Mongabay.co.id

Tiga Lumba-lumba yang Direhabilitasi Pasca Bangkrutnya Hotel Akhirnya Dilepaskan ke Alam

 

Setelah belasan tahun dalam kolam wisata dan tiga tahun direhabilitasi di sea pen, akhirnya tiga Lumba-lumba dilepaskan pada 3 September 2020 di Teluk Banyuwedang, kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali. Tantangannya saat ini adalah monitoring dan memantau keamanan habitatnya.

Dalam acara peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepasliarkan tiga ekor lumba-lumba hidung botol yang dilindungi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof. Siti Nurbaya membuka penutup jaring untuk mempersilakan tiga lumba-lumba menuju laut lepas. Ketiganya tidak langsung keluar dari kolam rehabilitasi tengah laut ini, sampai sekitar satu jam kemudian.

Siaran pers KLHK menyebut lumba-lumba tersebut berjenis kelamin jantan berumur 15-20 tahun bernama Rocky, sedangkan Jhony dan Rambo berumur 30 tahun. Lumba-lumba hidung botol ini pada mulanya merupakan satwa koleksi di Taman Satwa Melka di Singaraja, Bali. Namun karena keberlanjutan Lembaga Konservasi ini terhenti sehingga satwa lumba-lumba hidung Botol dikembalikan kepada negara. Mereka dievakuasi secara bertahap dari Melka pada 2019.

BKSDA Bali sebelumnya pada Mongabay menyebut CV. Melka Satwa merupakan Lembaga Konservasi dalam bentuk taman satwa sesuai dengan SK Dirjen PHKA No.SK 655/Menhut-II/2010 tanggal 22 November 2010. Izin Lembaga Konservasi ini berlaku selama 30 (tiga puluh) tahun sampai dengan 22 November 2040. Dalam perjalanannya, belakangan CV. Melka Satwa mengalami pailit dan puncaknya mengalami sengketa lahan dengan Bank Harda International. Dalam hal sengketa tersebut, satwa koleksi yang berada di lokasi tersebut tidak termasuk obyek dalam sengketa dan sepenuhnya masih merupakan tanggung jawab CV. Melka Satwa sebagai pemilik izin lembaga konservasi.

Sedikitnya 21 ekor satwa direlokasi pada 6 Agustus 2009 dari Melka yakni 2 ekor Lumba-lumba (Tursiops aduncus), 3 ekor buaya muara (Crocodylus porosus), 2 ekor bayan (Eclectus roratus), 1 ekor kakatua jambul kuning medium (Cacatua eleonora), 3 ekor nuri merah, 2 ekor lutung (Trachypithecus auratus), 3 ekor landak (Hystrix brachyura), 2 ekor kangkareng (Anthracoceros albirostris), 2 ekor jalak bali (Leucopsar rotschildi), dan 1 ekor ular sanca bodo (Phyton reticulatus).

KLHK menyebut pada saat menjadi satwa koleksi di Lembaga konservasi (ex situ) Lumba-lumba ini terbiasa untuk diberi makan, sehingga perlakuan pemberian makan secara bertahap diubah agar dapat mencari makan sendiri di alam. Tahap awal masih diberi makan ikan mati utuh, kemudian ikan hidup, sampai dilatih mandiri. Untuk itu diciptakan ekosistem buatan (Sea Pen) mendekati ekosistem alaminya dimana ikan-ikan hidup bisa ditangkap dan dimakan sendiri oleh Lumba-lumba hidung botol tersebut.

baca : Terlilit Jaring, Lumba-lumba Mati Terdampar di Pantai Sasak

 

Ketiga lumba-luma di sea pen rehabilitasinya. Foto : BKSDA Bali

 

Kepala BKSDA Agus Budi Santoso dalam siaran pers menjelaskan, dalam proses rehabilitasi, Lumba-lumba Jhony tidak dapat menggigit ikan ketika menangkapnya dan sering terlepas tidak seperti Rocky dan Rambo. Berdasarkan analisis dokter hewan, perlu dilakukan pemasangan mahkota gigi palsu.

Plt. Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Bambang Hendroyono menambahkan keberhasilan rehabilitasi lumba-lumba termasuk pemasangan gigi dari konservasi ex-situ untuk siap dikembalikan ke habitat alaminya (in situ) patut dihargai karena merupakan yang pertama di Indonesia. Bahkan masih sangat langka dilakukan di dunia sehingga hal ini bisa menjadi referensi bagi future practices dalam pemulihan dan penyelamatan mamalia laut seperti Lumba-lumba.

Ketiga lumba-lumba dipasang GPS yang akan terlepas sendiri 1 tahun kemudian, sehingga keberadaannya dapat dipantau melalui satelit. Selanjutnya monitoring pasca pelepasliaran akan tetap dilakukan baik menggunakan radiometri dan sonar serta pemantauan secara faktual melalui patroli dan sosialisasi kepada para pelaku jasa wisata dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional.

Femke den Haas, aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan pengelola Umah Lumba Center, lokasi rehabilitasi Lumba-lumba tersebut ketika dikonfirmasi Mongabay menjelaskan jika patroli akan dilakukan setiap hari. Pihaknya berencana selama satu tahun memantau dengan GPS dan patroli bekerjasama dengan TNBB dan Polair Bali. Mereka akan dipandu titik satelit di maps setiap hari. Saat ini ketiganya nampak ada di bagian utara Pulau Menjangan, dekat lokasi kolam rehabilitasi. Karena baru dilepas dan saat ini posisi ketiganya berdekatan.

Pemasangan gigi pada Johny dilakukan karena tanpa gigi ia sulit menangkap ikan di alam. Johny kehilangan gigi akibat terlalu lama hidup di kolam mengandung klorin, kena zat kimia, dan faktor usia. Femke menyebut selama 1,5 tahun tim Umah Lumba belajar dari dokter hewan dari Italia mempersiapkan prosedur khusus teknik ini agar tidak menimbulkan rasa sakit. “Pertama kali terjadi di dunia, sebulan terakhir kami mempelajari teknik pemasangan gigi dan April lalu sudah dipasang. Setelah dipasang 22 gigi, Johnny bisa menangkap ikan sendiri,” jelasnya bangga.

baca juga : Lumba-Lumba Mati Terdampar di Flores Timur. Bagaimana Populasi dan Jenisnya di Perairan Ini?

 

Pemasangan gigi pada Johny. Foto : Dolphin Project

 

Proses rehabilitasi pada Lumba-lumba yang besar di kolam akan berbeda tergantung banyak faktor, misalnya berapa lama di-captive dan kondisi fisiknya. Misal Johny tidak ada gigi, berikutnya faktor pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan.

Setelah dilepas ke laut lepas pun masalah tidak selesai. Ada banyak hal yang harus diawasi. Di antaranya sisi keamanan. Di area pelepasan tidak boleh ada jaring besar, karena itu perlu kerjasama dengan patroli keamanan. Memastikan kondisi mereka apakah di wilayah aman dan memantau jarak jauh dengan binokular untuk mengamati perilaku mereka. Apakah mereka banyak bergerak. Jika titik GPS jarang kemungkinan di dalam laut dan berburu, hal ini akan dievaluasi tiap hari.

Menurut Femke, Umah Lumba ini bisa dinilai berhasil dari sisi mempersiapkan kemandirian. Bisa berburu kembali dan banyak pihak yang bekerjasama seperti JSI dan Kementerian yang memberikan kesempatan kedua dalam hidup mereka.

Dari praktik pelepasan ada dua metode yakni hard release, lepas langsung ke alam bebas. Sedangkan ketiga Lumba-lumba itu dilepaskan dengan cara soft release, yakni memberi opsi mau keluar atau tidak dari kolam rehabilitasi setelah jaring dibuka. Dengan soft release, mereka memiliki pilihan mengambil keputusan karena bisa kembali ke sea pen. Umah Lumba ini dinilai fasilitas pertama di dunia yang besar dan permanen. Setelah pelepasan ketiganya saat ini belum ada lumba-lumba lain dan pihaknya siap menerima jika ada lagi yang perlu direhabilitasi

baca juga : Seekor Lumba-lumba Terdampar Mati dengan Usus Terburai di Pantai Yeh Leh Jembrana

 

Menteri LHK melepaskan tiga lumba-lumba. Foto : Dolphin Project

 

Pendiri dan Direktur Dolphin Project Richard O’Barry yang jadi konsultan ahli di lokasi rehabilitasi juga membuat catatan di websitenya terkait pelepasan ini. Ric terkenal dengan Film The Cove dan aksi-aksi kampanye pelepasan Lumba-lumba dari kolam wisata di dunia.

Ia menuliskan jika Johny yang pertama keluar, memimpin jalan untuk diikuti oleh dua lumba-lumba lainnya. Pada saat penyelamatan, Johnny, Rocky dan Rambo kekurangan berat badan, kekurangan gizi, dan menderita sejumlah cedera fisik yang serius. Selama beberapa bulan terakhir, lumba-lumba sebagian besar telah menangkap ikan mereka sendiri, menggunakan sonar untuk berburu dan menangkap mangsa. Ric menyebut sekitar 90% dari waktu mereka dihabiskan di bawah air, berbeda dengan lumba-lumba penangkaran yang menghabiskan 90% waktunya di permukaan air.

 

Exit mobile version