Mongabay.co.id

Nestapa Warga Terdampak Kawasan Industri Bantaeng

 

 

 

 

Balang Institute, lembaga swadaya masyarakat memutar video durasi tujuh menit di ruang rapat DPRD Bantaeng pada 29 Agustus lalu. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain, anggota legislatif, perwakilan warga, perwakilan perusahaan smelter nikel, pejabat dinas, serta pengelola Kawasan Industri Bantaeng (KIBA).

Pertemuan itu untuk menemukan jalan keluar, terhadap dampak operasi perusahaan yang menimbulkan debu, getaran, hingga sumur warga mengering.

Ketika film mulai, sekitar 50-an peserta pertemuan menonton dengan takzim. Ada gambar udara dari kamera drone yang memperlihatkan cerobong pabrik mengeluarkan asap putih tebal.

Ada tumpukan material bahan nikel, tumpukan slag, sumur warga yang mengering, serta tempelan debu di jendela dan lantai rumah warga. Sebenarnya perkara itu, bukanlah hal baru di Bantaeng, namun tak pernah ada solusi buat warga.

KIBA ditetapkan melalui Perda No. 02/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang menyebutkan bila kawasan industri besar ditetapkan di Kawasan Industri Bantaeng di Kecamatan Pa’jukkukang.Kemudian diperkuat melalui rencana detail tata ruang kawasan industri.

Kawasan ini berada di lahan pemukiman yang dihuni ribuan jiwa. Luas tak main-main mencapai 3.152 hektar, di dalamnya mencakup Desa Baruga, Papan Loe, Borong Loe, Pa’jukkukang, Nipa-nipa dan Laiwa. Inilah yang kemudian menjadi sorotan pegiat lingkungan, kalau kawasan industri bakal merampas ruang hidup warga.

Mustajab Syahrir, warga Dusun Balla Tinggia, Desa Papan Loe, mengatakan, rumahnya sangat dekat dengan tembok perusahaan. Lantai ruma pria 56 tahun yang dilapisi karpet plastik penuh debu tipis. Saat menapaki, telapak kaki seperti berpasir.

Anak-anaknya, sampai malas membersihkan karena debu sulit dihalau. “Mau bagaimana, selama ada angin, selama itu pula debu masuk?”

 

Tumpukan batubara dalam KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketika berkeliling di dua dusun, Mawang dan Balla Tinggia, seakan berada dalam pusaran debu yang tak pernah berhenti. Sementara para pekerja dari sisi tembok, berjarak dengan rumah warga, hanya dibatasi jalan desa selebar empat meter, bekerja hilir mudik. Mereka tahu, kata Mustajab, warga bermandi debu, tetapi perusahaan seperti abai melihat itu.

Perusahaan ini adalah Huadi Group Investment. Perusahaan cangkang yang mendominasi lahan dalam KIBA. Perusahaan pertama yang membangun dan memproduksi ferro nickel di Bantaeng adalah PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia diresmikan Januari 2019, meskipun sejak November 2018 telah ekspor.

Pada tahun-tahun awal pembangunan, perusahaan yang membangun tungku pemurnian nikel itu, menyatakan kepada warga teknologi yang mereka gunakan adalah ramah lingkungan. Menggunakan energi listrik dan pembuangan limbah (slagnya) dengan pendinginan air.

Setahun perusahaan beroperasi, warga sekitar mulai mengeluh. Masyarakat melayangkan protes karena beberapa orang mulai batuk tak henti. Makanan yang mereka masak harus selalu tertutup. Huadi meresponnya, seperti tipikal perusahaan lain di Indonesia, menggaet para anak muda desa bekerja sebagai buruh kasar dalam perusahaan.

Tokoh-tokoh warga yang aktif bersuara diberikan akses kerjasama untuk memasukkan material timbunan dalam kawasan. Gejolak dapat diredam, tetapi hanya sesaat.

Kini, ada tiga perusahaan dalam KIBA dalam proses pembangunan. Masing-masing, PT Hengsheng New Energy Material Indonesia, PT Dowstone Energy Material Indonesia, dan PT Unity Nickel Alloy Indonesia.

Akta pendirian tiga perusahaan itu menyebutkan, kalau mereka tergabung dalam satu grup, yakni PT Huadi Investment Group yang beralamat di Jakarta, didirikan pada 27 Agustus 2021. Dalam dokumen itu juga, direkturnya tercatat dengan nama Jos Stefan Hidecky untuk PT Unity Nickel Alloy Indonesia dan PT Dowstone Energy Material Indonesia. Yang sekaligus menjadi direktur utama di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia.

Untuk PT Hengsheng New Energy Material Indonesia, Jos Stefan Hidecky, menjabat sebagai komisaris.

 

Sumur warga yang mengering di sekitar KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Mustajab dan warga lain di sekitar KIBA, tak pernah tahu mengenai struktur punggawa perusahaan itu. Mereka hanya beranggapan, kalau perusahaan masuk adalah entitas yang masing-masing berbeda. “Ini debu lagi tidak banyak, karena angin mengarah ke Mawang, bukan ke Balla Tinggia,” kata Mustajab, saat berdiri di depan rumahnya.

Dia mencoba melihat di sela tanaman pisang di samping rumah, dan mata berusaha menerobos menyaksikan cerobong asap yang keluar. “Ini, baru satu perusahaan yang beroperasi, kami sudah menderita begini. Bagaimana nanti kalau semua sudah beroperasi, kami harus bagaimana?.”

Dia kemudian terdiam. Ingatan kembali pada 2014, ketika tanah dalam lokasi KIBA dilepaskan untuk perusahaan. Tanah itu adalah peninggalan keluarga, tempat produksi bata merah. Harga setiap meter Rp50.000 dan kemudian hasil dibagi bersama saudaranya. Awalnya, tanah itu tak ingin dia jual. Dia bertahan dan kemudian aparat kepolisian dan TNI mendatangi kediamannya. Mereka membawanya menemui Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah.

Baginya, itu pertama kali dijamu dengan sangat baik oleh pemimpin daerah. Ada makanan dan bupati menjadi sangat ramah.

“Kalau di pertemuan itu, semua baik sekali. Kalau perusahaan beroperasi itu bisa membawa ekonomi yang lebih baik. Anak-anak kami akan masuk perusahaan dan akan diberikan listrik gratis,” katanya.

“Sebenarnya saya tidak yakin. Sampai sekarang. Orang-orang sudah menjual tanah di sekitaran saya. Lalu perusahaan bikin pagar, tanah saya ada di tengah, saya nda bisa masuk. Jadinya saya jual,”

“Jadi saya tidak dipaksa menjual tanah tetapo menjual dengan terpaksa. Begitu kalau ada orang yang tanya,”

 

Dinding pembatas antara pemukiman warga dan KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Status lahan KIBA?

Baru sekitar 15 menit saya dan Mustajab berbincang di ruang utama rumahnya, kulit saya bagai penuh debu. Ketika saya membersihkan hidung dengan telunjuk, warna hitam, seperti saat berada dalam kerumunan demonstrasi yang membakar ban bekas.

Mustajab tersenyum. Dia bilang, kalau itu sudah dirasakan warga hampir setahun. Bagi penduduk di sekitaran KIBA, debu halus yang melayang dan dihirup membuat dada terasa berat. Kalau siang hari, biasa warga menjadi tak begitu peduli, karena tak begitu terlihat. Saat malam, ketika kendaraan melintas dengan lampu terang, debu itu mereka ibaratkan seperti kabut.

Debu-debu terbang dan menempel dimanapun. Salah satunya di tanaman warga. Di sekitaran kawasan, tanaman kelor merupakan sayuran yang digemari. “Sekarang, mau makan itu sayur kelor, harus dicuci bersih dulu, karena sudah coklat. Kalau tidak dicuci, itu bisa makan racun,” kata beberapa warga.

Adam Kurniawan, mantan Direktur Balang Institute. lembaga yang sejak 2013, melakukan pemantauan dan pendampingan kepada warga di sekitaran KIBA dalam pertemuan bersama DPRD itu angkat bicara, Dia soroti malapetaka masa depan terhadap ribuan warga di sekitaran kawasan industri. “Ada warga yang sudah batuk berbulan-bulan. Satu keluarga dan bahkan tetangganya. Apakah itu akan dibiarkan?,” katanya.

Temuan Balang Institute, menyebutkan, selain debu, perusahaan juga melanggar berbagai ketentuan perundang-undangan, seperti penggunaan jalan umum desa oleh perusahaan. Bau menyengat, kekeringan pada sumur warga yang mereka tengarai berhubungan dengan aktivitas perusahaan yang menggunakan air bawah tanah. Juga tak ada sosialisasi pada warga mengenai dampak industri. Proses pembebasan lahan tak transparan karena tak melibatkan pemerintah.

“Kedepan, lahan yang dibebaskan perusahaan ini izinnya bagaimana? HGU (hak guna usaha)? Izin prinsipkah, itu yang kita tidak tahu,” kata Adam.

Asumsi Adam mengenai kepemilikan lahan sangat beralasan. Sebab secara umum, dalam sebuah kawasan industri yang telah ditetapkan, pengelola kawasan yang membebaskan lahan sebagai bagian dari pemerintahan setempat. Kemudian, perusahaan akan menyewa atau menggunakan lahan itu dengan skema tertentu, dimana kepemilikan utama tetap pada negara. Dan skema ini tak terjadi di Bantaeng.

Artinya, proses ini sangat riskan menjadi kepemilikan aset pribadi di kemudian hari. “Sebab yang terjadi disana adalah jual beli lahan dengan individu ke individu atas nama perusahaan. Apakah ini dibenarkan?,” lanjut Adam.

“Ini yang terus kita bicarakan dengan perusahaan. Bagaimana kelak status lahan itu,” kata Ansar Kamuddin, Manager Operasional Perseroda Bantaeng.

Ansar, tak bisa mengurai dengan jernih. Dia beralasan jika periode pengelola kawasan industri sebelumnya yang menangani itu. Bahkan dia bilang, , dokumen amdal kawasan baru mereka temukan menumpuk diantara dokumen lain. “Jadi, saya kurang tahu persis seperti apa prosesnya kemarin, ada sosialisasi atau tidak,” katanya.

 

Kawasan industri Bantaeng. Foto: drone Balang Intstitute

 

Relokasi warga

Pertemuan bersama di ruang DPRD Bantaeng, berlangsung tiga jam lebih. Diskusi berjalan alot dengan sahut-sahutan masing-masing perwakilan. Namun, pertemuan menemukan titik terang mengenai rencana relokasi warga agar terhindar dari dampak industri.

“Kalau relokasi itu menjadi titik terangnya, kapan? Berapa uang yang dimiliki pemerintah? Atau siapa yang akan melakukan relokasi? Atau menunggu semua warga sakit dulu,” kata Junaedi dari Balang Institute.

Junaedi, sangsi dengan ide itu. Dia bilang, segala hal yang dialami warga tak pernah mendapatkan perhatian serius dari perusahaan dan pemerintah. Baginya, relokasi menjadi rencana besar yang mengawang-ngawang. “Ini sudah ada dampak. Kita akan melakukan apa. Itu dulu.”

Temuan Balang Institute di sekitar kawasan, 37 sumur warga mengering sejak perusahaan beroperasi. Sebelum perusahaan beroperasi, kemarau panjang pun, sumur tak mengering semua. “Ini hampir semua sumur tanah dekat KIBA menjadi kosong,” kata Mustajab.

Temuan ini yang membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 4 Juli 2022, mengeluarkan surat keputusan tentang penerapan sanksi administratif paksaan pemerintah kepada Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Keputusan itu menyebutkan, pelanggaran dan ketidaktaatan perusahaan terhadap, pertama, pengendalian pencemaran air, kedua, pengendalian pencemaran udara. Ketiga,. pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), disebabkan tidak ada laporan kepada pemerintah setempat.

Keempat, pengelolaan limbah B3. Kelima,. Pengelolaan limbah non B3 dan keenam, persetujuan lingkungan.

 

Nikel mentang di KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sanksi KLHK menyatakan, kalau pembangunan tahap empat rencana dua tungku yang mencapai 100.000 ton per tahun tidak terlingkup pada amdal 2020 dan tak melaksanakan kewajiban RKL-RPL. Termasuk, tak uji emisi kendaraan dan tidak memisahkan penyimpanan limbah cair B3 dan non B3 yang dihasilkan laboratorium.

Lily Candinegara, General Affair and External Relation Manager Huadi , yang mewakili grup Huadi berupaya bela diri. Dia bilang, perusahaan tetap memperhatikan keadaan warga sekitar kawasan. “Nda mungkin kita di sana minum, orang di sekiling tidak. Artinya, kita ini sesama umat nda begitu tanggung jawab kita. Bukan berarti, mau menutup mata untuk itu. Tidak sama sekali,” katanya.

Bagi Lily, surat keputusan KLHK mengenai pelarangan air bawah tanah, bukan semata menjadi tanggung jawab perusahaan. Sebab, penyediaan air dalam kawasan seharusnya disiapkan pengelola. “Sekarang, mereka (pengelola kawasan) mengundang investor, untuk mengadakan perusahaan yang akan mengelola air limbah.”

Dia juga mengatakan, ketika perusahaan menggunakan air bawah tanah, pun telah berkoordinasi dengan Dinas ESDM Sulawesi Selatan. Tim Dinas ESDM mendatangi lokasi perusahaan dan melakukan pengecekan langsung ke lokasi, sebelum izin keluar.

 

 

*******

Exit mobile version