Mongabay.co.id

Benarkah ‘Co-firing’ Biomassa PLTU Itu Transisi Energi? Berikut Kajian Trend Asia

 

 

 

 

Trend Asia, melakukan kajian co-firing biomassa khusus dari kayu terhadap 52 PLTU eksisting dari 2021-Mei 2022. Hasilnya, alih-alih menekan emisi karbon, Trend Asia malah menemukan antara lain, risiko terjadi deforestasi sampai permintaan batubara terus meningkat walau ada co-firing. Pemerintah pun diminta mengkaji ulang, jangan sampai kebijakan berlabel transisi energi untuk menekan emisi malah memberikan hasil sebaliknya.

Mumu Muhajir, peneliti Trend Asia-Ranang Strategic mengatakan, studi mereka membatasi pada biomassa bersumber dari kayu. Dalam kajian itu, mereka asumsikan jenis kayu akasia, kaliandra merah, gamal, eukaliptus, turi dan lamtoro.

Dari skenario pesokan biomassa dari berbagai jenis kayu dari hutan tanaman energi (HTE) itu, rentan terjadi pelepasan emisi dari setidaknya faktor emisi karbon dari deforestasi, aktivitas HTE, proses produksi pallet kayu, hingga aktivitas PLTU yang menerapkan co-firing.

Kajian bikin beberapa asumsi penggunaan campuran biomassa. Mumu bilang, kajian menghitung keperluan pertahun, pelet kayu perlu 10.228.679 ton jika co-firing 10%, 5.114.340 ton untuk campuran biomassa 5% dan 1.022.868 ton kalau pakai 1%.

Aktivitas itu membuat kebijakan co-firing berpotensi menimbulkan deforestasi sekitar 629.845-1.099.483 hektar (campuran biomassa 10%), 314.922-1.049.741 hektar (5%) dan 62.984- 209.948 hektar (1%).

Kajian ini menyebut, deforestasi berdampak langsung pada hilangnya setok karbon yang besar di dalam hutan alam. HTE, memang tanaman yang mampu menyerap karbon tetapi setok karbon yang terkandung tak setara dengan setok emisi hutan alam yang hilang.

Hasil analisis Trend Asia menunjukkan, meskipun total setok karbon yang akan dimiliki seluruh HTE yang mendukung co-firing pada 52 lokasi PLTU itu diperhitungkan, net emisi tetap positif.

Dengan begitu, katanya, setok karbon hutan alam yang hilang itu tak dapat dikompensasi seluruh pembangunan HTE.

Jadi, kata Munu, co-firing batubara dengan biomassa kayu memang mengurangi emisi dari PLTU, tetapi jumlah tidak signifikan hanya dari 147 juta ton kalau semua pakai batubara jadi 146 juta ton (co-firing 1%), 140 juta (co-firing 5%) dan 133,5 juta ton (co-firing 10%).

 

Dermaga PLTU Tanjung Kasam, Kota Batam. Tempat bongkar muat antara lain, batubara yang akan dipakai untuk bahan bakar PLTU. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Satu sisi, perlu jangka waktu 20-69 tahun untuk membayar emisi dari deforestasi dengan laju pengurangan emisi dari co-firing per tahun. “Tanpa ada pengurangan konsumsi batubara maka co-firing tidak akan efektif menurunkan emisi,” kata Mumu dalam diskusi Trend Asia, “Membajak Transisi Energi”: Kebijakan Co-firing PLTU dengan Biomassa di Indonesia, Seri I: Adu Klaim Mengurangi Emisi.

Dia juga memperlihatkan kalau penggunakan batubara meskipun co-firing sejak 2020, tetapi konsumsi batubara tetap naik. Seharusnya, kata Mumu, co-firing bisa mengurangi penggunaan batubara di PLTU dan mengurangi penebangan hutan. “Tidak bisa menyebut transisi energi kalau energi kotor tetap naik.”

Meike Inda Erlina, Juru Kampanye RE and Biomass Trend Asia mengatakan, pemerintah mengklaim co-firing lebih murah karena tak perlu pembangunan pembangkit baru. Pemerintah juga mengklaim co-fairing 5% dari energi bersih. “Tetapi tetap saja 95% batubara, yaitu energi kotor,” katanya.

Co-firing bisa jadi transisi energi palsu, karena berdasarkan studi Trend Asia itu bisa banyak menimbulkan pelepasan emisi.

Dia juga menyotori ada kehidupan manusia dan bidiversiti yang terdampak dari deforestasi yang tak ternilai bila disandingkan dalam hitungan ekonomi apalagi pemerintah mengklaim co-firing ‘lebih murah’.

“Misal, ada keberagaman hayati yang menopang hidup hilang akibat deforestasi, banyak orang bergantung dengan hutan, masyarakat adat. Itu nilai yang tidak terhingga yang tidak bisa negara bayar,” katanya.

Belum lagi, kayu untuk co-firing berkadar air tinggi hingga perlu energi besar juga untuk pembakaran. “Transisi energi co-firing biomassa ini terkesan dipaksakan.”

Dari situ, katanya, terlihat pemerintah tak mempertimbangkan secara ekologi, dalam menerapkan transisi energi. “Kalau transisi ini menyebabkan banyak bencana, banyak perampasan ruang hidup, kita menilai gagal transisi energinya,” kata Meika.

Dia juga menyingung, ada tantangan baru dalam kampanye soal transisi energi ini bagi aktivis lingkungan, yaitu Rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKHUP).

“Jadi, kalau proses tidak clean dan clear itu tidak bisa dikatakan energi bersih, malahan kita menyebutnya transisi energi palsu,” katanya.

 

Dokumen: Kajian Trend Asia soal emisi karbon dari co-firing biomassa PLTU

Hutan yang berisiko atau terancam ketika ada hutan tanaman energi. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye dan Media Forest Watch Indonesia dalam diskusi itu menghitung perkiraan pelepasan karbon dari deforestasi untuk proyek ketahanan energi 6.89 miliar ton per hektar. Potensi deforestasi, dia hitung dari perizinan eksisting, perhutanan sosial dan potensi izin baru.

“Upaya transisi energi seperti ini juga berdampak kepada ruang hidup masyarakat adat, potensi terjadi pelanggaran HAM, bencana alam, dan berdampak perubahan iklim,” katanya.

Zainur Rohman, peneliti Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyoroti soal keterlacakan pasokan biomassa berbahan kayu untuk PLTU. Dia bilang, perlu pengawasan ketat pada pengelolaan serbuk kayu, mulai dari penanaman, pengolahan hingga proses pengiriman ke PLTU.

Mereka juga melihat, proses pengergajian kayu perlu bahan bakar karena pakai mesin jadi ada energi terpakai di sana.

Dia  mengingatkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PLN, PLTU maupun institusi lain terkait dalam menggunakan biomassa untuk co-firing dengan PLTU wajib mematuhi ketentuan kayu bersertifikasi legal, di Indonesia sudah punya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Guna memastikan produk kayu dan bahan baku diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usul dan pengelolaan memenuhi aspek berkelanjutan.

Transparansi, katanya, jadi hal sangat penting dalam implementasi co-firing biomassa PLTU dari hulu ke hilir. Keterbukaan informasi pemerintah, katanya, dalam pelaporan rencana penggunaan dan realisasi biomassa secara berkala kepada publik. “Walaupun hasilnya buruk harus disampaikan, yang penting kalau terbuka masyarakat pasti senang.”

Dari keterbukaan itu, kata Zainur, kementerian terkait bersama multi pihak seperti masyarakat, CSO, media dan akademisi perlu menyusun skema pemantauan partisipasi publik atas kebijakan co-firing biomassa di PLTU.

 

Sumber: Trend Asia

 

Dari Jawa Barat, Wahyudin, Manager Kampanye dan Advokasi Walhi Jawa Barat bercerita, soal masyarakat terdampak di sekitar PLTU co-firing di Indramayu. Dari laporan masyarakat, debu dan asap pembakaran PLTU mereka rasakan. “Bahkan, saking asap dan debu tinggi kampung sulit terlihat.”

Dia nilai, sebutan transisi energi lewat co-firing itu hanya bualan belaka. “Hanya mengubah narasi tetapi tidak substansi.”

 

***

Bagaimana semestinya transisi energi itu? Meike menilai, transisi energi yang betul-betul bersih melalui gerakan sosio ekonomi, dengan masyarakat beraksi untuk mandiri energi, bukan bergantung pembangkit skala besar.

“Kalau itu berjalan pemerintah tidak pusing lagi, tinggal dikelola bersama, tidak hanya pengusaha tetapi juga warga. Intinya hentikan PLTU, jangan diperpanjang dengan skenario co-firing,” katanya.

Wahyudi berharap, pemerintah tak memberikan narasi kebohongan kepada publik. “Ayo pemerintah, kita buka-bukaan skema transisi energi, tentu tetap mengedepankan kebutuhan rakyat dan lingkungan.”

 

PLTU INdramayu 1, mulai co-firing antara bomassa dan batubara. Di lapangan, warga juga mengeluhkan debu dari pengangkutan bahan-bahan biomassa. JUga asap yang mengepul memenuhi perkampungan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version