Mongabay.co.id

Warga Mengadu Lambatnya Penanganan Cemaran Tumpahan Batubara di Celukan Bawang

 

Sejumlah warga mengadukan lambatnya penanganan tumpahnya batubara ke laut di pesisir Desa Celukan Bawang, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Buleleng, Bali. Perwakilan nelayan dan warga sekitar takut dengan dampak buruk pencemaran batubara ini.

Senin, 29 Agustus 2022 jelang tengah hari, rombongan warga Celukan Bawang tiba di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali di Denpasar. Mereka menempuh perjalanan hampir 4 jam berkendara untuk melaporkan pencemaran di ruang hidupnya sejak kapal tongkang pembawa batubara karam pada 14 Agustus lalu. Sampai akhirnya pada 27 Agustus, kapal miring dan sebagian muatan batubaranya masuk laut. Warga takut dengan dampaknya pada ikan yang mereka konsumsi dan kualitas air di sekitarnya.

Didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, rombongan ini baru diterima setelah dua kali dipingpong karena arahan kurang tepat. Bahkan ketika sampai di unit pengendalian dampak lingkungan pun, petugasnya mengatakan bukan pihak yang tepat menerima pengaduan ini.

Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur LBH Bali memulai dengan mengatakan tujuan warga mengadu. Nah, di sinilah perdebatan singkat dimulai antara pengadu dengan Kasi Substansi Perencanaan dan Kajian Dampak Lingkungan Ida Bagus Adi Palguna.

Belum selesai penjelasan pengadu, Adi memotong dengan kesimpulan keliru yang memicu kekesalan pengadu. Di akhir pertemuan, barulah Adi mulai memahami konteks pengaduan. Karena peristiwa pencemaran batubara ini belum dibahas dan tidak tahu kronologisnya. Bahkan ia mengatakan koleganya di Kabupaten Buleleng baru bertanya tentang siapa yang berwenang memeriksa pencemaran lingkungan itu.

“Mungkin mencemari, harus diuji dulu, yang jelas penanggulangan apa, namanya kecelakaan. Pesawat luar angkasa saja kecelakaan. Kita akui dia salah, tidak mungkin sengaja. Ada upaya gak, penyampaian dengan masyarakat. Pengaduan pada Gubernur melalui Kepala Dinas. Saya terima dulu, saya tidak bela siapa-siapa. Kita harus jujur di Bali, kalau listrik dari batu bara itu termurah. Kita harus paham, kita perlu listrik, perlu energi. Perlu energi ramah, LNG bersih, tapi berapa sih kwh-nya?” demikian sebagian komentarnya yang memancing perdebatan.

“Yang kita permasalahkan bukan listrik tapi penanganan perusahaan,” Michael Angelo dari LBH Bali menginterupsi.

baca : Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Pencemaran Batubara di Perairan Masalembu

 

Protes warga di kantor gubernur bali membawa surat pengaduan dan sampel air. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Faturahman, warga Celukan Bawang juga minta fokus pada upaya penanganan pencemaran agar dampaknya tidak meluas pada ekosistem laut dan warga sekitar. “Saya heran saat tongkang miring, batubaranya dioper ke tongkang lain, bukan ambil yang sudah tumpah. Agar kami sebagai warga tidak menerima imbauan untuk menjaga laut saja,” pintanya.

Akhirnya Adi menyatakan menerima pengaduan dan akan mengkoordinasikan tim yang harus memeriksa di lapangan karena lintas unit. “Kami akan turun. Warga harus diinfokan oleh perusahaan satu hari setelah pencemaran, punya dana taktis untuk evakuasi,” ujarnya.

Pengadu menyerahkan surat pengaduan tertulis, video kondisi kapal tongkang, dan sampel air laut di sekitar tumpahan batubara.

Dalam surat pengaduan ini tertulis perusahaan diduga melanggar sejumlah aturan terkait lingkungan hidup. Misalnya Pasal 98 jo 116 dan 118 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Jika lalai, ancaman hukuman lebih ringan.

Pengadu juga mengaitkan dengan Pasal 227 jo 324, 333 UU 17 tahun 2018 tentang Pelayaran dan Pasal 508 jo 514 Peraturan Pemerintah 22 2021 tentang Lingkungan Hidup.

Tiga tuntutan warga adalah menuntut penanganan segera tumpahan batubara, pemerintah memulihkan pesisir dan biota lautnya, dan menghentikan penggunaan batubara dalam pembangkit listrik.

baca juga : Menanti Tindakan Pemerintah Kala Limbah Batubara Cemari Pulau Bunyu

 

Kapal tongkang batubara sudah miring dan batubara mencemari laut. Foto : Supriyadi/warga yang mengadu

 

I Ketut Mangku Wijana, petani di Celukan Bawang heran kenapa tidak ada upaya menegur agar cepat dievakuasi. Menurutnya, awalnya batubara belum jatuh, kapal masih karam. Apalagi lokasinya di depan Pura Segara yang digunakan untuk melukat (penyucian). Air laut kini berubah. Ia juga minta pemerintah melakukan pengawasan dampak lingkungan PLTU batubara ini tidak hanya di laut juga di darat karena banyak pohon kelapa meranggas dan mati. “Jangan batubara lagi, bisa solar cel,” harapnya.

Selanjutnya rombongan warga melanjutkan perjalanan untuk mengadu ke kantor Gubernur Bali. Seorang petugas di beranda lobi sekretaris pribadi, Ngurah Wijayadnya, seorang petugas mengatakan Gubernur tidak ada dan dianjurkan mencoba ke ruang Wakil Gubernur. Di sini, Putu Mega, sekpri Wagub juga mengatakan tidak ada karena tidak ada janji sebelumnya. Warga kembali ke lobi Sekpri untuk menyerahkan surat pengaduan dan sampel air laut.

Supriyadi, Kelompok Nelayan Bakti Kasgoro di Celukan Bawang mengatakan nelayan takut ikan akan tercemar dan warga takut membeli tangkapan nelayan. “Nelayan akan sulit jual ikan, takut zat yang terkandung di batubara seperti mengandung merkuri,” katanya. Ia menyebut nelayan sangat terdampak PLTU batubara karena harus berlayar lebih jauh dengan biaya bahan bakar lebih banyak. Supriyadi menyebut sampai Rp300 ribu sekali melaut dari sebelumnya bisa tanpa mesin karena mencari ikan di pesisir saja.

Sedangkan Mangku Wijana menyayangkan perusahaan lambat menangani, padahal posisi tongkang sudah miring. Sampai akhirnya batubara tumpah karena kapal karam diterpa ombak dan arus. Ia dan warga pengadu memperkirakan sebagian batubara sudah tumpah ke laut. Ia juga heran dengan lambatnya koordinasi antar dinas pemerintah di kabupaten dan provinsi.

Warna air laut sudah berubah, di sekitar tumpahan berwarna lebih hitam, kemudian sekitarnya kuning, dan berbau.

Faturahman meminta pertanggungjawaban penanggulangan dampak lingkungan. Ia mengaku sudah melaporkan ke DLH kabupaten dengan mengirim video dan foto. Dilanjutkan pengaduan ke dinas provinsi dan gubernur agar ditindaklanjuti dengan serius.

Rombongan warga kemudian menyuarakan keluhan pencemaran ini dengan poster bertuliskan “tindak tegas pelaku pencemaran laut Celukan Bawang akibat batubara”, “pencemaran batubara menyengsarakan nelayan”, “lindungi laut dan biota laut Celukan Bawang”, dan lainnya.

baca juga : Nasib Warga Sekitar PLTU Celukan Bawang, Bakal Makin Sulit dengan Perluasan Pembangkit

 

Gubernur Bali Wayan Koster berkomitmen mengganti bahan bakar PLTU Celukan Bawang dari batubara ke gas, namun belum terlihat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Perusahaan mengelak

Pihak pengelola PLTU yakni PT General Electric Bali (GEB) mengelak jika itu disebut tumpah.

General Affair PT General Energy Bali Indriati Tanu Tanto dikonfirmasi pada 31 Agustus 2022 mengatakan kapal tongkang miring dan sengaja dikandaskan karena tidak merapat ke jetty untuk menurunkan 9700 ton batubara yang dibawanya dari PT Kaltim Prima Coal, Kalimantan.

“Bukan tumpah, sudah dicek tidak ada tumpahan,” elaknya. Ia memaparkan peristiwa kerusakan kapal ini. Tongkang dari Sangatta, Kalimantan Timur milik KPC menuju perairan Bali utara lokasi PLTU Celukan Bawang. Tongkang itu dihantam badai di Kepulauan Kangean,Madura, dan kondisinya miring. Karena sudah dekat perjalanan dilanjutkan ke Bali.

Saat tiba di perairan lokasi PLTU, masih ada tongkang lain sandar di jetty. “Harus tunggu sampai bongkaran selesai. Saat tunggu makin miring, jadi terpaksa dikandaskan agar tidak tumpah. Setelah selesai, tidak bisa merapat karena makin miring tidak bisa masuk jetty. Kalau sampai tenggelam merepotkan kita,” urainya. Akhirnya mereka tidak berani sandar.

Penanganan yang sedang berlangsung adalah memperbaiki dugaan bocor dengan pasukan penyelam. Pihaknya sudah mengirim surat ke KPC untuk menangani kerusakan, diputuskan batubara dipindah dengan jalan antar kapal atau ship to ship menggunakan 2 eskavator. “Tidak bisa cepat harus tunggu tongkang (di jetty) kosong,” sebutnya ditanya waktu penanganan.

Menurutnya saat ini PLTU beroperasi optimal dengan daya terpasang 3 x142, namun hasil atau kapasitasnya 380 MW. Sedangkan izin yang didapatkan untuk pembangkitan hampir 1.000 MW setelah izin penambahan pembangkit dikantongi.

Dampak lingkungan sejauh ini diklaim tidak ada karena dari pemeriksaan udara, air, hasilnya selalu di bawah baku mutu. Terkait wacana Gubernur Bali alih ke gas ia mengaku belum tahu kapan akan dilakukan.

baca juga : Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, sebenarnya tidak termasuk dalam RUPTL 2018-2027. Bali sendiri saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kasus gugatan perluasan PLTU Celukan Bawang

Pembangunan dan perluasan PLTU ini adalah cerita panjang penuh gugatan warga. Terakhir adalah Gugatan Tata Usaha Negara mengenai Pembatalan Keputusan Gubernur Bali No.660.3 /3985/ IV-A / DISPMPT tentang Izin Lingkungan untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang diberikan kepada PT. PLTU Celukan Bawang di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Hakim tidak mengabulkan gugatan ini pada 2018, dikuatkan PTUN Surabaya pada 2019.

Gugatan diajukan oleh I Ketut Mangku Wijana, Baidi Sufarlan, I Putu Gede Astawa, dan Greenpeace Indonesia (Penggugat) melawan Gubernur Bali (Tergugat) dan PT PLTU Celukan Bawang (Tergugat II Intervener). Pada tanggal 28 April 2017, Gubernur Bali menandatangani keputusan pemberian izin lingkungan untuk perluasan PLTU Celukan Bawang untuk menambah dua unit pembangkit 330 MW tambahan.

Sembilan lembaga hukum lingkungan dari dalam dan luar negeri mengajukan pendapat hukum “Sahabat Pengadilan” atau Amicus Curiae Brief pada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar terkait dengan gugatan terhadap ekspansi PLTU Celukan Bawang, Bali. Salah satu kajiannya adalah bahaya emisi pelepasan lebih dari 200 juta ton CO2 selama 30 tahun beroperasinya pabrik ini nanti.

Mereka meminta majelis untuk membatalkan Keputusan Gubernur yang memberikan izin lingkungan untuk perluasan PLTU Celukan Bawang sampai penilaian penuh untuk dampak iklim proyek telah diselesaikan. Menurut Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), penambahan unit pembangkit 2 x 330 MW di Celukan Bawang akan membakar 2.950.635,60 ton batubara per tahun selama periode operasinya.

Pendapat hukum ini menyebut jika asumsi bahwa PLTU Celukan Bawang akan beroperasi dengan efisiensi sebesar 85 persen selama 30 tahun sesuai dengan izin usaha pembangkit, perluasan Celukan Bawang akan menghasilkan pembakaran setidaknya 75.241.207,8 ton batubara selama masa operasional pabrik. Ini akan menghasilkan pelepasan lebih dari 200 juta ton CO2 selama 30 tahun.

Di sisi lain Gubernur Bali Wayan Koster selalu membanggakan kebijakan mandiri energi dengan energi bersih yang kerap diwacanakan melalui beberapa regulasi. Mulai dari rencana umum ketenagalistrikan, pengadaan kendaraan berbasis baterai untuk kendaraan dinas, dan pemanfaatan PLTS atap.

Menurutnya polusi udara saat ini akibat PLT batu bara dan asap kendaraan. “Kendaraan dengan BBM harus dikurangi dihentikan, saya tidak mengnjinkan PLT berbahan bakar batu bara atau fosil. Sekarang dari solar sudah diganti gas,” demikian pidatonya pada workshop pemulihan ekonomi dengan mempromosikan surya atap atau solar PV, 9 Agustus 2022.

Ia meyakini rencana mengganti PLT bahan bakar solar jadi gas akan terpenuhi. PLTU dengan batu bara yang eksisting saat ini di Bali adalah 380 MW. Ia mengklaim sudah beralih ke sistem teknologi lebih ramah lingkungan.

 

Exit mobile version