaan mengosongkan 900 hektar lahan yang puluhan tahun dikuasai. Tuntutan itu juga tertuang dalam SK Bupati Indragiri Hulu Nomor 142/TP/VI/2021, setelah pemerintah setempat fasilitasi mediasi kedua belah pihak.

Kemudian, pabrik sawit BBU di Desa Kuala Mulia, Kecamatan Kuala Cenaku, berada dalam kawasan hutan produksi dikonversi (HPK). Kebun dengan tanaman sawit berumur 16 sampai 10 tahun juga dalam kawasan hutan. Areal tanam lain bahkan berada pada gambut kedalaman dua sampai empat meter, yang masuk dalam fungsi lindung ekosistem gambut.

“Dengan ada sawit berusia sekitar 16 bulan, kemungkinan besar BBU tetap menanam sawit baru setelah pengesahaan UU 11/2020. Kalau mau tindak tegas, seharusnya ini momentum tepat untuk menegakkan norma aktivitas di kawasan hutan setelah UU Cipta Kerja,” kata Boy.

BBU, katanya, satu dari beberapa anak perusahaan Duta Palma Grup, akan melakukan proses pelepasan kawasan hutan, melalui skema yang tertuang dalam Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. Merujuk pada Keputusan Menteri LHK No. SK.531/2021, lokasi yang akan dilepas sekitar 1.536 hektar di HPK.

Berdasarkan analisis spasial Eyes on the Forest, koalisi Walhi Riau, Jikalahari dan WWF Indonesia—pada 2016 menguraikan, lokasi perkebunan BBU di kawasan HPK seluas 7.906 hektar dan 6 hektar kawasan hutan lindung. Lokasi ini berada di dalam dan luar HGU.

“Angka itu bahkan melebihi izin HGU. Dapat dikatakan seluruh areal kerja BBU berada dalam kawasan hutan,” kata Boy.

Berdasarkan SK No. 59/HGU/BPN RI/07 tertanggal 20 September 2007, luas hak guna usaha BBU 6.434 hektar.

Berdasarkan profil perusahaan yang dibagikan Boy, BBU adalah korporasi perkebunan sawit sampai perdagangan besar minyak dan lemak nabati. Saat ini, terafiliasi dengan PT Darmex Plantation.

Sesuai SK perubahan anggaran dasar nomor AHU-0076331.AH.01.02 tahun 2021, mayoritas saham dimiliki PT Darmex Plantation (99%). Sisanya, PT Palma Lestari.

BBU mengantongi izin usaha perkebunan dengan SK Nomor 71 tertanggal 4 Juni 2004. Berdasarkan Buku Basis Data Geospasial Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016, tak ditemukan izin pelepasan kawasan hutan.

 

Surya Darmadi, taipan sawit pemilik PT Duta Palma, menyerahkan diri dan kembali ke Indonesia pada 15 Agustus lalu. Foto: sreenshot

 

Berdasarkan tumpang susun peta RTRW Riau 1994, sekitar 1.470,21 hektar lahan dalam kawasan lindung.

“Terkait tindak pidana korupsi, saya kira proses pelepasan kawasan hutan BBU harus dibatalkan. Sebab, proses awal penerbitan izin maupun aktivitasnya sudah mengandung unsur melawan hukum dan berbau koruptif.”

Senada dengan keterangan Kejagung dalam siaran pers. Sejak 2003, Surya Darmadi buat kesepakatan dengan Raja Thmasir Rachman, untuk memuluskan perizinan budidaya dan pengolahan sawit dalam kawasan hutan dengan cara melawan hukum.

Roni Saputra, Direktur Hukum Auriga, turut mengapresiasi tindakan Kejagung karena mengambil pilihan tepat. Namun, katanya, ada yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum ini. Kejaksaan, katanya, mesti menulusuri seluruh aset anak perusahaan Duta Palma Grup hingga induk perusahaan yang paling besar.

Roni mengusulkan, kejaksaan berkolaborasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), buat asset tracking terhadap keuntungan yang diperoleh Duta Palma Grup, selama mengelola kebun dari 2003-2022, termasuk ke mana keuntungan mengalir. Dengan begitu, katanya, kasus ini akan jadi lebih besar bila Kejagung juga menetapkan perusahaan milik Surya sebagai tersangka.

Roni juga mengingatkan kejaksaan jangan cuma menyita benda bergerak atau yang tak bergerak saja, juga harus menyasar benda tak berwujud, seperti daftar saham Duta Palma Grup. Atau sumber lain dari hasil kejahatan, keuntungan dari hasil kejahatan dan lain-lain.

Dia juga mengusulkan, kejaksaan bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pasalnya, Duta Palma Grup selama 19 tahun mengelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Langkah ini, katanya, guna mendorong penerapan pidana tambahan pemulihan lingkungan yang rusak.

“Dalam kasus Duta Palma, kejaksaan jangan hanya terpaku pada kerugian keuangan negara, penting melihat kerugian perekonomian negara, salah satunya terjadi kerusakan.”

Duta Palma, katanya, mengalihkan lahan tanpa izin dan punya kewajiban mengembalikan pada kondisi semula.

Kalau kejaksaan progresif, dalam dakwaan maupun tuntutan nanti, katanya, jangan hanya melihat kerugian Rp 78 triliun. Menurut dia, itu masih kecil, karena ada kerusakan yang harus dipulihkan Duta Palma dari areal yang dikelola.

“Jaksa harus menguraikan kerugian ekologis yang muncul. Kalau itu dilakukan, akan jadi satu terobosan hukum di Indonesia, karena sudah mulai memperhatikan dampak lain dari kejahatan korupsi korporasi.”

Mengenai ihwal penyitaan, Roni mempertanyakan beberapa hal. “Apakah kejaksaan menyita lahan atau kebun berikut dengan tanaman, bangunan, pabrik dan peralatan operasional di atasnya? Tidak tepat kalau yang disita adalah lahan, karena itu milik negara. Tidak mungkin negara menyita punya negara.”

Kemudian, setelah kebun dititipkan ke PTPN V, ke mana hasilnya? Masuk rekening perusahaan negara itu atau rekening penampung kejaksaan? Kalau ke PTPN V akan jadi persoalan baru. Bahkan, kalau operasional kebun itu ditanggung atau dibebankan ke PTPN V juga, maka tak bisa disebut titipan. “Harusnya negara menentukan sejak awal.”

Ilustrasi. Banyak kebun sawit masuk kawasan hutan, salah satu milik PT Duta Palma. Foto: Nanang Sujana/RAN

******

Exit mobile version